[Cerpen] Kenduri Ayah (Minggu Pagi, 28 Januari 2017)


Karena ayah Malika tak ada di rumah, maka setiap kali ada kenduri di kampungnya dia tak pernah mendapatkan makanan-makanan dari acara selamatan. Padahal di kampung Malika seringkali dilaksanakan kenduri. Bayi lahir ada, kenduri. Sebulan lahir, kenduri. Pindah rumah, kenduri. Khitanan, kenduri. Orang meninggal pun kenduri, bahkan untuk tiga, tujuh, empat puluh , seratus, hingga seribu hari selepas kematiannya.

Kenduri di kampung Malika memang selalu dipenuhi dengan banyak makanan. Mulai dari kue-kue sampai olahan lainnya. Makanan itu dibagikan untuk para laki-laki dewasa yang diundang oleh si pemilik hajatan setelah melakukan doa bersama. Hal itulah yang dibenci oleh Malika. Sebab ayahnya tak ada di rumah, maka dia tidak pernah diundang oleh setiap orang yang menggelar kenduri.

“Padahal makanan dari kenduri itu enak.” kata Malika yang merajuk pada ibunya.

“Sudahlah, sayang. Kita bisa membelinya di pasar.”

Ibu Malika memang membelikan kue-kue dan makanan untuk Malika di pasar sebagai gantinya. Tapi bagi Malika kue-kue dari kenduri jauh lebih lezat daripada yang dijual di pasar. Malika sering menerima satu atau dua kue dari tetangganya. Tapi seringkali kue atau makanan yang sudah tidak menggugah selera si tetangga. Oleh karena itu, mereka berikan pada Malika.

Suatu saat pernah salah satu orang terkaya di kampungnya, Haji Mul, menggelar kenduri. Jika orang kaya mengadakan kenduri biasanya makanan yang dibagikan beraneka ragam. Mulai dari kue, nasi kotak hingga buah-buahan segar.

Tapi, seperti biasa, tak ada yang mengundang Malika. Dia lagi-lagi pun tidak mendapat makanan dari kenduri. Dia cuma bisa memandangi kawan-kawannya yang berlari menyambut ayah mereka dan segera menyambar berkatan, sebelum akhirnya berlari masuk ke rumah masing-masing.

“Seharusnya aku bisa seperti teman yang lain, menunggu ayah datang dari kenduri.” kata Malika dengan wajah kesal. “Memangnya kapan sih ayah akan datang, Bu?”

“Secepatnya, sayang.”

Ayah Malika sudah pergi lama sekali. Ayah Malika pergi ketika ia baru memasuki bangku Taman Kanak-kanak. Malika ingat sehari sebelum ayahnya pergi, Malika dan ayahnya pergi ke toko membeli tas baru. Di toko itu Malika sempat merajuk pada ayahnya karena tak diijinkan membeli sebuah tas dengan hiasan beruang di tengahnya.

Malika terus merajuk selama di toko. Tapi ayahnya tidak menuruti permintaannya. Ayah Malika membelikan sebuah tas berwarna merah muda dengan gambar Mickey Mouse tapi Malika tidak menyukainya. Ayahnya pun mengajak ia pulang dengan menaiki angkot. Di dalam angkot Malika tertidur bahkan sampai rumah. Keesokan harinya Malika tidak pernah melihat lagi ayahnya.

“Ayahmu sudah pergi tadi pagi, sayang.”

“Pergi ke mana, bu?”

“Ayahmu pergi bekerja.”

Kini Malika sudah kelas satu sekolah dasar. Sudah tiga tahun ayahnya pergi. Selama itu ayahnya tidak pernah pulang sekali pun. Malika selalu bertanya soal kepulangannya, namun ibunya selalu menjawab bahwa secepatnya akan pulang. Lantaran seringnya bertanya dan ibu Malika tak ingin hal itu terus terjadi, maka ia sebisa mungkin harus pintar mengalihkan perhatian anaknya agar tak terjerat pada percakapan perihal ayahnya.

Oleh sebab itu, sebisa mungkin ibu Malika mencoba menjauhkan anaknya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya ingat pada ayahnya. Seperti barang-barang milik sang ayah, coba ia jauhkan dari penglihatan Malika. Atau, tidak membicarakan hal-hal yang akan menggiring ingatan anaknya pada sang ayah. Tapi, Malika hanyalah anak-anak, sejauh apapun ibu Malika mencoba untuk membuat anaknya tidak mengingat sang ayah, pada akhrinya Malika tetap bertanya. Apalagi jika ada kenduri di kampung mereka.

“Bu, kenapa yang mendapat makanan kenduri cuma laki-laki?” tanya Malika.

Ibunya terdiam mendengar pertanyaan anaknya itu. Dia tak mau menjawab sebab tahu bahwa pembicaraan itu akan berujung pada bahasan soal ayah Malika.

“Kenapa, bu?” tanya Malika lagi, mendapati ibunya tak menjawab.

Ibunya terkejut. Terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena yang diundang kenduri cuma laki-laki, sayang.”

“Tidak ada laki-laki di rumah ini gara-gara ayah belum juga pulang.”

Tidak ada sahutan dari ibu Malika. Dia hanya ingin diam. Dia ingin pembicaraan dengan anaknya itu lekas selesai. Tapi, jauh dari harapannya, anaknya justru kembali bertanya, “Apa ayah akan pulang, bu?”

Ibu Malika tersentak dengan pertanyaan sang anak. Pertanyaannya kini tidak lagi tentang kapan kedatangan ayahnya melaikan tentang kepastian kepulangan sang ayah. Ah, Malika barulah berumur tujuh tahun. Bagaimana bisa dia mengajukan pertanyaan macam itu, kata ibu Malika dalam hatinya.

Tapi ia harus menjawabnya untuk membuat anaknya tenang. Dalam kecamuk pikiran dan perasaannya, akhirnya ibu Malika memilih mengalihkan pembicaraan itu.

“Tadi di sekolah kamu belajar apa? Ayo ceritakan pada ibu. Ibu ingin mendengarnya.” Lalu teralihlah pikiran Malika dari pertanyaan soal ayahnya.

Suatu malam Malika mengalami sebuah mimpi dalam tidurnya. Malika menceritakan mimpi yang dialaminya itu pada sang ibu.

“Malika melihat ayah pergi ke tengah laut sendirian. Malika memanggil ayah, tapi ayah tidak menoleh. Ayah sepertinya tidak mendengar panggilan Malika. Ayah terus saja berlayar ke tengah lautan sampai tak kelihatan lagi,” jelas Malika pada ibunya. Kemudian ia bertanya, “Kenapa ayah tidak mendengar Malika, bu?”

“Sudah. Itu hanya mimpi, sayang.” jawab ibunya menghibur sang anak.

Sementara soal kue dari kenduri-kenduri itu masih terus membuat Malika sering merajuk. Padahal ibunya berharap, semakin Malika bertambah umur, dia akan paham bahwa kue-kue yang diperoleh dari kenduri bukanlah segalanya. Dia masih bisa mendapatkannya dengan cara membeli. Namun sayangnya Malika belum bisa mengerti. Dia masih tidak terima kalau dia tak mendapatkan kue dari kenduri-kenduri yang diadakan.

“Bu, bagaimana kalau kita saja yang mengadakan kenduri?” kata Malika suatu waktu pada ibunya. Sang ibu pun terkejut.

“Sayang, kenduri itu punya tujuan tertentu. Kenduri itu selamatan.”

“Kita adakan kenduri untuk keselamatan ayah, bu. Bisa kan? Bukannya dulu kita pernah mengadakan kenduri untuk selamatan ayah juga?”

Ibu Malika terdiam mendengar ucapan anaknya. Apakah kerinduan seorang anak membuatnya mampu berpikiran melampaui umurnya?

“Bisa, sayang,” jawab ibu Malika. “Tapi kenduri itu butuh banyak uang untuk membuat kue, makanan dan sebagainya.”

“Ibu bilang ayah bekerja. Minta saja pada ayah, bu.”

Ibunya tersenyum, namun terpancar keraguan dari pandangan matanya. “Iya, sayang. Nanti kita adakan kenduri ya?”

Sesuai janji pada anaknya, ibu Malika pun melaksankan kenduri. Banyak tetangga yang datang membantu. Dia juga mengundang sejumlah orang untuk menggelar selamatan di rumahnya. Malika tampak bahagia, ibunya bisa melihat itu. Dia memberitahu teman-temannya bahwa di rumahnya hendak diadakan kenduri. Dia bilang bahwa ada banyak kue dan makanan yang hendak dibagikan.

“Kenduri itu untuk apa?” tanya teman Malika.

“Untuk keselamatan ayahku.” jawab Malika.

“Ayahmu meninggal ya?”

“Tidak. Selamatan ini untuk mendoakan ayahku agar selamat.”

“Tapi di undangan yang dibagikan tulisannya 1000 hari. Itu artinya ayahmu sudah meninggal.”

“Kata ibu, ayahku akan pulang.”

Malika memang tak pernah tahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Ibunya tak pernah memberitahu dirinya. Sebab bagi ibunya dia masih terlalu kanak untuk mengetahui semuanya. Ibunya berjanji, kelak jika sudah waktunya, ia akan memberitahu Malika bahwa ayahnya tidak akan pernah pulang. Malika sendiri hanya pernah melihat ibunya menangis sejadi-jadinya.

Lalu setelah itu diadakan kenduri di rumahnya selama tujuh hari berturut-turut. Dia tak tahu bahwa saat itu, tiga tahun yang lalu, kabar ayahnya yang meninggal dalam kecelakaan pesawat sampai di rumahnya. Malangnya, mayat sang ayah tak ditemukan.

Namun Malika tetap bahagia dengan kenduri yang sedang diadakan di rumahnya.

***
[Cerpen] Kenduri Ayah (Minggu Pagi, 28 Januari 2017) [Cerpen] Kenduri Ayah (Minggu Pagi, 28 Januari 2017) Reviewed by TIDAKTAMPAN on Januari 30, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.