Li, kini aku sedang berdiri
di atas jembatan yang kau idam-idamkan sejak dulu. Jembatan ini jauh lebih
indah dari yang kau ceritakan. Lampu-lampu yang menghiasinya seperti parade ribuan – bukan, tetapi jutaan – kunang-kunang.
***
Li mengatakan padaku tentang keinginannya pergi ke San Fransisco, saat kita sedang belajar di perpustakaan
sekolah dulu. Kami sering datang ke tempat itu karena kesamaan kegemaran kami:
membaca. Selain itu, buatku tak ada tempat di sekolah yang lebih tenang dari perpustaakaan.
Kantin? Terlalu sesak dan ramai. Apalagi bila kudengar celotehan-celotehan tak
penting para gadis. Telingaku terasa panas. Lapangan basket? Aku tidak gemar olahraga.
Ikut bermain hanya membuatku jadi bahan tertawaan teman-teman. Di kelas?
Lumayan. Tapi tetap saja itu tak memberikan ketenangan yang benar-benar aku
butuhkan.
“Kenapa harus San Fransisco?” tanyaku.
“Kota itu menarik.”
“Bagaimana dengan Paris? Atau, London? Bukankah itu jauh lebih
menarik?”
“Bagiku San Fransisco lebih dari menarik.”
Sejak itulah dia sering mengulang-ulang keinginannya itu. Seperti suatu siang
sepulang kami sekolah. Aku ingat saat itu Li mengajakku pergi. Katanya, dia
sedang malas pulang ke rumahnya. Entah kenapa, aku tidak pernah bertanya
alasannya. Sambil menikmati ice cream,
Li dan aku menyusuri koridor pertokoan yang cukup panjang. Tiba-tiba langkah Li
terhenti ketika melewati sebuah butik. Dia memandang sebuah patung wanita di
etalase. Patung itu mengenakan blouse
tanpa lengan berwarna putih dengan motif bunga-bunga hitam, dipadankan dengan
rok span berwarna
hitam pula.
“Lihat. Bagus, kan?” Sambil memegang ice cream tangan Li menunjuk ke arah patung.
“Bagus.”
“Aku pasti bahagia sekali kalau kau membelinya sebagai kado ulang
tahunku.”
“Kalau harganya sama dengan es krim ini, pasti kubeli itu untukmu.”
Li tertawa. Pandangannya kembali tertuju pada patung cantik yang
sedang berpose itu. “Menurutmu, bagaimana kalau aku memakainya?”
Sejenak aku berpikir. “Mungkin kau harus menggantikan patung itu di
sana.”
Li kembali tertawa. Pandangan Li masih tak berpaling. Aku bisa
melihat raut wajahnya, betapa dia menginginkan pakaian itu.
“Maaf kalau aku tidak bisa memberikan itu padamu.”
Li menoleh ke arahku. “Hei! Mengapa kau menganggapnya serius? Aku
tak mau apa-apa darimu selain-”
“Membawamu ke San Fransisco.” jawabku memotong pembicaraannya
Sejujurnya, aku belum tahu alasan Li ingin pergi ke San Fransisco.
Bagiku, masih ada Paris yang terkenal romantis, Venesia kota kanal Italia,
Barcelona kota peradaban dunia, atau Milan kota mode yang menawan. Tapi,
bagaimana dengan San Fransisco?
***
“Kalau saja jembatan ini setinggi Golden Gate, mungkin aku sudah
melompat.” ucap Li saat kami berada di atas jembatan dekat rumah.
Aku tahu tentang alasan Li yang sering mengatakan malas pulang ke
rumah. Perceraian kedua orang tuanya yang membuatnya demikian. Li ingin tetap
tinggal bersama ayahnya. Tetapi, mamanya memaksanya untuk ikut. Dia begitu
sayang pada ayahnya, tetapi tak mungkin menolak ajakan mamanya.
“Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah.” Sejujurnya, aku tidak
tahu saran atau nasihat seperti apa yang harus kuberikan. Bagiku, bukan hal
mudah melihat orangtua kita tak bersama lagi. Dua bentuk rasa sayang pada kita,
yang dulunya menyatu, harus terbelah. Di mana seharusnya rasa itu memberi rasa
aman, justru membuat perasaan kita turut tersakiti pula.
“Hidup memang tidak adil.” ucap Li lirih membuatku terkejut.
“Li, kenapa kau berkata seperti itu? Memangnya keadilan seperti apa
yang kau harapkan?”
Li tak menjawab. Dia hanya menunduk.
“Apa keadilan yang kau maksud, saat keluargamu bisa utuh kembali?” sahutku. “Lalu,
bagaimana denganku? Apa aku juga harus berkata hidup tak adil? Kau tahu aku tak
pernah kenal orang tuaku.”
Kemudian aku melanjutkan. “Jangan kau bawa-bawa soal keadilan hidup.
Hidup memang tidak adil, Li. Tapi itu jika kau melihat kesedihanmu saja. Sementara
hidup juga punya sisi kebahagiaan. Setiap yang bersedih, pasti akan bahagia.
Begitu pula sebaliknya. Hidup selalu bisa menemukan keseimbangannya sendiri.”
Kuraih kedua tangan Li. “Aku akan selalu ada buat kamu.”
Seperti yang Li harapkan, aku bukan hanya sekadar menjadi
kekasihnya, tapi juga menjadi teman, dan sahabat yang bisa dijadikan wadah
untuk menampung kesedihannya. Menjadi bahu saat dia ingin bersandar. Bisa
menghapus setiap air matanya. Baginya, kekasih atau pacar tidak hanya semata-mata
untuk kesenangan saja.
Akhirnya, Li memilih ikut bersama mamanya. Sesuatu yang sulit – dan
menyakitkan pula – untuk merelakan orang yang kita cintai pergi. Apalagi, bila
kuingat Li pergi tanpa memberitahuku ke mana di akan pergi. Itu benar-benar
menyakitkan. Ketika aku lulus sekolah dan mendapat beasiswa ke San Fransisco
pun, aku tetap tidak tahu di mana Li. Seharusnya, keberhasilanku mendapat
beasiswa akan menjadi berita bahagia untuknya. Tapi aku masih berharap bisa
bertemu Li suatu saat nanti. Di San Fransisco? Entahlah.
***
Empat bulan belum cukup membuatku tahu apa yang menarik dari San
Fransisco. Meski segala kecanggihan sudah dipertontonkan di tiap sudut kota
yang berada di negara bagian California ini, menurutku itu belum cukup. Dan aku
pikir bukan itu pula yang membuat Li tertarik dengan San Fransisco.
Aku memasuki sebuah café. Kupesan secangkir kopi. Kupilih tempat
duduk di dekat jendela agar bisa mengamati suasana jalanan. Akan sangat
menenangkan bila membaca sebuah buku sambil sesekali menyesap kopi. Aku pun
mengeluarkan bukuku dari dalam tas dan mulai membacanya.
“Ini, Tuan.” Sesaat pelayan datang menyerahkan kopi yang kupesan.
“Terima kasih.” balasku.
Kulihat jalanan mulai ramai. Makin banyak orang yang berlalu lalang
di depan café. Menyeberang jalanan bersama dengan tertib. Kuhentikan kegiatan
membacaku dan mulai kusesap kopiku. Aku menoleh ke jalanan lagi. Di seberang
jalan ada seorang wanita berdiri menghadap ke etalase sebuah toko pakaian. Aku bisa melihatnya samar-samar
dari lalu lalang para pejalan kaki. Rambutnya panjang melewati bahunya.
Dia mengenakan jaket berwarna coklat dan celana jeans belel. Di bahu kirinya menggantung sebuah pouch bag berwarna coklat tetapi lebih tua. Tangan
kanannya dimasukkan ke saku jaketnya. Sementara tangan yang lain menggantung
bebas.
***
“Bagus. Sangat cocok untukmu.” Wanita yang kupandangi dari dalam
café itu sedikit terkejut dengan suaraku. Entah kenapa aku memilih
menghampirinya. Mungkin karena peristiwa itu mengingatkanku pada Li. Atau, aku
memang ingin menghampirinya.
“Kau yakin?” sahutnya.
Aku hanya mengangguk.
Wanita dengan wajah oriental itu kembali memandang baju yang dipajang di dalam
etalase. Aku juga turut memandangnya. Sesekali kulirik wajah wanita itu.
Namanya Ferliana Agista. Aku memanggilnya Fer. Dia seorang mahasiswi
jurusan Psikologi di salah satu universitas di San Diego. Sejak pertemuan di
depan toko baju itu, aku dan Fer lebih sering bertemu – tepatnya, berjanji
untuk bertemu. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana alasannya, tapi
aku merasa
nyaman dengannya. Aku suka dengan sifat-sifatnya. Satu yang paling aku suka darinya, dia selalu
bisa mengimbangi setiap obrolanku. Mulai dari masalah inflasi hingga hobi, masalah
teknologi hingga hati. Memang, aku lebih
suka pada wanita yang bisa kuajak berbincang tentang apapun, daripada
wanita yang bila kuajak bicara dia hanya diam tak merespon, atau berkata, “Aku
tidak mengerti.” Ah, itu akan sangat membosankan buatku.
“Sekarang kau akan sering berkunjung ke sini.”
Sambil mengertik Fer menjawab, “Kenapa?”
“Kau kan harus menemuiku.”
“Kau yang harus menemuiku di San Diego.”
“Bukankah kau suka dengan San Fransisco? Dan aku berada di sini.”
Dia berhenti mengetik. “Mana mungkin kau membiarkan seorang wanita
menemui laki-laki? Kupikir itu tak layak.”
“Kau menemui cintamu. Bagaimana bisa kau bilang itu tak layak?”
“Sebab aku seorang wanita. Wanita selalu menunggu, bukan menjemput
laki-lakinya.”
Aku memandangnya. Lalu aku tersenyum padanya. “Baiklah. Oh, ya, memangnya
apa yang kau sukai dari kota ini?”
Fer memutar bola matanya. “San Fransisco…bagiku seperti surga.
Memang tidak secantik Paris, seeksotis Bali, atau seindah Rio de Jainero. Tapi,
aku merasakan sesuatu yang beda di kota ini.”
“Sesuatu yang beda?” tanyaku. Fer mengangguk.
“Apa itu? Bisa tunjukkan padaku?”
Fer tersenyum. “Tentu.”
***
Li, sekarang aku tahu apa
yang membuatmu tertarik dengan kota ini. Benar katamu kalau San Fransisco lebih menarik dari Paris,
Milan, ataupun London. Wanita yang berada di sampingku ini telah menunjukkan
semuanya padaku. Tentang kabut di pagi hari yang menyelimuti kota berbukit ini
pada saat musim panas. Oh, Li, itu benar-benar indah. Dan masih banyak yang dia
tunjukkan padaku, seperti Lombard Street, Fisherman Wharf, Pier 39. Tapi, Li, jembatan yang menghubungkan San
Fransiso dan Marine inilah yang paling kusuka. Aku masih takjub dengan
cahayanya yang seperti tertumpah diatas
Teluk San Fransisco.
“Kau suka kan dengan jembatan ini?” kata Fer yang berdiri di
sampingku.
Aku mengangguk. “Sejak dulu aku telah memimpikannya.”
Aku memandang ke bawah jembatan. Aku mengerti kenapa Li ingin
melompat dari atas sini. Kenapa dia berharap jembatan di kampungku setinggi
Golden Gate. Aku tahu, tanpa pertolongan Tuhan, siapa pun yang melompat dari
atas jembatan ini tak akan selamat. Bisa kubayangkan bagaimana sakitnya jatuh
dari atas jembatan mahamegah ini, saat tubuh menghantam air di bawah sana, yang
kuyakini dinginnya seperti menusuk-nusuk tulang.
“Kau melamun?”
Aku menoleh ke arah Fer. “Tidak.”
Tanganya meraih lenganku. “Ayo kita pulang.”
Kami berjalan melintasi Golden Gate. Wajahku menengadah. Kurasa, sepertinya
tumpahan cahaya jembatan ini juga melumeri tubuh kami.
Tapi, Li, ada satu hal
paling penting yang Fer tunjukkan padaku. Bukan tentang keindahan tempatnya
yang membuat kita bahagia. Tapi, bersama siapa kita menikmatinya. Fer membuatku
melihat sesuatu yang ada di matamu dulu: cinta.
Li, di mana kau saat ini?
[Cerpen] Kutemukan Dirimu Di San Francisco
Reviewed by Anonim
on
Agustus 13, 2014
Rating:
Tidak ada komentar: