Lagi-lagi, saya telat mengetahui pemuatan cerpen saya di koran (meski tidak selama cerpen sebelumnya). Beruntung, teman saya (sebut saja namanya Ajeng) memberitahu. Lalu, saya membuktikannya dan ternyata benar. Alhamdulillah.
Berikut cerpen saya yang dimuat di Radar Banyuwangi edisi Minggu, 10 Agustus 2014. Kalian, kalau ingin, bisa mendapat file PDF-nya di sini. Sila dibaca. Ditunggu juga komentarnya. Terima kasih.
Langkahku terasa semakin berat saja.
Semenjak turun dari mobil, aku seperti tak mampu mengangkat kedua kakiku untuk
terus berjalan di pinggiran rel ini. Bukan karena takut akan ada kereta yang
hendak melintas. Atau, jijik dengan rumah-rumah kumuh di kanan-kiri rel ini. Sungguh.
Sama sekali bukan karena itu.
Ketika baru memasuki kawasan ini, jutaan memori menghujani otakku. Kenangan-kenangan yang tersimpan di tempat ini, satu per satu langsung berkelabatan di kepala. Aku pernah tinggal di sini bersama kedua orang tuaku. Setelah orang tuaku meninggal, aku tinggal di panti asuhan. Hingga akhirnya aku diadopsi oleh orang kaya, yang kini mewariskan perusahaannya padaku.
Lima belas tahun telah banyak membuat kampung ini berubah. Perubahan yang bukan semakin membaik menurutku. Tetapi justru menambah kekumuhan kampung ini. Rumah-rumah semakin saling berdesak-desakan. Sampah-sampah semakin menumpuk. Kantong-kantong plastik bertebaran ke sana ke mari.
Bayangan masa kecilku dulu seketika muncul di hadapanku. Aku melihat diriku sedang berlarian di rel kereta. Bersama kawan-kawanku, saling beradu kecepatan berlari.
Ketika baru memasuki kawasan ini, jutaan memori menghujani otakku. Kenangan-kenangan yang tersimpan di tempat ini, satu per satu langsung berkelabatan di kepala. Aku pernah tinggal di sini bersama kedua orang tuaku. Setelah orang tuaku meninggal, aku tinggal di panti asuhan. Hingga akhirnya aku diadopsi oleh orang kaya, yang kini mewariskan perusahaannya padaku.
Lima belas tahun telah banyak membuat kampung ini berubah. Perubahan yang bukan semakin membaik menurutku. Tetapi justru menambah kekumuhan kampung ini. Rumah-rumah semakin saling berdesak-desakan. Sampah-sampah semakin menumpuk. Kantong-kantong plastik bertebaran ke sana ke mari.
Bayangan masa kecilku dulu seketika muncul di hadapanku. Aku melihat diriku sedang berlarian di rel kereta. Bersama kawan-kawanku, saling beradu kecepatan berlari.
“Auwww.” Seorang anak kecil
menabrakku.
Langkahku pun terhenti. Dia terjatuh
dan aku membantu membangunkannya.
“Kau tak apa, Nak?”
Anak itu diam tak menjawab. Dia hanya memandangiku seperti ketakutan.
“Deri, ayo pulang.”
Seseorang berteriak dari kejauhan. Aku melihat ke arah orang itu. Seorang laki-laki dengan tubuh tegap. Orang itu berjalan ke arah kami.
“Kenapa kau selalu berlari bila ayah menyuruhmu mandi?” ucap laki-laki itu. Ternyata, laki-laki ini adalah ayahnya, pikirku.
Kemudian orang itu tersenyum padaku.
“Maafkan anak saya.” ucap laki-laki itu. Aku terus memandangi orang itu. Kutatap wajahnya lekat-lekat.
“Ah, ya.” jawabku terkejut. “Tak apa.”
Laki-laki itu tersenyum. Lalu berkata, “Dari penampilan Anda, saya yakin Anda bukan orang sini.”
“Ya, saya tidak tinggal di sini.”
“Sudah saya kira.”
“Tapi saya pernah dibesarkan di sini.”
Laki-laki itu tiba-tiba terdiam mendengar kata-kataku. Dahinya langsung berkerut, menandakan dia tak mengerti maksud ucapanku.
Aku tersenyum. “Saya pernah tinggal di sini sebelum saya pindah ke panti asuhan.”
Laki-laki ini menatapku. Aku tersenyum padanya.
“Kau?” katanya. “Tio?”
Aku kembali tersenyum dan mengangguk. Laki-laki ini langsung memeluk diriku. Aku membalas pelukannya.
Dia adalah kawanku, Sapto. Sejak dulu kami telah berkawan baik. Aku tidak menyangka jika kedatanganku akan disambut dengan pertemuan seperti ini. Aku kira dia sudah tidak lagi tinggal di sini. Sudah lama kami tak pernah bertemu. Lebih dari lima belas tahun. Bisa dibayangkan bagaimana rasa rindu yang bersarang di dada. Rindu pada kawan baik. Yang benar-benar baik – tidak hanya sekadar baik di ucapan saja. Kawan yang peduli dan selalu ada bagaimana pun keadaan kita. Rasa peduli yang betul-betul datang dari hati.
Saat aku menjadi yatim piatu, Sapto mengajakku untuk tinggal bersamanya. Tapi aku tahu bagaimana kehidupan kami dulu. Aku tak mau menambah beban bagi orang tua Sapto. Terakhir kali kami bertemu ketika Sapto menjengukku di panti. Lalu saat aku diadopsi, tak sempat aku mengucap kata perpisahan padanya. Maka, bersyukur sekali aku dapat bertemu dengannya lagi saat ini.
Tanpa terasa, mataku mulai berkaca-kaca. Airmata pun membasahi pipiku.
***
“Ayo masuk.” Sapto mempersilakanku saat kami tiba di rumahnya.
“Di sini saja. Aku tak lama.”
Kami duduk di bangku panjang di depan rumahnya. Beberapa meter di depan kami, anak-anak nampak asyik bermain di pinggiran rel kereta.
“Aku jadi ingat saat kita masih kanak-kanak dulu, To,” ucapku. “Kawan-kawan kita masih di sini?”
“Mereka sudah pergi.” jawab Sapto.
“Ke mana?”
“Sumi ikut suaminya, yang seorang saudagar, ke luar kota.”
“Sumi?” tanyaku. “Gadis yang sering kita panggil dengan ‘hitam’ itu?”
Sapto mengangguk pasti.
Aku ingat Sumi. Sapto dan aku sering meledeki gadis itu dengan kata-kata ‘hitam’. Di antara teman wanita kami, dialah yang punya kulit paling gelap. Akan tetapi, Sumi gadis yang baik. Dia tidak pernah marah saat kami memanggilnya dengan kata itu. Juga tak pernah mengadu pada orang tuanya – seperti kebanyakan anak-anak lain – tentang sikap kami. Kalaupun marah, pasti dia hanya bercanda.
Sungguh beruntung kawanku itu memiliki suami seorang saudagar. Apa karena sifat baiknya, Tuhan membalasnya dengan cara seperti itu?
“Kalau Sri?”
“Dia jadi TKW di Hong Kong. Katanya, dia sudah menikah di sana.”
Sri, gadis cantik yang pernah tinggal di sini. Biar kampung ini sederhana, tapi ada berlian seperti Sri yang pernah tinggal. Dia punya wajah yang sangat cantik dengan bibir kecil tapi penuh, dan mata sayu yang menyimpan sorot tajam. Juga senyum yang menawan. Aku pernah menyukainya saat masih kanak-kanak dulu.
“Lalu, si Joni?” tanyaku lagi.
“Joni. Dia bekerja di tambang batu bara di Kalimantan,” jawab Sapto. “Sampai sekarang tak pernah pulang, padahal ibunya sakit-sakitan.”
Joni, teman kecilku yang paling jagoan. Dia punya badan tinggi besar. Dia sering mengajak kami melakukan hal-hal ekstrim. Karena dia juga, kami sering terkena masalah. Kami pernah dikejar-kejar tramtib di lampu merah, gara-gara Joni mengajak kami mengamen sepulang sekolah. Beruntung kami bisa lolos saat itu. Bersamanya juga, aku pernah mencuri barang di sebuh toko.
“Kalau Joko?”
“Dia jadi pemandu wisata di Bali. Setahun lalu dia datang membawa seorang wanita. Lalu pergi lagi.”
Joko, seorang anak bertubuh kecil. Namun, begitu lincah. Kawanku yang tidak pernah diam. Dia gemar sekali berjoget bila ada musik dari gerobak dangdut atau yang lainnya. Joko pandai sekali bermain gitar. Suaranya juga lumayan bagus. Dengan kata lain, di antara kami dialah yang paling berjiwa seni.
“Kalau aku ingat mereka di tempat ini, jadi teringat juga dengan lomba lari di sana.” Aku menunjuk ke arah rel.
“Dan kau yang paling sering kalah,” jawab Sapto. “Lalu kau akan menangis.”
Kami berdua tertawa mengingatnya.
Dulu, aku dan kawan-kawan sering berlomba lari di rel itu. Kita akan berdiri di sisi luar masing-masing rel. Seperti lomba lari pada umumnya, siapa yang sampai terlebih dahulu ke garis akhir, maka dialah pemenangnya. Sering kali, yang menjadi pemenang adalah si Joko. Aku? Seperti yang kalian ketahui. Sekalipun aku tak pernah menang. Kecuali jika lawanku si Sumi atau Sri. Jika aku kalah, aku pasti menangis sebab kawan-kawanku akan meledekiku, termasuk si Sapto.
“Rasanya aku ingin tertawa jika aku mengingat semua itu.” kata Sapto.
“Bukankah kita perlu melakukan hal-hal konyol untuk bisa ditertawakan di masa depan?”
“Tapi sekarang kau yang menang.” ucap Sapto padaku.
“Maksudmu?”
“Lihatlah dirimu saat ini.”
“Ah, To. Kau pikir hidup tentang siapa yang menang dan yang kalah?” sahutku. Sapto hanya tersenyum. “Oh ya, Ustad Yazid masih di sini?”
“Sudah hampir 10 tahun beliau meninggal.”
“Yang benar, To?”
Sapto mengangguk.
Ustad Yazid, yang tanpa pamrih mengajar anak-anak mengaji dan belajar agama. Meskipun pekerjaannya hanya mencari barang rongsokan, tapi kepeduliannya begitu tinggi. Aku masih ingat Ustad Yazid sering memberiku nasihat. Bila aku kena marah oleh ayah atau ibu, aku sering pergi ke langgar kecilnya yang sekaligus dijadikannya sebagai rumah.
“Lalu langgarnya?”
“Langgarnya juga mati,” jawab Sapto. “Mati dari kepedulian warga kampung.”
“Bagaimana bisa?”
Sapto mengedikkan bahu. “Aku sudah berulang kali mencoba membangun lagi langgar itu. Aku juga mengajak anak-anak di sini untuk belajar mengaji di sana. Tapi tak pernah ada yang datang.”
Aku terdiam, memikirkan apa yang Sapto katakan. Bagaimana mungkin warga sampai melupakan langgar itu? Bukankah di sanalah dulu anak-anak mereka – bahkan mungkin mereka sendiri – belajar mengaji? Sungguh. Selain keadaannya, orang-orang di kampung ini juga telah banyak berubah.
“Keadaan yang telah membuat orang-orang di sini lupa,” kata Sapto. “Pekerjaan untuk mengisi perut sudah bagaikan candu bagi mereka. Lupa kalau jiwa mereka juga butuh ‘makanan’.”
Keterlaluan bukan jika aku tidak setuju dengan apa yang dikatakan Sapto. Manusia kerap kali melupakan kebutuhan jiwa. Dan disibukkan dengan memburu kenyamanan duniawi. Memang, dunia telah membuat banyak orang seolah-olah bersikap acuh terhadap agama. Seperti di kampung ini, kesulitan hidup membuat mereka mengabaikan apa yang seharusnya mereka jaga. Apa anak-anak yang sedang bermain itu, masih diingatkan oleh orang tua mereka soal agamanya?
Bukannya aku telah sempurna menjalani hidupku dengan berkata demikian. Justru karena pengalamanku sendiri, aku tidak mau hal ini terjadi pada orang-orang lain. Apalagi sahabatku.
Tapi, beruntunglah hal itu tak terjadi pada Sapto.
“To, kau tak ingin pindah dari kampung ini?” tanyaku.
Sapto menatapku. “Pindah ke mana?”
“Ke mana saja. Ke luar dari kampung ini.”
Dia tergelak. “Rumahku hanya di sini,” jawabnya. “Aku lahir dan besar di kampung ini. Bahkan, menikah dan punya anak. Kampung ini sudah mengalir dalam darahku, Yo.”
“Bukan berarti kau harus juga tinggal di sini selamanya, kan?”
“Memangnya kenapa?” sahut Sapto. “Mungkin takdirku untuk lahir dan mati di sini. Bukankah lebih baik mati di tempat kelahiran daripada di perantauan?”
“Kau tahu walikota sekarang? Dia sedang giat-giatnya membangun kota ini.”
“Aku tahu, Yo. Kami sudah dengar bahwa kampung ini akan digusur dan dipindahkan. Kami telah memikirkan bagaimana kalau seandainya hal itu mereka lakukan.”
“Kalian akan pindah, kan?”
“Pindah?” Sapto tertawa. “Setiap tahun mereka menarik uang dari kami. Katanya untuk pajak. Lalu, bagaimana mungkin mereka dengan seenaknya akan menggusur kami? Tak akan kubiarkan siapapun menggusur kami. Kampung ini selamanya akan tetap ada. Aku dan orang-orang di sini akan mempertahankannya. Bagaimanapun caranya. Itu janjiku.”
Sapto menghadap ke arahku. “Tio, kau akan membantu kami, kan? Aku yakin kau pasti bisa membantu kami.”
Aku hanya tersenyum. Terdengar suara menderu mendekat. Anak-anak yang bermain menjauhi rel. Tak lama kemudian sebuah kereta dengan gerbong yang cukup panjang melintas.
“Aku tahu kau khawatir, Yo,” Tangannya menyentuh bahuku. “Terima kasih.”
Dadaku terasa tak kuat lagi memendam sesuatu yang berkecamuk. Ada gemuruh yang terdengar lebih keras dari suara kereta yang melintas tadi. Aku langsung memeluk Sapto. Dan tak terasa airmataku pun menetes.
“Kau kenapa?” tanya Sapto.
Kulepas pelukanku. Kurogoh saku celana dan mengambil sesuatu di dalamnya. Aku menyerahkan benda itu pada Sapto.
“Tio? Apa ini?” tanya Sapto sambil memegang amplop cokelat.
“Ambillah. Dan ini kartu namaku.”
“Tidak. Aku tidak bisa terima ini.” Sapto mencoba menyerahkan kembali amplop itu padaku.
“Itu sebagai rasa bersalahku karena melupakanmu selama ini.”
“Kau datang ke sini saja, itu sudah sangat cukup buatku.”
“Tak apa. Ambillah.”
“Bagaimana mungkin seseorang menghargai persahabatannya dengan uang?”
Seketika aku terdiam. Sapto pun demikian. Aku memandangnya. “Kalau kau tak mau menerimanya, anggap saja itu pemberianku untuk anakmu,” Aku bangkit dari dudukku. “Maafkan aku, To.”
Aku melangkah pergi meninggalkan Sapto. Dia memanggilku beberapa kali tapi aku tak menoleh.
***
Pintu ruang kerjaku diketuk.
“Masuk.” perintahku.
“Ada apa Bapak memanggil saya?”
“Aku sudah mendatangi kampung itu kemarin sore. Beri tahu warga di sana kalau besok rumah mereka harus dikosongkan. Eksekusi tidak bisa kita batalkan. Kita laksanakan lusa.”
“Baik, Pak.”
Manajerku beranjak dari kursi.
“Tunggu,” kataku. “Jika kau menemukan langgar kecil di sana, tolong jangan kau hancurkan. Biarkan tetap berdiri.”
***
*sumber gambar: mediachild.com
[Cerpen] Kampung dan Langgar (Radar Banyuwang - Minggu, 10 Agustus 2014)
Reviewed by Anonim
on
Agustus 13, 2014
Rating:
Tidak ada komentar: