Setelah lama cerpen saya tidak dimuat di media, akhirnya beberapa hari lalu ada kabar mengejutkan sekaligus membahagiakan datang menghampiri saya. Sebab cerpen itu sudah hampir empat bulan lebih saya kirim hingga saya sendiri lupa kalau pernah mengirimkannya ke media. Tapi, alhamdulillah, setidaknya hal ini mampu menjadi cambuk bagi saya untuk terus menulis dan melahirkan karya-karya yang lebih baik ke depannya.
Selamat membaca.
Ada rumah dalam mata Maliya, gadis yang kutemui dalam bus saat
perjalanan menuju Surabaya.
Aku melihatnya ketika kami berdua tanpa sengaja saling bersitatap. Mataku
pun langsung bertemu pada kedua matanya yang agak besar dan tajam. Saat itulah
aku bisa melihat sebuah rumah dalam pupil matanya yang agak kecoklatan.
Tentu saja diriku sedikit tak percaya melihat keanehan itu. Mana
mungkin sebuah rumah bisa berada dalam mata seseorang. Tapi rumah itu benar-benar
berada dalam mata Maliya. Awalnya aku menduga rumah itu hanya bayangan yang
tergambar di pupil matanya. Tetapi, setelah aku perhatikan lagi rumah itu
bukanlah bayangan. Apa yang tergambar pada pupil mata seseorang selalu berasal
dari benda yang ada di hadapannya. Maka seharusnya yang ada di dalam matanya
adalah bayangan wajahku, bukan bayangan rumah itu.
“Kau orang pertama yang melihat rumah itu.” Kata Maliya setelah
kuutarakan apa yang kulihat pada matanya.
Aku terdiam sejenak. Masih belum percaya dengan apa yang kulihat. “Bagaimana
bisa ada sebuah rumah di dalam mata?”
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Tapi begitulah yang terjadi.”
“Aneh.” gumamaku. “Seperti dalam cerita-cerita fiksi saja.”
Anehnya bayangan rumah itu seolah menarik perhatianku. Aku merasa ingin
terus menerus memandanginya. Lama kelamaan aku pun mengenali setiap detil rumah
itu.
Di halaman depan rumah ada sebuah pohon jambu yang tingginya melebihi
atap rumah. Di pohon itu sebuah bandulan tergantung. Talinya diikat pada batang
pohon yang kokoh. Di teras rumah, ada dua buah kursi dan satu meja. Beberapa
pot bunga terletak di depan teras. Pintu rumah itu sedikit terkuak tapi tak bisa
kulihat isi dalamnya. Di samping rumah sebuah sepeda tua bersandar pada dinding.
Halamannya berupa tanah dengan banyak kerikil.
Tapi ada hal aneh yang kutemui pada rumah itu. Ia terlihat suram. Warna
catnya tampak pucat. Jendela-jendelanya terlihat murung. Bunga-bunga yang
tertanam dalam pot layu mengering. Bandulan di bawah pohon jambu lesu tak
bergerak. Teras rumahnya penuh dengan debu – begitu pula pada kursi dan
mejanya. Di halamannya daun-daun jambu yang kering berserakan. Pintu rumahnya
tampak seperti enggan menganga, malu-malu terbuka. Satu kata yang bisa
menggambarkan rumah itu: menyedihkan.
“Tapi kenapa rumah itu tampak menyedihkan sekali? Seperti tidak
terurus?”
“Rumah itu sudah lama ditinggal penghuninya.”
“Jadi, itu bukan milikmu?” tanyaku, penasaran.
“Bukan,” jawab Maliya. “Rumah itu milik seorang lelaki.”
Maliya pun bercerita. Dulunya dalam rumah tersebut tinggal seorang lelaki.
Dia yang merawat rumah itu. Setiap hari lantainya selalu dibersihkan.
Halamannya disapu sampai tak ada dedaunan yang berserakan. Tanamannya disiram
saban pagi dan sore hari. Lelaki itu sering memetik bunganya bila sudah mekar
dan menyimpannya dalam vas di dalam rumah. Kaca-kaca di jendela rumah itu pun
selalu dibersihkan hingga selalu terlihat mengkilat. Pintunya selalu terbuka membuat
rumah itu tampak selalu bahagia. Sepedanya tuanya juga kerap lelaki itu gunakan
untuk pergi ke pasar atau jalan-jalan.
Selama si lelaki berada di sana, rumah itu terlihat seperti rekahan
kebahagiaan. Seperti simpul senyum dari bibir seseorang. Rumah itu tampak
seperti tampak berpendar cahaya di sekelilingnya. Kian hari pendaran cahaya itu
kian terang.
“Tapi sayang lelaki itu sudah pergi lama sekali.” Kata Maliya
mengakhiri ceritanya. Nadanya terdengar sedih.
“Kenapa lelaki itu memilih pergi?”
Maliya menunduk. Ia tak segera menjawab pertanyaanku. Lama sekali
sampai akhirnya sebuah jawaban meluncur dari mulutnya, “Ah, sudahlah. Jangan
pernah mempertanyakan sesuatu yang telah pergi.”
Aku tidak menjawab perkataannya itu. Aku memandangi kedua matanya lagi.
Kulihat kembali rumah tersebut. Sejujurnya aku masih belum memahami semua
keanehan ini: sebuah rumah dalam mata dan seorang lelaki pernah tinggal di
sana. Aku merasa sudah seperti hidup dalam cerita-cerita karangan.
Tapi dalam mata Maliya benar-benar ada sebuah rumah.
“Apakah tidak akan ada lagi yang datang ke rumah itu?” tanyaku.
Ia
mengangkat wajahnya. Sungai kembar terbentuk di kedua tebing pipinya. “Aku
tidak tahu. Tapi kurasa lebih baik ia dibiarkan begitu.”
[Cerpen] Rumah Dalam Mata (Banjarmasin Post - Minggu, 27 November 2016)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
November 30, 2016
Rating:
Tidak ada komentar: