Kepada Mala,
Bagaimana kabarmu, perempuanku? Apa kau baik-baik saja? Kuharap kau selalu baik. Dan bahagia. Masihkah kau seperti dulu – menyukai hujan serta aroma yang dihaturkannya? Dan masih seringkah kau membasahi tangan atau tubuhmu dengannya?
Mala, saat ini senja di hadapanku hampir pudar. Siraman cahaya di langit barat itu, pelan-pelan berubah gelap seiring matahari yang menenggelamkan diri.
Suasana ini selalu mampu membuatku mengingatmu, Mal. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja perlahan pikiranku menuju pada kenangan kita. Maka, kuputuskan untuk menulis surat ini padamu. Sejujurnya, aku rindu padamu.
Apa kau tetap menangis sebelum tidurmu, Mal? Masihkah bantal-bantalmu basah dengan air matamu itu? Sudahlah, Mal. Jangan kau menyiksa dirimu dengan tangisan. Akan banyak nantinya hal-hal yang lebih butuh air matamu, daripada masalah kita ini.
Mal, bukankah ini sudah menjadi keputusan kita? Bukankah kita saling berkomitmen untuk menerima konsekuensinya? Lalu, mengapa kau masih menangis, Mal? Aku benci bila harus melihat air matamu itu mengalir. Terlalu cantik parasmu jika hanya kau isi dengan air mata. Sudah, Mal. Berhentilah.
Aku yakin kau pasti tahu bahwa sebenarnya aku tak rela melihatmu pergi. Tapi, apa dayaku? Aku tak bisa menahan kepergianmu. Juga tak mampu ikut bersamamu, Mal. Kau tahu, ada yang menahanku di sini. Cinta. Cintaku padanya yang lebih dulu hadir daripada dirimu. Benar, aku masih mencintainya. Dan kau terluka dengan kenyataan yang memang menyakitkan itu, Mal. Kau bilang aku telah menempatkan cintaku pada orang yang salah. Bukankan cinta itu selalu benar, Mal? Lalu, hanya sumpah serapah yang datang darimu.
Begitulah keadaannya. Aku tak bisa menyembunyikan sesuatu darimu, yang ingin kujadikan ibu dari anak-anakku kelak. Mengapa kejujuran terkadang menyakitkan, Mal? Tapi, aku pikir, lebih baik demikian daripada harus melihat cintamu makin tumbuh dalam kebohonganku. Dan air matamu pun jatuh kala itu. Mungkin kau mulai benci, jijik, atau muak denganku. Aku hendak memelukmu tapi kau menolaknya. Katamu, kau tak bisa mendengar debar dada yang terbagi untuk orang lain.
Saat itulah dia datang, Mal. Masa lalumu. Dia menghadirkan senyum di sela bibirmu yang murung. Dadanya bisa menyanggahmu saat kau nyaris roboh. Mungkin di sana pula kau tak akan mendengar debar yang terbagi. Ah, aku tak mampu melihatnya, Mal. Aku memilih pergi saja dari hadapanmu. Dan kulihat cintaku yang lain sedang menungguku. Tangisku pun pecah di bahunya, Mal.
Maaf. Aku tak bermaksud menyakiti dirimu. Tapi tak mungkin kupelihara cinta kita, sementara ada cinta yang mekar di sisi lain hatiku. Apa itu juga disebut sebagai pengkhianatan, Mal?
Rupanya, masa lalumu jauh membutuhkanmu, Mal. Atau, kau yang membutuhkannya? Atau mungkin, kalian saling membutuhkan? Padahal, aku telah berharap bisa menjadi masa depanmu. Menghabiskan usia senja di kursi goyang, sembari memperhatikanmu dengan pandangan mata rabunku, menyulam topi untuk cucu kita yang baru lahir. Ah, aku hanya terlalu jauh berkhayal.
Tidakkah kau tahu bahwa saat melihatmu pergi hatiku seperti disayat, Mal? Sayatannya pelan, namun sakitnya tak terperikan. Lukanya pun mulai menganga, ketika kau menghangatkan diriku dengan pelukan dan pagutan bibir-bibir kita, yang beradu dengan air hujan. Lalu setelah itu kau melangkahkan kaki meninggalkanku.
Kau tak bisa menyembunyikan air matamu, meski hujan berusaha untuk menyamarkannya. Aku terlampau jauh mengenalmu, Mal. Tak ada yang bisa kau sembunyikan dariku, bahkan air matamu yang mengucur deras kala itu. Sebegitu jauhkah kita saling mencinta?
Mal, maukah kau mengulang kembali kenangan-kenangan kita? Tentang hujan yang manis itu? Dulu, kita pernah basah di bawah hujan bulan Maret. Di mana hujan semakin jarang datang. Saat-saat di mana hujan akan pergi dan berganti dengan kemarau. Musim yang kau benci. Apa kau juga masih sering menari di bawah hujan? Seperti sepulang dari warung di perempatan jalan sore itu?
Kita berdua berjalan di pinggir trotoar, sesekali diciprati genangan air jalanan yang baru dilewati kendaraan. Aku yakin kita pasti marah jika itu tidak dalam keadaan hujan. Tapi, tubuh kita sudah kadung basah. Maka tak ada umpatan untuk mobil-mobil itu selain tawa. Ah, tawamu seperti matahari yang hadir di tengah-tengah gumpalan awan yang pekat.
Kau berjalan mendahuluiku. Tiba-tiba kau menari-nari bak seorang balerina handal. Aku berhenti melangkah, memandang setiap gerakan yang kauciptakan. Kau tak malu jika kendaraan-kendaraan yang lewat akan melihatmu. Malahan, kau terus menari. Meliuk-liukkan tubuhmu dengan gemulai. Sementara, air hujan terus mengguyur tubuhmu. Tubuh kita. Berjatuhan di kepala dan mengalir ke wajah. Ah, aku rindu menyaksikan pagelaran kecilmu itu, Mal.
Maaf, jika aku membawamu kembali pada masa lalu kita. Kuharap kau tak besedih dengannya. Tak masalah, Mal, jika sesekali kita ingin menengok masa lalu. Di sana kita bisa menemukan kenangan yang mungkin tak akan bisa lagi diulang. Bahkan, kembali pada masa lalu pun tak apa jika kita merasa bahwa hari ini atau esok, tak lebih atau tak akan lebih baik dari masa lalu.
Cukup. Cukup air matamu mengalir, Mal. Itu terlalu melelahkan jika kau terus menerus melakukannya. Biarlah semua seperti ini. Ini adalah pilihan kita dan seharusnya kita bisa menerimanya, bukan? Percaya saja bahwa kita bisa bahagia dengan ini semua, Mal.
Kusudahi dulu surat dariku ini. Senja sudah hilang dari pandanganku di jendela. Langit mulai gelap, Mal. Dan bulan belum juga terlihat. Mungkin akan turun hujan malam ini. Kau ingat pesanku, bukan? Jangan menangis lagi. Jika kau masih melakukannya, akan kuambil senja sepotong dan kuletakkan di pelupuk matamu. Agar selalu terlihat indah seperti senja. Tidak melulu mengalirkan kesedihan macam ini.
Aku sudah menerima surat udangan pernikahanmu. Aku suka dengan warnanya. Jingga. Seperti senja yang kita pandangi bersama, di suatu sore dua hari setelah kita kenal. Ah, namamu nampak indah tertulis di undangan itu. Bersama lelakimu.
Mal, mengapa tiba-tiba aku menjadi takut? Nyaliku seketika ciut. Aku merasa tak berani untuk mengirim surat ini padamu. Aku takut kau kembali mengingatku, sementara tanggal pernikahanmu tak lama lagi. Masihkah disebut cinta bila kita masih bebas memikirkan orang lain? Aku takut itu terjadi padamu. Biar saja surat ini kusimpan dalam amplop. Kumasukkan dalam stoples kecil sebagai tanda kenangan kita yang selalu kusimpan. Aku mencintaimu, Mala.
Aku pasti datang ke pernikahanmu. Bersama lelakiku.
Lelakimu
Reza
*sumber gambar: spiritfanfics.com
*sumber gambar: spiritfanfics.com
[Cerpen] Surat Dalam Stoples
Reviewed by Anonim
on
April 10, 2014
Rating:
Tidak ada komentar: