Karena ayah Malika tak ada di rumah, maka setiap kali
ada kenduri di kampungnya dia tak pernah mendapatkan makanan-makanan dari acara selamatan. Padahal di
kampung Malika seringkali dilaksanakan kenduri. Bayi lahir ada, kenduri.
Sebulan lahir, kenduri. Pindah rumah, kenduri. Khitanan, kenduri. Orang
meninggal pun kenduri, bahkan untuk tiga, tujuh, empat puluh , seratus, hingga
seribu hari selepas kematiannya.
Kenduri
di kampung Malika memang selalu dipenuhi dengan banyak makanan. Mulai
dari kue-kue sampai olahan lainnya. Makanan itu dibagikan untuk para laki-laki dewasa yang diundang
oleh si pemilik hajatan setelah melakukan doa bersama. Hal itulah yang dibenci
oleh Malika. Sebab ayahnya tak ada di rumah, maka dia tidak pernah diundang
oleh setiap orang yang menggelar
kenduri.
“Padahal makanan dari kenduri itu enak.” kata
Malika yang merajuk pada ibunya.
“Sudahlah, sayang. Kita bisa membelinya di pasar.”
Ibu Malika memang membelikan kue-kue dan makanan untuk Malika di pasar
sebagai gantinya. Tapi bagi Malika kue-kue dari kenduri jauh lebih lezat
daripada yang dijual di pasar. Malika sering menerima satu atau dua kue dari
tetangganya. Tapi seringkali
kue atau makanan yang sudah
tidak menggugah selera si tetangga. Oleh karena itu, mereka berikan pada Malika.
Suatu saat pernah salah satu orang terkaya di
kampungnya, Haji Mul, menggelar kenduri. Jika orang kaya mengadakan kenduri
biasanya makanan yang dibagikan beraneka ragam. Mulai dari kue, nasi kotak hingga buah-buahan segar.
Tapi, seperti biasa, tak ada yang mengundang
Malika. Dia lagi-lagi pun tidak mendapat makanan dari kenduri. Dia cuma bisa
memandangi kawan-kawannya yang berlari menyambut ayah mereka dan segera
menyambar berkatan, sebelum akhirnya berlari masuk ke rumah masing-masing.
“Seharusnya
aku bisa seperti teman yang lain, menunggu ayah datang dari kenduri.” kata
Malika dengan wajah kesal. “Memangnya kapan sih ayah akan datang, Bu?”
“Secepatnya, sayang.”
Ayah Malika sudah pergi lama sekali. Ayah Malika pergi ketika ia baru
memasuki bangku Taman Kanak-kanak. Malika ingat sehari sebelum ayahnya pergi,
Malika dan ayahnya pergi ke toko membeli tas baru. Di toko itu Malika sempat
merajuk pada ayahnya karena tak diijinkan membeli sebuah tas dengan hiasan
beruang di tengahnya.
Malika terus merajuk selama di toko. Tapi ayahnya
tidak menuruti permintaannya. Ayah Malika membelikan sebuah tas berwarna merah
muda dengan gambar Mickey Mouse tapi Malika tidak menyukainya. Ayahnya pun
mengajak ia pulang dengan menaiki angkot. Di dalam angkot Malika tertidur
bahkan sampai rumah. Keesokan harinya Malika tidak pernah melihat lagi ayahnya.
“Ayahmu sudah pergi tadi pagi, sayang.”
“Pergi
ke mana, bu?”
“Ayahmu
pergi bekerja.”
Kini Malika sudah kelas satu sekolah dasar. Sudah tiga tahun ayahnya pergi.
Selama itu ayahnya tidak pernah pulang sekali pun. Malika selalu bertanya soal kepulangannya, namun
ibunya selalu menjawab bahwa
secepatnya akan pulang.
Lantaran seringnya bertanya dan
ibu Malika tak ingin hal itu terus terjadi, maka ia sebisa mungkin harus
pintar mengalihkan perhatian
anaknya agar tak terjerat pada
percakapan perihal ayahnya.
Oleh sebab itu, sebisa mungkin ibu Malika mencoba
menjauhkan anaknya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya ingat pada ayahnya.
Seperti barang-barang milik sang ayah, coba ia jauhkan dari penglihatan Malika.
Atau, tidak membicarakan
hal-hal yang akan menggiring ingatan anaknya pada sang ayah. Tapi,
Malika hanyalah anak-anak, sejauh apapun ibu Malika mencoba untuk membuat
anaknya tidak mengingat sang ayah, pada akhrinya Malika tetap bertanya. Apalagi jika ada kenduri di
kampung mereka.
“Bu, kenapa yang mendapat makanan kenduri cuma
laki-laki?” tanya Malika.
Ibunya terdiam mendengar pertanyaan anaknya itu.
Dia tak mau menjawab sebab tahu bahwa pembicaraan itu akan berujung pada bahasan soal ayah Malika.
“Kenapa, bu?” tanya Malika lagi, mendapati ibunya tak menjawab.
Ibunya terkejut. Terdiam sejenak sebelum menjawab,
“Karena yang diundang kenduri
cuma laki-laki, sayang.”
“Tidak ada laki-laki di rumah ini gara-gara ayah
belum juga pulang.”
Tidak ada sahutan dari ibu Malika. Dia hanya ingin
diam. Dia ingin pembicaraan dengan anaknya itu lekas selesai. Tapi, jauh dari
harapannya, anaknya justru
kembali bertanya, “Apa ayah akan pulang, bu?”
Ibu Malika tersentak dengan pertanyaan sang anak.
Pertanyaannya kini tidak lagi tentang kapan kedatangan ayahnya melaikan tentang kepastian kepulangan sang ayah. Ah, Malika
barulah berumur tujuh tahun. Bagaimana bisa dia mengajukan pertanyaan macam
itu, kata ibu Malika dalam hatinya.
Tapi ia harus menjawabnya untuk membuat anaknya
tenang. Dalam kecamuk pikiran dan perasaannya, akhirnya ibu Malika memilih mengalihkan
pembicaraan itu.
“Tadi di sekolah kamu belajar apa? Ayo ceritakan
pada ibu. Ibu ingin mendengarnya.” Lalu teralihlah pikiran Malika dari pertanyaan
soal ayahnya.
Suatu
malam Malika mengalami sebuah mimpi dalam tidurnya. Malika menceritakan mimpi
yang dialaminya itu pada sang ibu.
“Malika
melihat ayah pergi ke tengah laut sendirian. Malika memanggil ayah, tapi ayah
tidak menoleh. Ayah sepertinya tidak mendengar panggilan Malika. Ayah terus
saja berlayar ke tengah lautan sampai tak kelihatan lagi,” jelas Malika pada
ibunya. Kemudian ia bertanya, “Kenapa ayah tidak mendengar Malika, bu?”
“Sudah.
Itu hanya mimpi, sayang.” jawab ibunya menghibur sang anak.
Sementara
soal kue dari kenduri-kenduri itu masih terus membuat Malika sering merajuk.
Padahal ibunya berharap, semakin Malika bertambah umur, dia akan paham bahwa
kue-kue yang diperoleh dari kenduri bukanlah segalanya. Dia masih bisa
mendapatkannya dengan cara membeli. Namun sayangnya Malika belum bisa mengerti.
Dia masih tidak terima kalau dia tak mendapatkan kue dari kenduri-kenduri yang
diadakan.
“Bu,
bagaimana kalau kita saja yang mengadakan kenduri?” kata Malika suatu waktu
pada ibunya. Sang ibu pun terkejut.
“Sayang,
kenduri itu punya tujuan tertentu. Kenduri itu selamatan.”
“Kita
adakan kenduri untuk keselamatan ayah, bu. Bisa kan? Bukannya dulu kita pernah
mengadakan kenduri untuk selamatan ayah juga?”
Ibu
Malika terdiam mendengar ucapan anaknya. Apakah kerinduan seorang anak
membuatnya mampu berpikiran melampaui umurnya?
“Bisa,
sayang,” jawab ibu Malika. “Tapi kenduri itu butuh banyak uang untuk membuat
kue, makanan dan sebagainya.”
“Ibu
bilang ayah bekerja. Minta saja pada ayah, bu.”
Ibunya
tersenyum, namun terpancar keraguan dari pandangan matanya. “Iya, sayang. Nanti
kita adakan kenduri ya?”
Sesuai
janji pada anaknya, ibu Malika pun melaksankan kenduri. Banyak tetangga yang
datang membantu. Dia juga mengundang sejumlah orang untuk menggelar selamatan
di rumahnya. Malika tampak bahagia, ibunya bisa melihat itu. Dia memberitahu
teman-temannya bahwa di rumahnya hendak diadakan kenduri. Dia bilang bahwa ada
banyak kue dan makanan yang hendak dibagikan.
“Kenduri
itu untuk apa?” tanya teman Malika.
“Untuk
keselamatan ayahku.” jawab Malika.
“Ayahmu
meninggal ya?”
“Tidak.
Selamatan ini untuk mendoakan ayahku agar selamat.”
“Tapi
di undangan yang dibagikan tulisannya 1000 hari. Itu artinya ayahmu sudah
meninggal.”
“Kata
ibu, ayahku akan pulang.”
Malika
memang tak pernah tahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Ibunya tak pernah
memberitahu dirinya. Sebab bagi ibunya dia masih terlalu kanak untuk mengetahui
semuanya. Ibunya berjanji, kelak jika sudah waktunya, ia akan memberitahu
Malika bahwa ayahnya tidak akan pernah pulang. Malika sendiri hanya pernah
melihat ibunya menangis sejadi-jadinya.
Lalu
setelah itu diadakan kenduri di rumahnya selama tujuh hari berturut-turut. Dia
tak tahu bahwa saat itu, tiga tahun yang lalu, kabar ayahnya yang meninggal
dalam kecelakaan pesawat sampai di rumahnya. Malangnya, mayat sang ayah tak
ditemukan.
Namun
Malika tetap bahagia dengan kenduri yang sedang diadakan di rumahnya.
***
[Cerpen] Kenduri Ayah (Minggu Pagi, 28 Januari 2017)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Januari 30, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: