[Cerpen] Pensil Warna dari Mama (Radar Banyuwangi - Minggu, 10 Mei 2015)





Tengah malam, tiba-tiba ada sebuah notifikasi di ponsel saya yang memberitahukan bahwa seseorang sudah menandai saya dalam postingannya di grup FB KPMS. Setelah saya lihat, ternyata Mas Imron memposting tentang pemuatan cerpen saya di koran Radar Banyuwangi. Saya sedikit terkejut, sebenarnya, karena cerpen tersebut saya kirim baru dua atau tiga hari sebelum tanggal pemuatan (10 Mei 2015). Begitu cepat. Yah, mungkin karena saya mengirimnya ke Radar Banyuwangi sehingga untuk menembusnya tidak begitu susah.

Cerpen ini, dulunya, kalau tidak salah saya ikutkan dalam sebuah lomba menulis. Tapi, ternyata cerpen ini belum jodol dengan lomba tersebut. Akhirnya saya pun membiarkannya lama mengendap di folder laptop. Kemudian, saya membukanya lagi dan memilih untuk mempublikasikannya saja. Alhasil, alhamduliilah, Radar Banyuwangi mau memuat cerpen saya ini. Namun, saya sedikit kecewa karena di sana saya ditulis sebagai Mahasiswa Unej asal Banyuwangi.

Baiklah, bagi Anda yang ingin membaca cerpen ini sila di baca. Jangan lupa tinggalkan komentar setelah selesai membaca. Atau, jika ingin membacanya langsung di website Radar Banyuwangi sila klik di sini. Terima kasih.
***
Doni ditemani sang ayah, Feri, menggambar di kamarnya. Mereka sedang menyelesaikan sebuah gambar pesawat. Nantinya, gambar itu akan menghiasi dinding-dinding kamar Doni, melengkapi gambar-gambar lainnya yang telah lebih dahulu dipajang. Kamar Doni sudah mirip seperti pameran lukisan. Ada banyak gambar yang dia buat sendiri. Seperti dua buah gunung dan lautnya, binatang-binatang, bulan dan bintang, burung-burung di atas pohon, hingga ikan-ikan dalam laut. Dia memang gemar menggambar. Bahkan, bila di sekolahnya diadakan lomba, dia selalu meraih juara. Biasanya, mamanya yang menemani dia menggambar seperti saat ini.

“Ayah, mama pergi ke mana? Apa mama tidak akan pulang?” Tiba-tiba Doni berhenti menggambar.

Feri terkejut ketika pertanyaan itu terlontar. Dia belum siap dengan jawabannya. Sejujurnya, dia belum pernah siap untuk pertanyaan macam itu. Entah sudah berapa kali Doni menanyakan perihal kepergian mamanya. Feri tak tahu lagi alasan apa yang hendak ia jadikan jawaban atas pertanyaan anaknya itu. Bukan hal yang mudah bagi Feri untuk menjelaskan semuanya, dan terlalu pelik pula bila mengingat umur Doni yang baru lima tahun. 

“Kenapa mama pergi lama sekali?”

Sungguh Feri tak mampu lagi untuk menyahut. Entah topik apa yang hendak ia gunakan untuk mengalihkan pembicaraan macam itu. Feri lupa bahwa semakin hari anaknya itu makin tumbuh. Tentu pemikirannya turut demikian. Dan bukankah dalam kepala anak-anak selalu dipenuhi tanda tanya?

“Mama sedang pergi. Tak lama lagi dia datang.” jawab Feri akhirnya.

Tak ada jawaban dari Doni. Oh, Feri merasa betapa rindunya anak itu pada mamanya. Mestinya di masa-masa seperti itu ia bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang seorang ibu. Mungkin ibu mampu memberi kasih sayang seorang ayah, tapi bisakah ayah memberi ketulusan layaknya seorang ibu? Feri membawa Doni ke dalam pelukannya dan membelai lembut rambut bocah kecilnya itu. “Kita lanjutkan saja menggambarnya. Ehm…sekarang kita buat pesawat tempur.”

“Tapi pensil-pensil warna Doni sudah tak panjang lagi, Yah?”

“Ah, tak apa, Sayang. Pakailah ini dulu. Nanti ayah belikan yang baru.

***
Hujan baru turun malam itu. Guntur besahut-sahutan. Petir dan kilat datang bergantian. Pohon-pohon rebut digoyangkan angin. Feri berdiri di ambang pintu. Tak memperdulikan lagi andai petir dan kilat itu menyambar dirinya. Feri teringat dengan cerita yang sering disampaikan ibunya saat dia kecil. Apabila hujan sedang turun, maka kita tak boleh berdiri di ambang pintu sebab petir dan kilat akan menyambar. Entah dari mana ibunya mendapat cerita itu. Namun bukan itu yang memenuhi kepala Feri, yang ia pikirkan hanyalah istrinya yang tak kunjung datang jua. Mestinya seorang istri tak pulang semalam itu. Kalaupun memang harus terjadi, tentulah atas izin suami.

Adalah tugas seorang istri untuk menyambut suaminya sepulang kerja. Membawakan tas dan menyediakan makan atau sekadar secangkir kopi. Hal itu tentu saja mampu membuat rasa penat yang melekat, menguap bersama aroma kopi tersebut. Oh, alangkah bahagianya seorang suami bila melihat istrinya bersikap demikian. Bisa-bisa dia tak betah di tempat kerja dan ingin buru-buru pulang.

“Dari mana saja kau pulang semalam ini?” tanya Feri setibanya Sinta di rumah.

Tak ada jawaban dari Sinta. “Kenapa tak jawab pertanyaanku?”

“Aku menunggu hujan reda, mas.”

“Lalu, siapa laki-laki yang mengantarmu?”

“Temanku.” jawab Sinta datar.

Ai, bagaimana mungkin dia menjawab setenang itu? Seolah-olah tak ada masalah dengan perilakunya? pikir Feri. Sungguh tak pantas seorang wanita yang bersuami bila bersama laki-laki lain. Apalagi tak jelas alasan mengapa mereka berdua. Dan tak terlintaskah di kepalanya bahwa suami akan sakit melihat sikap istri seperti itu? 

“Kau bisa menelponku untuk menjemputmu.”

“Kalau kau pergi, Doni tak ada yang menjaga.” Sinta duduk di depan kaca rias dan mulai menyisir rambutnya.

“Kurasa, kau yang seharusnya menemaninya tidur, Sinta.”

“Sudahlah, mas. Aku tak mau berdebat.” Rambutnya telah rapi kembali. Lalu dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur membelakangi Feri. Setelah itu tak ada percakapan lagi.

Tentulah Feri khawatir dengan perubahan sikap istrinya. Dari seorang ibu yang selalu menemani anaknya tidur, menyediakan kopi di pagi hari untuk suami, menjadi seorang wanita yang gemar pulang larut malam. Seolah-olah tak lagi peduli pada kehidupan rumah tangga. Tak ada laki-laki yang terima bila sikap istrinya demikian. Mungkin suami akan marah mendapati kenyataan itu yang terjadi pada sang istri. Atau lebih parah, suami akan bersikap kasar.

“Sudahlah. Ceraikan saja istrimu.” ucap ibuku.

Masalah itu bagai sesuatu yang memberontak  dalam dada Feri. Tak akan berhenti bila hanya didiamkan semata. Akhirnya, Feri memutuskan untuk bercerita pada ibunya, sebab tak tahu harus membaginya pada siapa. Bercerita pada teman-temannya hanya akan membuat dirinya malu. Hendak ditaruh di mana wajah seorang lelaki bila istrinya kerap jadi buah bibir orang-orang? Namun, Feri merasa percuma menceritakan pada ibunya mendengar solusi yang dia dapat.

“Bagaimana dengan Doni, Bu? Aku belum siap untuk itu.”

“Biarkan saja dia ikut Sinta. Kau bisa menikah lagi.

“Tak semudah itu, Bu.”

“Tidakkah kau berpikir bagaimana perasaanku melihat kau, anak laki-lakiku, dipermainkan oleh wanita?”

Ah, Feri tahu mengapa ibunya bersikap demikian. Sejujurnya, ibunya tak pernah merestui hubungannya dengan Sinta. Baginya, lelaki baik-baik macam Feri mestinya mendapat wanita yang baik-baik pula. Seburuk apapun perangai seorang lelaki, dia akan tetap memilih wanita baik-baik bila kelak menikah. Ibunya tak habis pikir mengapa Feri memilih wanita macam Sinta. Dengan wajah tampan dan pekerjaan yang mapan, tak susah wanita cantik dia dapatkan.

Ibunya telah memendam rasa benci yang teramat bagi Sinta. Dia telah berjanji tak akan pernah menerima istri anaknya itu. Setiap kali Sinta mendatangi rumah mertuanya, tak ada sapaan atau sambutan dari sang mertua. Yang ada hanyalah sindiran-sindiran yang membuat Sinta merasa sakit hati. Berulang kali Sinta mencoba bersikap baik pada ibu dari suaminya itu agar perlahan-lahan benci di hatinya terkikis. Namun, yang ada hanyalah pengabaian yang membuat Sinta merasa tak lagi tahan.

“Apa perceraian selalu jadi solusi utama untuk pertengkaran dalam rumah tangga?” ucap Feri.

“Kau membangun rumah tangga untuk kebahagiaanmu, bukan penderitaanmu.”

“Aku tak menderita, bu.”

“Aku bukan temanmu. Tak usah malu kau akui itu, Fer. Kebahagian suami dalam keluarganya hanya bila istri tak pernah pulang malam, peduli pada suami dan anak-anaknya, mau bila hendak kau intimi.”

Mendengar ucapan ibunya seketika timbul pertanyaan dalam hati Feri: apakah benar aku menderita? Benarkah aku malu mengakui hal itu? Tidak. Feri sama sekali tak menderita. Dia bisa menerima semua kelakuan istrinya itu. Sinta hanya seorang istri yang tentulah sesekali akan melakukan kesalahan. Feri tak mau pernikahan yang dia lakukan atas dasar cinta berakhir dengan perceraian. Tidak. Dia hanya perlu waktu untuk membuat istrinya berubah.

“Kenapa pulang malam lagi?” tanya Feri pada istrinya. Dia diantar laki-laki yang biasa mengantarnya. Sinta tak menyahut.

“Sudahlah. Tak usah bahas itu lagi.”

“Siapa laki-laki itu?”

Dia kembali tak menjawab.

“Seharusnya kau tak lakukan hal ini. Bagaimana kalau Doni tahu?” ucap Feri lagi yang duduk di tepi tempat tidur.

“Dia tak akan tahu, kecuali kau tak bisa menutup mulutmu.”

Feri terkesiap mendengar kata-kata Sinta. “Jaga kata-katamu. Aku suamimu, Sinta.”

Sinta tak menghiraukan ucapan suaminya. Feri menghampiri Sinta dan mencengkeram lengannya.

“Kau mau apa?” ucap Sinta bernada tinggi.

“Kau telah berjanji akan berubah. Kenapa kau melakukan hal itu lagi?”

“Bukankah sudah menjadi keputusanmu untuk tetap menikah denganku? Dan kau telah berjanji, bagaimana pun diriku, kau akan terima.”

Lidah Feri terasa kelu. Sulit untuk mengucap beberapa patah kata saja. Genggaman tangannya di lengan Sinta turut melemah. 

Kini Sinta turut terdiam tak mampu mengucap apa-apa dan wajahnya berubah murung. Kedua matanya menyiratkan penyesalan. “Maafkan aku, mas. Aku melakukan itu supaya kau membenciku dan muak terhadapku. Sejujurnya, aku tak bisa lagi bersamamu,” Feri terkejut dengan ucapan Sinta. “Aku tak tahan lagi dengan sikap ibumu. Rasa benci yang ia tujukan padaku seolah bagai racun buatku. Suatu saat aku akan mati karenanya. Aku bisa terima perihal dia tak menerimaku sebagai istrimu. Sungguh. Namun, tak berarti dia mengacuhkanku bagai onggokan bangkai. Sebegitu hinakah aku ini, mas?”

Airmata Sinta mengalir lembut di kedua pipinya. “Kau tahu, mas, aku begitu mencintaimu. Namun, aku juga tahu kau tak bahagia dengan hidup kita.”

“Aku bahagia hidup dengamu, Sinta.”

“Benar. Kau memang bahagia, mas. Tapi kau tak seutuhnya bahagia. Tak ada suami yang bahagia bila melihat ibunya belum merestui pernikahannya.

“Sinta, tak ada kebahagiaan yang seutuhnya.” Mata Feri mulai berkaca-kaca.

Kemudian Sinta melanjutkan, “Ketika kau datang padaku, aku yakin kau pangeran berkuda putihku. Datang untuk merubah duniaku. Kau tak sama dengan lelaki yang kerap datang padaku. Datang yang hanya sekadar datang, tak membawa arti apa-apa. Kau berbeda. Sungguh. Aku berharap hal itu benar-benar akan terjadi. Namun, sejak awal pula aku tak yakin semuanya akan berjalan sesuai harapan. Tak gampang untuk menerima wanita macam aku, mas. Setiap perubahan yang dilakukan hanya akan dianggap lelucon saja bagi sebagian orang. Mereka akan berkata, ‘ah, pasti nanti kembali lagi.’Aku mengerti kenapa ibumu bersikap demikian. Dia hanya memandang kebahagianmu, anak laki-laki dan satu-satunya. Dan kau hanyalah seorang anak yang tak mau melihat ibunya kecewa.”

Feri meraih tangan istrinya, namun Sinta segera menariknya. “Aku harus pergi, mas. Aku menyayangimu. Kau laki-laki yang baik, kau patut bahagia. Aku tak mau menjadi penghalang kebahagiaanmu. Biarkan aku pergi.” Sinta melangkah cepat keluar kamar setelah menyambar tasnya di meja.

Feri mengikutinya dari belakang dan mendapati istrinya masuk ke kamar anaknya. “Kau tak boleh pergi. Doni membutuhkanmu.” ucap Feri berdiri di ambang pintu.

Sinta mendaratkan kecupan di kening Doni yang sedang terlelap. Menaruh tangan anaknya itu ke dalam selimut, setelah merapikan pensil warna yang berceceran di samping tubuh Doni. Tangannya membelai-belai rambut anaknya itu. “Akan lebih baik jika dia bersamamu.”

“Apa yang harus kukatakan bila dia menanyakanmu? Bagaimana aku harus menyimpan rahasia kita?”

“Kau menyayanginya, kau pasti temukan alasan yang tepat.”

“Kuharap kau bisa kembali pada kami suatu saat nanti.” ucap Feri lirih dengan airmata yang berlinang.

***
“Ayah, Doni dapat ini!”

“Apa itu?”

“Pensil warna.”

“Siapa yang memberinya?”

“Mama.”

Dahi Feri berkerut, timbul rasa tanya di hatinya. Ah, apakah Sinta telah kembali? Apakah istrinya itu tak tahan berpisah dengan suami dan anaknya?

“Tadi ada laki-laki yang mengantarnya ke rumah ini. Katanya, ini dari mama. Rasa penasaran Feri pun menciut seiring ucapan Doni. “Dia juga menyerahkan ini. Dia bilang ayah harus membacanya.” Kemudian dia menyerahkan secarik kertas pada ayahnya. Tiba-tiba Feri seperti didera ketakutan. Dia ragu untuk membacanya. Dadanya pun terasa penuh ketika mendapati isi pesan tersebut. Kerongkongannya seperti tersangkut sesuatu. Tak ada kata yang bisa meluncur dari mulutnya.

“Doni senang mama memberikan ini, sebab ayah selalu lupa membelikan yang baru. Sekarang Doni bisa menggambar lagi.”

Airmata yang menggenang di pelupuk mata Feri pun tumpah. Kini semuanya mengalir membanjiri wajahnya. Dia meraih tubuh Doni dan mendekapnya erat-erat.

“Oh ya, ayah, orang itu juga bilang kalau Doni tinggal bersamanya, dia akan memberikan Doni banyak pensil warna. Tapi Doni menolaknya. Doni tahu ayah bisa memberi Doni lebih banyaaaak pensil warna.” Tangan Doni membentuk bulatan besar.

Feri benar-benar tak percaya secepat itu Sinta akan pergi. Dia terlanjur mengatakan pada Doni bahwa mamanya tak lama lagi pulang. Apa yang hendak Feri katakan bila anaknya kembali bertanya perihal mamanya? Akankah dia terus berbohong? Tapi mampukah dia mengatakan bahwa mamanya berada di surga? Bagaimana pula dia harus menjelaskan pada Doni bahwa yang mengirim ini bukan mamanya? Melainkan ayah kandungnya? Perasaan Feri benar-benar tak keruan. Serasa sebentar lagi langit akan menimpanya.

Doni melepaskan diri dari pelukan ayahnya. “Ayah, ayo kita menggambar. Kita buat gambar ayah, Feri dan mama saling bergandeng tangan.”


*sumber gambar: blog.djarumbeasiswaplus.org
[Cerpen] Pensil Warna dari Mama (Radar Banyuwangi - Minggu, 10 Mei 2015) [Cerpen] Pensil Warna dari Mama (Radar Banyuwangi - Minggu, 10 Mei 2015) Reviewed by Anonim on Mei 11, 2015 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.