Alhamdulillah, sekali lagi cerpen saya terbit di surat kabar pada tanggal 15 Februari 2015. Ya, meskipun hanya muncul di Radar Banyuwangi, namun saya tetap bersyukur. Setidaknya ada yang mengapresiasi karya saya.
Cerpen ini sebenarnya saya buat untuk berpartisipasi dalam lomba TraveLove (lupa siapa yang ngadain :D). Namun, ternyata cerpen ini kurang beruntung. Hehehe. Lalu, saya berpikir, daripada cerpen ini hanya mengendap di laptop, alangkah lebih baik jika saya kirimkan ke media. Radar Banyuwangi memang sengaja saya pilih sebab koran lokal kebanggaan Kota Gandrung itu lebih terbuka terhadap semua tema cerita. Dan lagi, saya tidak terlalu yakin cerpen ini bila hendak dikirim ke majalah-majalah terkenal seperti Femina, Chic, dan lain-lain. Oleh sebab itulah, akhirnya cerpen ini dimuat di Radar Banyuwangi.
Sekadar info saja, ini adalah cerpen ketiga saya yang dimuat oleh Radar Banyuwangi. Untuk yang pertama, Tanjung Kamal dan kedua, Kampung dan Langgar juga bisa kalian baca di blog ini.
Sila dibaca, gaess!
Sila dibaca, gaess!
Bermula di watching tower Taman Nasional Baluran. Wanita
itu tengah serius mengambil gambar gunung, ikon taman nasional, yang megah
menantang angkasa. Puncaknya sedikit tertutup awan menambah keelokan. Tangan
wanita itu memutar-mutar lensa panjang kameranya, mencari gambar terbaik. Aku berdiri
di belakang wanita itu.
“Sedang
memotret apa?” Pertanyaan bodoh itu meluncur dari mulutku. Mungkin wanita itu
akan mengira aku sedang gugup.
Dia terkejut
dengan suaraku. Terdiam sejenak dan memandangku lekat-lekat sebelum menjawab.
“Tidakkah kau lihat?”
Kuambil
beberapa langkah mendekatinya hingga kami berdiri bersisian. Dia kembali
membidikkan kameranya. Di tengah-tengah keasyikannya itu, aku menimpali dengan
obrolan tentang: apakah itu adalah kunjungan pertamanya, dari mana asalnya, sudah
berkunjung ke mana saja, hingga tentang diriku yang sering datang berlibur ke
Taman Nasional Baluran.
“Kalau kau
suka memotret burung-burung, kau bisa datangi birdwatching di hutan bakau.” ucapku.
“Boleh juga.
Kau bisa mengantarku?”
“Tentu saja.
Dengan senang hati.”
Dia
tersenyum padaku mengulurkan tangannya. “Seren.”
“Gilang.” balasku
sembari tersenyum.
Itu adalah
pertama kali aku mengenalnya. Wanita dari Jakarta yang nekat berlibur sendiri.
Melihat dari penampilannya, sepertinya dia wanita dengan gaya berlibur yang
mewah. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya sampai berani melakukan hal itu.
Tapi menurutku, itu bukan sesuatu yang biasa. Jarang sekali aku bertemu dengan
wanita yang datang seorang diri ke tempat wisata alam liar.
Tak tahu
kenapa, menyadari hal itu, aku merasakan sesuatu yang beda darinya. Aku pikir
wanita itu pun tak biasa. Bayangan dirinya yang sibuk memotret dan senyum di
bibirnya bermunculan dalam pikiran. Ketika membayangkan esok hari (dan
hari-hari setelahnya) kami akan menikmati liburan bersama, senyum pun tersimpul
di bibirku. Ah, apa aku mulai jatuh cinta padanya? Tidak,
tidak. Segera kutepis perasaan seperti itu.
Sesuai
janjiku di awal, kuajak dia ke beberapa tempat. Seperti bersafari di padang
sabana Bekol nan luas. Dan bila beruntung kita akan bertemu hewan-hewan liar
penghuni taman nasional.
“Tak salah
kalau tempat ini disebut Africa van Java.”
katanya.
Kemudian dia
berlari-lari membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Gerakan kakinya lincah.
Sesekali dia memutar
tubuh. Tak kusia-siakan pemandangan itu. Kubidikkan kameraku ke arahnya.
Kuamati hasilnya dan…aku dibuat takjub. Dengan berlatar Gunung Baluran yang
kehijauan, kontras dengan padang sabana kuning kerontang, Seren berdiri di sana.
Semua berjalan
seperti yang kuharapkan. Kami menikmati hari pertama setelah kami kenal dengan tawa
dan rasa bahagia. Bahkan sesekali terjadi hal yang tanpa sengaja membuat kami
terdiam. Saling memandang. Menciptakan perasaan aneh dalam diriku. Rasanya
hatiku seperti berdesir halus. Seperti angin yang laun berhembus. Oh, semoga
itu bukanlah tanda-tanda bahwa aku mulai mencintainya.
“Aku kagum
padamu.” ucapku pada Seren di tengah perjalanan pulang menuju penginapan kami
di Wisma Rusa.
“Maksudmu?”
“Kau berani
sekali datang ke mari tanpa seorang teman.”
Dia diam
sejenak lalu menjawab, “Tidak ada yang perlu kaukagumi dari itu.”
Perasaan di
awal perkenalan, di mana aku merasa dia bukan wanita biasa, mulai berubah menjelma
rasa kagum. Aku pun tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Bagian hati
terkecilku turut berkata bahwa rasa kagum itu kelak akan mewujud rasa-rasa lain,
sebab tak mampu lagi kututup-tutupi rasa nyamanku saat berada di dekatnya.
Hari kedua
kami berburu gambar-gambar nan elok burung-burung di hutan mangrove. Sebenarnya, ada banyak jenis burung yang hidup di sana.
Akan tetapi, kami hanya menemukan beberapa jenis burung seperti Cekakak Sungai,
Elang Brontok dan Rangkong. Seren tak mau kehilangan momen itu. Dia, dengan
lihai, mengambil gambar mereka yang bertengger indah di batang-batang bakau.
“Bagus, ya.”
Senyum terkembang di sudut bibirnya saat melihat hasil
potretannya.
Rasa senang
memburu gambar burung-burung membuat kami tak sadar bahwa matahari hampir
tenggelam. Sebelum pulang, Seren mengajakku menikmati senja yang telah tampak
di Pantai Bama. Aku menyetujui permintaannya itu. Matahari telah separuh
tertelan lautan. Sinarnya yang kejinggaan disapukan ke hamparan langit. Seren tiba-tiba
berjalan mendekati tepian pantai. Air laut menenggelamkan kakinya yang tanpa
alas beberapa senti.
“Seren!” Kupanggil
dia dan aku telah siap dengan bidikan kameraku ke arahnya. Dia berbalik menoleh
dan kudapatkan gambarnya. Siluet dirinya berlatar senja. Indah!
“Hei, kau
curang!” Seren berlari ke arahku. Aku menghindar dari kejarannnya. Lalu kami
pun saling berkejaran seperti dua bocah yang bahagia bermain di tepian pantai. Tangannya
menggapai-gapai tubuhku. Namun, aku mampu mengelit. Akhirnya dia kesal karena
tak kunjung bisa menangkapku. Tawa pun tak bisa kutahan melihat sikapnya yang
demikian.
Seren
terlihat kelelahan dan duduk di atas pasir. Aku turut menemaninya. Kupandangi
wajahnya dari samping. Bulu mata lentiknya nampak jelas mencuat. Hidungnya yang
bangir menambah elok objek pandanganku itu. Dia sedikit terkejut ketika aku
meraih tangannya. Namun tak nampak penolakan darinya.
“Pantai ini
tak terkenal dengan sunset-nya.”
ucapku.
“Lalu?”
“Sunrise di sini sangat melegenda.”
“Kenapa
begitu?”
“Kau tahu, kita
berada di ujung timur pulau Jawa. Matahari di sini adalah yang pertama kali
menyapa pulau ini. Dan kau bisa menyaksikannya langsung tanpa terhalang apapun.”
“Aku jadi ingin
melihatnya,” sahut Seren. Kedua matanya berbinar. “Besok kita ke sini, ya?”
“Jangan. Nanti
saja di hari terakhirmu berlibur. Besok kita ke Bilik Sijile.”
Matahari
telah hilang dari pandangan. Langit juga mulai terlihat gelap. Bintang barat
mulai memperlihatkan diri. Air laut telah naik ke permukaan dan kaki-kaki kami pun
tersapu olehnya. Kami tetap duduk bersisian. Hanya saja kepala Seren telah
rebah di bahuku. Entah bagaimana mulanya hal itu terjadi. Tanganku merangkul
tubuhnya seolah tak mau gigil angin petang itu membuatnya kedinginan.
“Dari sekian
banyak tempat wisata, kenapa kau memilih tempat ini?”
Seren
terdiam sejenak. “Sejujurnya, ini pertama kalinya aku datang ke wisata alam liar.
Aku terlalu bosan menikmati gaya liburanku. Aku ingin menikmati sesuatu yang
baru. Teman-temanku menyarankanku untuk ke sini.”
“Aku sudah
menduga kalau kau punya gaya liburan yang mewah.” ucapku. Seren hanya
tersenyum.
“Bagaimana kau bisa sampai ke sini? Kau tidak tersesat, kan?”
“Apa kau
sudah cukup modern untuk menggunakan internet?”
Dia tergelak.
Aku terdiam
sejenak sebelum melanjutkan, “Aku masih belum tahu kenapa kau pergi seorang
diri.”
“Kau
seperti wartawan. Banyak tanya.” katanya kembali tergelak.
“Aku
tidak bertanya.”
“Aku tahu,
tapi kalimatmu mengandung rasa keingintahuanmu.”
Setelah
mengucapkan itu dia terdiam. Entah mengapa, setiap kali aku menyinggung masalah
itu, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Namun aku membiarkannya, sebab
kurasa itu perihal pribadinya.
“Gilang,”
Tiba-tiba tangannya erat menggengam tanganku.
“Ya?”
“Menurutmu, bagaimana
bila ada seseorang yang mencintaimu, tapi kau tidak mencintainya?”
Aku diam
sejenak memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya. “Tentu akan
kutinggalkan orang itu.”
“Kau akan
menyakitinya, Gilang.”
“Bukankah
jika kau tetap bersamanya, kau telah berpura-pura mencintainya?”
Tak ada jawaban
dari Seren. Namun terdengar isakan kecil darinya. Aku melepaskan pelukanku. “Kenapa
kau menangis?”
Bahu Seren
berguncang. Isakannya mulai terdengar lebih keras. Aku mengangkat wajahnya. Di
kedua pipinya telah terbetuk sungai kembar. Tiba-tiba dia menabrak tubuhku dan membenamkan
diri dalam pelukanku.
“Gilang,
temani aku. Aku nyaman bersamamu.” katanya sembari terisak.
Air laut pun
makin pasang. Kami tak menyadari bahwa pakaian kami telah basah karenanya. Langit
telah berubah pekat. Tak ada suara apapun selain deburan ombak petang itu. Kami
kembali menuju penginapan. Sepanjang perjalanan di hutan tak ada cahaya apapun
selain sinar lampu mobil kami. Sejauh mata kami memandang semuanya terlihat
hitam. Sunyi.
Tiba-tiba
dia membenamkan wajahnya ke lenganku setelah melihat cahaya bulat-bulat kuning
bergerak-gerak di kegelapan. Dia memekik ketakutan. Tangan kiriku langsung merangkulnya.
“Tak usah takut. Itu mata rusa-rusa yang mencari makan. Ambil kameramu. Jangan
lewatkan pemandangan langka ini.”
Hari-hari
berikutnya kami lewati tanpa kehilangan bahagia. Kami pergi ke Bilik Sijile
berdua menggunakan perahu yang kami sewa dari nelayan setempat, melihat
keindahan bawah laut yang masih terpelihara dengan baik. Kami juga pergi
memburu gambar hewan-hewan liar seperti kawanan rusa, burung merak, langur,
bahkan kami sempat bertemu ajag. Selama kebersamaan kami itu muncul sesuatu
dalam hatiku, yang bahkan aku sendiri tak mampu mengerti. Entah jatuh cinta
atau hanya sekadar rasa suka.
Jika kusebut
itu rasa suka, tak mungkin sampai-sampai aku tak mau kehilangan dirinya. Rasa
suka tak pernah sejauh itu melangkah. Namun, jika kusebut itu cinta, bisakah
hal itu tumbuh dalam waktu yang singkat? Kutahu bahwa cinta butuh waktu, tak
bisa sekadar tumbuh dengan sekejap.
Tapi, aku
tak perduli dengan hal itu. Aku hanya merasa perasaan nyaman itu perlahan
menciptakan rasa tak mau kehilangan dia dan ingin tetap bersamanya. Ke mana pun
Seren memintaku menemaninya, kupastikan aku selalu ada di sampingnya dan
menggandeng tangannya. Kuharap dia tahu perasaanku sebelum waktuku bersamanya
berakhir. Kuharap pula apa yang kurasakan tak akan beda dengan perasaannya.
Udara masih
terasa dingin pagi itu. Orang-orang belum banyak yang terjaga. Suara jangkrik ramai
terdengar layaknya paduan suara. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru,
takut didahului naiknya matahari, gegas aku keluar menemui Seren di kamarnya.
Kuketuk pintunya perlahan. Sekali, tak ada jawaban. Dua kali, tetap tak ada. Ketiga
kalinya sedikit lebih keras. Namun, sama. Tetap tak ada jawaban. Seorang
penjaga penginapan akhirnya berkata bahwa Seren telah pergi semalam. Kudengarkan
dengan seksama penuturan penjaga itu. Darahku seketika terasa membeku. Tulang-tulang
yang menyanggah tubuh seperti melemas. Kaki pun rasanya tak mampu lagi
menopang. Aku tercekat tak mampu menguca apa-apa. Aku terduduk di depan pintu
kamarnya. Kenyataan itu seperti mengiris pelan perasaanku. Beberapa bulir
airmata jatuh lembut di pipi.
Apakah laki-laki Jakarta yang menjemputmu
semalam adalah yang kau maksud di pantai itu, Seren? Tak bisakah kau berkata jujur padaku tentang semuanya? Mengapa kau
biarkan semua ini terjadi, jika pada akhirnya kau akan meninggalkanku dengan
cara seperti ini? Tidakkah terbaca sikap-sikapku bahwa aku mencintaimu, Seren?
Kini, aku
telah berdiri di atas pasir Pantai Bama yang putih, menanti matahari
menampakkan diri. Bau lautnya masih sama seperti terakhir aku datang bersama
Seren. Ombaknya pun tetap ramah menyentuh mata kaki. Dingin menjalar ke seluruh
tubuhku. Benak pun terbang pada suasana hangat kala Seren berada dalam
pelukanku petang itu. Aku menghadap ke bawah di mana kakiku berpijak.
Mungkinkah aku temukan jejak-jejak Seren di sini untuk sekadar menghilangkan
rasa rindu pada masa lalu? Tapi aku menyadari itu tindakan bodoh. Tentulah ombak
telah menghapusnya sejak lama.
Sinar jingga
keungu-unguan mulai nampak di langit timur. Ujung matahari pun muncul dari
lautan sampai akhirnya bola api raksasa itu telah separuh nampak ke permukaan.
Cantik. Kuarahkan kameraku ke arahnya. Dan dapatlah gambar-gambar sunrise di Bama. Sunrise yang kujanjikan pada Seren. Sunrise yang menggambarkan kehadirannya. Sunrise yang membuat hidupku terang benderang, hangat dan indah,
meski pada akhirnya dia terbenam meninggalkanku. Namun, matahari yang tenggelam
akan selalu kembali terbit. Jika Seren tak akan pernah kembali, akan ada
matahari-matahari lain yang datang.
“Sedang
memotret apa?”
Suara itu
mengejutkanku. Aku menoleh dan seorang wanita berdiri di belakangku. Kupandangi
wajahnya. “Tidakkah kau lihat?” jawabku.
Dia melempar
senyum. Melangkah mendekat dan berdiri bersisian denganku. Tangannya terjulur
ke arahku. “Bunga.”
Aku
diam memandangnya sebelum kujulurkan juga tanganku. “Gilang.” balasku. Dia
kembali tersenyum padaku.
Aku pun membalas
senyumannya.
*sumber gambar: techcrunch.com
[Cerpen] Matahari Yang Terbit di Pantai Bama (Radar Banyuwangi - Minggu, 15 Februari 2015)
Reviewed by Anonim
on
November 25, 2014
Rating:
Duh Dik mesti ini so sweet cerpennya.
BalasHapusMakasih, Nes, udah baca. :)
BalasHapus