Ini adalah cerpen pertama saya yang dimuat di Radar Banyuwangi edisi Minggu, 11 Mei 2014. Kalian juga bisa mengunduh file PDF-nya di sini. Selamat membaca.
***
Sungguh. Kamal telah membulatkan tekad untuk segera angkat kaki dari rumahnya. Ia lebih memilih meninggalkan ayahnya dan pergi bersama laki-laki yang ia cintai. Cinta Kamal pada kekasihnya itu sudah terlampau besar, bahkan ayahnya sendiri tak mampu untuk menghalang-halanginya lagi.
“Silakan pergi dari rumah ini,” kata Pak Sukron, ayah Kamal. “Ingat! Tak ada yang boleh kau bawa dari sini. Kau hanya boleh membawa baju yang sedang kau pakai itu.”
“Kuharap Ayah mengizinkan
aku membawa restu ayah.” jawab Kamal tersedu-sedu.
“Apa?” Pak Sukron
berang. “Tak sudi aku mengucap restu untuk kau.”
“Bukankah aku tetap anak ayah?”
Pak Sukron masuk ke
dalam rumah dan membanting pintunya dengan keras. Bunyi bantingan pintu itu membuat Kamal terkejut.
“Pintu rumah ini
tak akan pernah terbuka untukmu,”
teriak Pak Sukron. “Kau bukan anakku lagi.”
Tangis Kamal
semakin menjadi. Air matanya semakin
membanjiri paras ayunya itu. Ia berkata dalam hati,
andai ibunya masih bersamanya, tentu
ada yang membela dirinya. Tapi itu tidak mungkin lagi. Kini,
hanya satu orang yang bisa dia jadikan tempat menampung semua kesedihannya, Tanjung.
***
Kamal datang ke
rumah Tanjung. Rumah sederhana yang terletak di dekat pantai dengan atap yang memiliki beberapa lubang dan membuat cahaya bulan menyelinap
masuk, ruang
tamu yang terbuka dan menyatu dengan teras, dindingnya dari bambu yang dianyam serta lantai tanahnya mirip
seperti benjolan, kursi-kursi kayu yang lapuk termakan waktu, tempat tidur berbalut sprei berwarna keruh, hingga dapur yang
berantakan.
Bagi Pak Sukron, rumah Tanjung tak patut disebut sebagai rumah dan tentu tak pantas pula Kamal tinggal di sana. Sedang rumahnya lebih layak untuk ditinggali. Tapi, tak ada pilihan lagi ke mana Kamal harus membawa dirinya. Hanya di sinilah satu-satunya tempat Kamal bisa pulang untuk saat ini – atau, bahkan selamanya.
“Kau seharusnya tak melakukan itu, Kamal.” kata Tanjung duduk di tepi tempat tidur. Dia tak percaya atas sikap yang diambil Kamal.
“Tapi, sampai kapan?”
“Aku bisa bicara pada ayahmu,” sahut Tanjung, “...untuk menerima kita.”
Kamal mendekat ke tepi ranjang dan duduk di samping Tanjung. “Kau sudah pernah melakukannya. Apa yang kau dapat? Hinaan dari ayah lalu kau diusir, bukan?” jelas Kamal. Tanjung terdiam.
“Aku hanya ingin
bahagia bersamamu, Tanjung.” lanjut Kamal.
“Bagaimana kalau
aku tidak bisa melakukan itu?”
“Bukankah kau mencintaiku?” sahut Kamal. “Tak
mungkin kau tidak bisa membahagiakanku.”
“Cinta tak selalu
berakhir bahagia, Kamal. Apalagi, cinta yang kita jalani.”
Kamal menggenggam tangan Tanjung. Laki-laki itu memandang wajah Kamal. Mereka saling menatap, seolah saling mencari kesungguhan yang tersimpan di balik tatapan mereka masing-masing. “Sekalipun cinta kita berakhir pada ketidakbahagiaan,” ucap Kamal, “setidaknya kita tetap bisa bersama. Berbagi ketidakbahagiaan itu berdua. ”
Mendengar kata-kata Kamal, mata Tanjung berkaca-kaca. Dia pun langsung memeluk Kamal. Tangis mereka sama-sama pecah, namun terselip senyuman bahagia di sana.
“Kini,” bisik Kamal di telinga Tanjung, “aku sepenuhnya milikmu.”
Malam itu menjadi titik dimana cinta mereka
benar-benar tak bisa dipisahkan lagi. Tanjung
pun meneguk
manisnya cinta yang telah Kamal beri. Percintaan penuh gairah pun tak bisa
dielakkan, di tengah cahaya bulan yang menyusup lewat atap rumah. Desah nafas
yang memburu beradu dengan deru ombak malam itu.
***
Pernikahan mereka pun berlangsung
seminggu setelah Kamal pergi dari
rumahnya. Layaknya pengantin baru yang lain, setiap hari mereka selalu tampak bahagia. Kamal ingin ayahnya tahu bahwa apa yang dia pilih
tidaklah sepenuhnya salah. Meski, jauh di dalam hatinya, ia menyadari kesalahan
telah meninggalkan ayahnya sendiri. Tapi, di sisi lain ia hanya ingin bahagia
bersama orang yang ia cintai.
Setiap hari mereka selalu terlihat mesra. Tiga hari berturut-turut setelah pernikahannya, Tanjung tak sekalipun melaut. Seakan dia takut akan terjadi apa-apa pada istrinya ketika ditinggal pergi. Mungkin Tanjung masih ingin merasakan dekapan hangat istrinya.
“Kau begitu cantik,
Kamal.” ucap
Tanjung membelai pipi Kamal yang berbaring di sampingnya.
“Ah, kau selalu menggoda sejak
dulu.” jawab Kamal.
“Karena kau
benar-benar cantik.”
“Kalau aku tak
cantik, kau tak akan menikah denganku?” tanya Kamal.
“Jangan berkata
seperti itu, sayang.” jawab Tanjung lalu mendaratkan
kecupan mesra di kening Kamal. Kecupan yang hangat membuat darah Kamal seperti mendidih.
“Kau mau berjanji
padaku?” tanya Kamal.
“Apa?”
“Jika kau
benar-benar mencintaiku,” ucap Kamal, “kau tidak akan
meninggalkanku. Kita akan terus bersama.”
“Tidak akan ada
yang bisa memisahkan kita.” jawab Tanjung.
“Sekalipun itu
maut?” tanya Kamal. Tanjung kembali mencium istrinya. Mesra.
Cinta telah membuat
mereka tak bisa saling melepaskan. Seperti dua benda yang saling membutuhkan. Bagi Kamal, Tanjung seperti barang yang tidak bisa
diganti keberadaannya dengan barang.
Setiap hari Tanjung rajin melaut dan pulang dengan hasil laut yang melimpah. Saban pagi Kamal akan menyambut suaminya pulang dari melaut, setelah menyiapkan makanan untuk suaminya. Satu bulan pernikahan mereka, Kamal memberitahu bahwa ia sedang mengandung. Tanjung bahagia mendengar itu.
Setiap hari Tanjung rajin melaut dan pulang dengan hasil laut yang melimpah. Saban pagi Kamal akan menyambut suaminya pulang dari melaut, setelah menyiapkan makanan untuk suaminya. Satu bulan pernikahan mereka, Kamal memberitahu bahwa ia sedang mengandung. Tanjung bahagia mendengar itu.
***
“Beberapa hari ini
sepertinya ikan-ikan mengerti kalau aku butuh mereka.” kata Tanjung setelah
sampai di rumahnya.
“Tangkapanmu melimpah lagi
hari ini?” tanya Kamal.
Tanjung berlutut di
hadapan Kamal, lalu mencium kandungan istrinya yang membesar karena kehamilannya sudah berumur tujuh
bulan. “Tentu,” jawab Tanjung. “Ini untuk anak kita.”
Mereka hidup dengan kesederhanaan. Tapi, mereka selalu merasa bahagia. Kamal berharap bahwa ayahnya mengetahui keadaan keluarganya saat ini. Bukan untuk menyombongkan diri, tetapi ia ingin menunjukkan bahwa dia bisa bahagia dengan apa yang dia pilih. Atau, jika ayahnya khawatir akan kebahagiannya, kini ayahnya tak perlu melakukannya lagi. Kamal tahu hatinya telah memilih Tanjung untuk menemukan kebahagiaan baginya. Bukankah hati tak pernah salah memilih?
Pak Sukron tahu bahwa anaknya kini telah mengandung dan tak lama lagi akan melahirkan. Sebenarnya, dia tetap mengawasi Kamal. Pak Sukron merasa bahwa dia tetaplah ayah bagi Kamal. Dan, dia masih menginginkan cucu dari kamal.
Tanjung dan Kamal masih menanti anaknya. Mereka sudah tak sabar lagi mendengar tangisan bayi yang akan memecah kesunyian rumah mereka. Kamal ingin segera menyibukkan diri mengurus sang bayi. Tanjung pun ingin segera bermain bersama bayinya untuk melepas lelah sepulang melaut.
“Cuaca terlalu parah
saat ini,” kata Kamal. “Itu membahayakanmu. Apalagi kau sendiri.”
“Tak ada pilihan
lagi,” ucap Tanjung. “Kita butuh uang untuk kelahiran anak kita nanti.”
Cuaca sedang buruk. Sementara, Tanjung harus
pergi melaut. Namun, tak ada pilihan lagi baginya. Dia dan orang-orang di
kampungnya hidup dari apa yang dihasilkan laut. Tentu jika mereka tak melaut, maka tak ada yang bisa dimakan esok hari. Bukankah setiap tindakan selalu mengandung konsekuensi?
“Aku bisa menjual
kalungku.“
“Kalung itu pemberian ibumu,” sahut Tanjung. “Satu-satunya benda yang bisa
membuat kau dekat dengan ibumu. Simpan saja.”
“Tapi, cuaca-“
“Sudahlah,” potong Tanjung. “Aku sudah melaut sejak kecil. Laut adalah
rumah keduaku. Aku akan baik-baik saja selama kau terus berdoa untukku.”
***
Ombak bergulung-gulung berantakan menghantam
karang. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun kelapa keras bergoyang. Tiupannya seolah-olah mengirim perasaan ketakutan
bagi warga di sana. Beberapa perahu yang menepi
terseret menjauhi bibir pantai,
bahkan ada yang hampir terbalik. Suara bayi
terdengar memecah malam yang gelap dan mulai turun hujan itu. Suara yang
berasal dari rumah Kamal. Ia telah melahirkan bayinya dengan selamat, dibantu beberapa tetangga. Seorang bayi perempuan yang berbalut kain batik
cokelat, kini telah berbaring di samping Kamal. Sementara Kamal masih tak
tenang melihat cuaca yang semakin memburuk. Ia teringat pada suaminya.
Matahari hampir meninggi. Saatnya bagi para pelaut pulang. Kamal menunggu suaminya yang tak kunjung datang. Namun, hingga sore akan kembali tenggelam, suaminya tak jua nampak batang hidungnya. Khawatir. Kamal ingin mendatangi rumah nelayan lain untuk menanyakan keberadaan suaminya. Namun, ia belum bisa sepenuhnya untuk berjalan hinggs malam kembali menyelimuti kampung.
Kamal gelisah. Hatinya tidak tenang. Tidak mungkin bisa tenang, terus menerus was-was. Sudah dua hari Tanjung belum juga datang. Apa mungkin perahunya dihantam badai, batin Kamal. Pikirannya menjadi kalang kabut, memikirkan tentang segala kemungkinan yang terjadi. Berita itu pun sampai ke telinga seluruh penduduk kampungnya termasuk juga ayahnya.
“Kenapa kau tidak
pulang?” lirih Kamal sambil menangis. “Apa yang terjadi?”
Tujuh hari kemudian,
di kampungnya digegerkan dengan penemuan sebuah pecahan perahu. Mendengar kabar itu, Kamal bergegas
menuju tepi pantai. Di pecahan perahu
itu terdapat tulisan “Tanjung Kamal”. Tak salah lagi
itu milik Tanjung, hati Kamal berkata. Oh, kapan Tanjung menuliskannya?
***
Kamal menangis setiap malam datang. Ia menyesali mengapa dia tak bisa mencegah suaminya pergi melaut saat itu. Andai ia bisa,
tentu suaminya masih berada di sampingnya saat ini. Menemani dirinya dan
anaknya. Kamal begitu mencintai suaminya. Malam itu dia amat merindukan Tanjung. Di pikirannya berkelabatan
adegan-adegan mesra bersama Tanjung.
Semua kenangan tentang suaminya itu pun tak luput ikut terbayang. Termasuk kecupan terakhir yang ia dapatkan.
Banyinya tiba-tiba menangis. Mungkin ia merasakan kegelisahan hati ibunya. Dia coba menenangkan bayinya itu dengan memberikan air susunya. Kamal memandang wajah bayi perempuannya itu.
“Malang sekali kau, Nak,”
kata Kamal. “Kau harus kehilangan ayahmu.”
Tiba-tiba dia teringat Pak Sukron. Dia ingin menumpahkan segala kesedihan saat ini
padanya. Dia ingin mendapat pelukan ayahnya sekali saja. Dia merindukannya. Seharusnya ia bisa
bersama ayahnya dalam keadaan seperti ini. Seketika
pula dia teringat pada janjinya
bersama Tanjung di suatu malam.
***
Pagi itu di rumah Pak Sukron banyak sekali orang. Ditemukan seorang bayi dalam sebuah
keranjang di depan rumahnya. Tak ada yang tahu itu bayi siapa. Pak Sukron mengangkat anak itu dari
keranjangnya lalu jatuh sebuah benda.
“Kalung,” gumam Pak Sukron. Dia
ingat. Dia ingat betul pada bentuk kalung itu. Kalung itu pernah dia berikan pada
seorang wanita, istrinya.
“Kamal?” ucap Pak Sukron.
Dan di salah satu
kampung nelayan yang lain, juga dihebohkan dengan penemuan mayat seorang wanita
muda oleh nelayan di sana. Mayat itu ditemukan mengambang di tengah laut.
***
*sumber gambar: noventasanjaya-apaajaada.blogspot.co.id
[Cerpen] Tanjung Kamal (Radar Banyuwangi - Minggu, 11 Mei 2014)
Reviewed by Anonim
on
Juni 28, 2014
Rating:
Tidak ada komentar: