[Cerpen] Surat Untuk Sahabat




Untuk sahabat terbaikku,

Apa kabar, kawan? Setelah bertahun-tahun kita tidak bertemu dan aku sudah lupa kapan kita terkahir berbincang-bincang di sudut kota kecil, kota kelahiran kita. Ada rindu yang tertahan bertahun-tahun lamanya.

Rindu untuk bertemu dirimu yang menjadi kepingan penting hidupku. Jika perkiraanku tidak salah, terakhir kita bertemu adalah saat kau akan pergi ke pulau seberang, bukan? Oh, itu sudah lama sekali.Aku tidak mengerti kenapa kau lebih memilih pulau seberang, yang jelas-jelas sudah sesak dengan jutaan manusia.Padahal di tanahmu ini, masih banyak kekosongan yang harus kau isi. 


Dimana kau tinggal saat ini? Masihkah kau berada di negeri tercintamu yang makmur? Atau kau sudah memulai mengejar mimpimu? Mungkin kau di London, Tokyo, atau Rio de Jainero? Entahlah kau ada dimana saat ini. Kudoakan agar kau tetap dalam keadaan baik-baik saja. Sama seperti aku, dalam keadaan baik-baik saja. Saat ini aku sedang duduk di café memesan minuman ice caramel latte dengan layar laptop terpampang di depanku.Memilih tempat duduk paling sudut. Tempat yang amat kau sukai. Aku juga telah meninggalkan kota kelahiran kita, aku pergi merantau. Tapi, aku masih tetap di tanah ini. Aku tak sepertimu yang berlari ke pulau seberang. Untuk apa? Kalau di dekatmu ada, kenapa harus jauh-jauh.


Lalu aku teringat tentang dirimu, bagaimana kau menyukai posisi ditempat duduk ini. Entahlah, kau tidak memberitahu alasan kenapa kau menyukainya. Lalu, aku berpikir untuk menulis sebuah surat saja kepadamu. Aku ingin menuangkan semua kerinduanku dalam surat yang kutulis ini. Tapi, aku tidak tahu apa yang harus kukabarkan kepadamu selain keadaanku saat ini. Tidak ada kabar bahagia yang bisa kusampaikan padamu.


Baiklah, tak akan banyak kukabarkan tentang apapun. Tapi, aku ingin tahu saja bagaimana kau menghabiskan hidupmu selama ini. Bagaimana pula kau menyusun rencana-rencanamu untuk meraih mimpimu. Mimpi yang membuatmu tak pernah lelah untuk menjalani hidup ini.


Sahabat,
           
Kau masih ingat apa yang kau tinggalkan sehari sebelum kau pergi? Kau meninggalkan sebuah janji yang kita sepakati bersama dulu. Ah, tentu kau pasti ingat. Tak mungkin kau melupakan itu.

“Apa mimpimu, kawan?” Kau bertanya padaku. Aku hanya diam sembari menatap wajahmu. Aku menggelengkan kepala. Pertanda bahwa aku tidak tahu apa mimpiku. Lalu kau tertawa terbahak-bahak. Aku hanya memandangmu dengan wajah bingung.

“Kau tidak tahu apa mimpimu?” Kau sekali lagi bertanya kepadaku. Mungkin kau ingin memastikan. Dan sekali lagi aku menggelengkan kepala. “Kau harus punya mimpi, kawan!” lanjutmu sambil menepuk bahu kananku. Tersungging sebuah senyum di bibirmu.

“Kawan, kau tahu? Aku ingin berkeliling dunia.” katamu dengan tatapan penuh percaya diri.

“Oh ya? Kau harus punya banyak uang untuk mimpimu itu.” jawabku.

“Tentu.” kau menjawab dengan singkat.

“Bagaimana kau akan mendapatkan uang-uang itu?”

“Mimpi bisa memberi kita segalanya.” Sekali lagi kau tersenyum. Aku masih menatapmu dengan wajah heran. Belum mengerti maksud dari perkataanmu.

Sahabat,

Aku masih ingat betul bagaimana diriku dulu. Masih melekat erat di ingatan. Seorang laki-laki lugu, pemalu, dan pendiam. Aku tidak memiliki cukup rasa percaya diri untuk menunjukkan siapa diriku pada orang lain. Untuk menunjukkan kemampuan yang aku punya. Untuk berkreasi menghasilkan sesuatu yang berarti. Entah kenapa aku tidak pernah bisa melakukannya.

Kau ingat tidak, kawan? Tentang peristiwa dimana aku begitu sangat tidak percaya diri. Waktu itu, di sekolah, aku mendapat giliran untuk membaca puisi. Aku melangkahkan kakiku ke depan kelas. Keringat dingin membasahi seluruh badanku. Saat berada di depan kelas, di hadapan semua teman-teman, aku melihat kau memberiku semangat dan berkata bahwa aku bisa.

Kubaca judul puisi itu. Tiba-tiba semua teman-teman di kelas tertawa. Ah, aku begitu malu ketika aku sadar bahwa suaraku gemetar. Aku benar-benar gugup saat itu. Peristiwa itu semakin menambah rasa tidak percaya diriku.

“Hei, kenapa kau gemetar seperti itu?” Kau bertanya padaku setelah aku kembali ke tempat dudukku. Aku tidak menjawab. Lalu kau mengambil kertas yang tergenggam di tanganku dan kau membacanya.

“Kawan, puisimu bagus!” Kau memujiku. “Kalau saja kau tidak gugup, pasti ini akan jadi puisi terbaik.”

Ya, dulu aku begitu pemalu dan tidak percaya diri. Aku selalu gugup setiap kali guru menyuruhku maju ke depan kelas. Berbeda dengan dirimu. Kau begitu percaya diri, supel, dan selera humormu lucu sekali. Aku selalu berharap agar bisa seperti dirimu.

Sahabat,

Kalau saja kau tidak membangunkanku dari lamunanku dulu, mungkin aku tidak tahu bagaimana hidupku saat ini. Mungkin aku akan tetap duduk dan diam dengan lamunan-lamunan yang tak berguna. Tapi, untunglah kau datang dan……mengagetkanku.

“Hei…!” Kau menepuk bahuku dengan keras. Aku terkejut dan seketika lamunanku membuyar. “Apa yang kau pikirkan?” lanjutmu.

“Tidak.”

“Jangan bohong, kawan!” Ah, sial. Kau bisa membaca pikiranku saat itu. Mungkin karena kau sahabatku, jadi kau mengetahuinya. Kita memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari seorang sahabat sejati.

“Apa mimpi itu perlu?” Aku bertanya kepadamu. Kau tertawa sebelum menjawab pertanyaanku.

“Mimpi itu tidak perlu. Tidak penting.” jawabmu santai sekali. Tapi, aku bingung kenapa kau menjawab seperti itu. “Kalau kau mau hidupmu hanya biasa-biasa saja.” lanjutmu.

“Jadi?”

“Bermimpilah. Maka hidupmu akan menjadi luar biasa.”

“Tapi, aku masih tidak tahu apa mimpiku.”

Iya. Saat itu aku masih belum tahu apa mimpiku, meski sudah duduk di kelas kesepuluh. Seharusnya di usia sepertiku dulu, aku sudah tahu apa mimpiku. Sebuah mimpi memang harus dibangun jauh-jauh hari. Maka kita bisa punya waktu yang lama untuk menentukan jalan bagaimana kita bisa sampai pada mimpi kita. Karena jalan menuju kepada mimpi tak pernah mudah. Dan sesuatu yang dibuat mendadak kemungkinan besar tak akan pernah menakjubkan.

“Kalau kau ingin tahu apa mimpimu, kau harus merubah sikapmu itu. Kau harus percaya diri. Kalau saja saat pembacaan puisi di kelas kau tidak gugup, mungkin kau akan menemukan apa mimpimu sebenarnya.”

Aku masih ingat bagaimana kau mengucapkan kata itu padaku. Dengan penuh keyakinan dan tatapan mata penuh arti kau mengucapkannya. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa ucapanmu itu benar. Saat aku bisa mengubah sikapku yang pemalu maka aku tahu apa mimpiku sebenarnya.

Sahabat,

Bermimpi. Siapapun dan kapanpun selalu bisa melakukan hal itu. Termasuk aku. Aku bisa bermimpi apapun yang aku mau. Karena bermimpi tak pernah mengenal batas.Bermimpi itu bebas, seperti melayang di angkasa lepas bersama burung-burung. Tapi, kau tahu jika terbang itu tidak mudah. Begitu juga dengan mimpi. Tidak seperti yang aku bayangkan. Butuh waktu lama, kesabaran, dan komitmen yang sungguh-sungguh. Kita akan bertemu dengan banyak rintangan dalam mewujudkan mimpi. Mulai dari yang ringan bahkan yang terberat. Memang, di dunia ini semua butuh proses. Tak ada yang bisa didapatkan dengan mudah. Kecuali kau melakukannya dengan carayang menyedihkan (dengan cara yang curang misalnya). Itu tak akan bertahan lama. Percayalah, kawan!

Ada perasaan luar biasa saat bisa meraih mimpi dengan usaha kita sendiri.

Tak terbayang olehku jika aku tidak mengenalmu. Mungkin aku tidak akan pernah tahu apa mimpiku. Karena kau sudah membukakan mata hatiku untuk menatap hidup ini dengan mimpi-mimpi. Katamu mimpi itu sesuatu yang indah dan menyenangkan. Benar. Meski sulit diwujudkan tetapi tetap menyenangkan.

Dulu, aku takut sekali untuk bermimpi. Karena aku merasa bahwa aku hanya seseorang yang biasa-biasa saja. Jadi, aku menjalani hidup dengan biasa pula. Aku berpikir tak ada yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa. Termasuk tidak memiliki mimpi sama sekali.

Tapi, sekarang aku punya mimpi. Aku sudah berani bermimpi. Aku sudah bukan seseorang yang biasa-biasa lagi. I’m an extraordinary man now. Bukan masalah kita orang biasa atau bukan, melainkan cara berpikir dan bersikap kita yangmenjadikan kita biasa atau bukan.

Kau tentu ingat saat kau berkata bahwa aku perlu merubah sikapku dulu untuk mengetahui apa mimpiku. Aku mampu merubah sikapku dari sebelumnya. Mungkin aku sudah sama sepertimu, kawan. Percaya diri, supel, dan humoris.

Setahun lalu, di tempat aku merantau ini, ada lomba pembacaan puisi. Dan kau tahu aku sangat menyukai puisi dan dunia literasi. Teringat akanperkataanmu, bagaimana kau memuji puisiku dulu. Maka aku berani untuk mengambil satu tempat di kompetisi itu.

Meski tidak seratus persen aku percaya diri, aku tetap melanjutkan perjuanganku. Hingga saatnya pun tiba, aku melangkah ke depan panggung dan berdiri di atas sana. Sudah tergenggam selembar kertas puisiku yang sudah kusiapkan selama berhari-hari. Kutatap semua orang yang ada disana saat itu. Keringat dingin seperti ingin mengucur deras dari tubuhku. Aku memejamkan mata. Pikiranku berputar-putar hingga mengingat perkataanmu. Aku harus mengubah sikapku. Dengan keberanian yang kupunya, tekad yang sudah menebal, aku membuka mata. Kini, aku merasa tatapanku beda dari biasanya. Tatapan itu seakan membuatku lebih percaya diri.

Sahabat,

Kau benar. Kita perlu merubah sikap kita untuk menemukan apa mimpi kita. Rasa tidak percaya diri bisa mengubur mimpi seseorang dalam-dalam. Jika kita sudah mampu merubah dan menghilangkan rasa tidak percaya diri itu, kita bisa tahu apa mimpi kita. Bahkan bisa semakin dekat dengan mimpi kita. Kalau kita sudah dekat, kita tinggal meraihnya saja.

Sungguh. Jika kita hidup dengan mimpi-mimpi maka hidup kita ibarat misteri bagi seorang detektif. Selalu ada yang ingin diungkap dan membuat penasaran. Tidak akan mudah ditebak. Karena sesuatu yang mudah ditebak itu tidak akan pernah menarik. Aku percaya hal itu. Seperti ketika aku mengikuti lomba pembacaan puisi, aku (mungkin orang-orang dekatku juga)  tidak menyangka bahwa aku bisa menjadi juara 3.

Kau tidak terkejut, kawan?

Ah, aku yakin kau tidak akan terkejut. Karena ini adalah nasihat yang kau berikan padaku dulu. Jadi, aku rasa kau sudah tahu lebih dulu bagaimana saat aku merubah sikapku. Aku bisa membuat orang-orang terkejut dengan kemampuanku.

Sahabat,

Ini yang paling penting dari suratku. Aku ingin menagih janjimu untuk bertemu kembali di café tempat kita berjanji dulu. Menceritakan bagaimana kau menghabiskan hidupmu sejak pergi ke pulau seberang. Aku ingin tahu.

“Kawan, kau mau berjanji denganku?” Kau bertanya padaku dengan nada serius dan tatapan yang serius pula.

“Berjanji untuk apa?”

“Nanti, saat kau sudah menemukan apa mimpimu dan telah kau capai mimpimu itu, kau harus menghubungiku dan kita akan bertemu di café ini lagi.” Kau begitu yakin saat itu. Kau sangat yakin bahwa aku akan bisa meraih mimpiku. Bahkan lebih yakin dari diriku sendiri.

Lewat surat inilah aku ingin kau memenuhi janjimu. Janji kita. Dimana kita akan bertemu di kota kelahiran kita dulu. Pergi ke café dan memilih tempat duduk paling sudut. Tempat favorit kita.

Aku juga ingin mendengar apa kau benar-benar sudah meraih mimpimu untuk berkeliling dunia. Semoga saja kau sudah berhasil. Karena mimpimu itu tidak mudah untuk diwujudkan. Walaupun semua mimpi memang tidak mudah di wujudkan. Tapi, aku yakin orang sepertimu pasti bisa melakukannya.

Sahabat,

Hal terpenting dalam mewujudkan mimpi bukan apa yang kita dapatkan di akhir perjuangan. Melainkan usaha yang telah kita lakukan selama berjuang itu. Ada banyak pembelajaran dari sana. Tentang kesabaran kita.Tentang kegigihan kita untuk tidak mudah berputus asa. Tentang bagaimana kita menghargai pendapat dan perasaan orang lain. Dan bagaimanaa kita berkreasi untuk sebuah prestasi dalam hidup. Kreativitas memang sangat dibutuhkan untuk hidup, apalagi untuk mimpi. Dengan kreativitas pula kita (harusnya) bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah ada.

Aku rasa sudah cukup surat dariku kali ini. Maaf, aku masih harus melanjutkan pekerjaanku. Saat ini aku disibukkan dengan tour ke beberapa kota dalam rangka talkshow novelku.

Kau terkejut, kawan? Iya, aku sudah bisa menerbitkan novel pertamaku setelah beberapa bulan lalu aku baru menerbitkan kumpulan puisiku. Bukankah kau sendiri yang berkata bahwa saat aku merubah sikapku, aku bisa tahu apa mimpiku. Dan aku pikir, inilah mimpiku. Menjadi seorang penulis. Nanti, jika kita bertemu lagi akan kuberikan satu ekslampar untukmu dan kau harus membacanya.

Sudah ya, kawan. Cukup sampai disini suratku. Jangan lupa, setelah membaca surat ini kau harus cepat menghubungiku. Kita tentukan kapan kita bisa berbagi tentang mimpi-mimpi kita lagi.

Bercerita tentang mimpi-mimpi yang telah kita raih.


*sumber gambar: ddayipdokumen.blogspot.co.id
[Cerpen] Surat Untuk Sahabat [Cerpen] Surat Untuk Sahabat Reviewed by Anonim on Juni 28, 2014 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.