[Cerpen] Kokok Ayam Malam Hari (Radar Banyuwangi - Minggu, 2 Agustus 2015)



 Cerpen ini dimuat di Radar Banyuwangi tanggal 2 Agustus 2015. Selamat membaca.


           
“Pak, apa kau dengar kokok ayam itu?” tanya Rukmi pada Saiful, suaminya. Saiful hanya mengangguk pelan.

“Sepertinya ayam milik tetangga sebelah kita, pak.”

“Maksud ibu Pak Dollah?”

“Iya. Coba dengar lagi,” kata Rukmi ketika terdengar kembali seekor ayam berkokok. “Benar, kan? Ah, pasti ada anak gadis yang hamil di luar nikah, pak.”

***

Di kampung Rukmi, terdapat semacam kepercayaan yang sudah ada sejak lama. Mungkin, jauh sebelum Rukmi terlahir karena saat dia masih kanak-kanak kepercayaan itu telah ada. Masyarakat di kampung itu percaya bila ada suara kokok ayam pada malam hari, seorang anak gadis telah hamil. Entah bagaimana mulanya hal tersebut bisa dianalogikan demikian. Mungkin karena suara kokok ayam di malam hari adalah satu hal yang ganjil. Sebab ayam-ayam selalu terlelap tidur pada malam hari.

“Pasti si Melly anak Pak Dollah yang hamil.” bisik Rukmi pada suaminya.

“Hush! Jangan sembarang menuduh, bu”

Sebenarnya bukan tanpa alasan Rukmi berpendapat demikian. Melly, anak Pak Dollah tetangga sebelahnya, memang kerap menjadi bahan gosip ibu-ibu di kampungnya. Banyak yang bilang gadis macam Melly tak pantas untuk tinggal di kampung itu, di mana segala norma orang-orang timur masih dijunjung tinggi.

Gadis itu memiliki banyak teman laki-laki yang sering datang ke rumahnya. Hampir setiap hari selalu ada teman laki-lakinya yang datang menjemput, mengantar pulang atau sekadar berkunjung. Melly jarang terlihat bersama teman sesama wanitanya. Sekali terlihat pasti hanya teman yang itu-itu saja. Berbeda dengan teman laki-lakinya yang tampak selalu bergonta-ganti. Sebagai seorang perempuan, rasanya kurang baik jika sering banyak bergaul dengan lelaki, bukan?

Begitu juga dengan cara berpakaian Melly yang mengundang rasa benci warga. Ketika  memakai seragam sekolah, batas rok yang ia pakai jauh berada di atas lutut hingga menampakkan paha mulusnya. Pun dengan bajunya, ia pergi ke tukang jahit untuk memperkecil ukurannya agar lebih pas di badan. Tak ayal jika dipakai baju itu tampak sesak dan membuat lekuk tubuhnya yang sintal tercetak sempurna.

Saat malam Minggu datang, tak ada satu pun anak-anak gadis di kampung itu pergi keluyuran. Mereka hanya berdiam di rumah menyelesaikan tugas sekolah atau sekadar nonton tv. Lain halnya dengan Melly yang kerap pergi jalan-jalan bersama teman laki-lakinya yang datang menjemput. Melly pun tanpa malu naik ke motor dan langsung memeluk teman laki-lakinya.

Kebiasaan Melly itu membuat ibu-ibu khawatir. Takut bila nantinya anak-anak mereka mencontoh perilaku buruk Melly. Mereka pun jadi sering memberi peringatan pada anaknya agar tak salah gaul. Termasuk Rukmi yang kerap menasihati anaknya, Eliana.

“Eli, jangan sampai kau seperti si Melly. Gadis macam itu tak akan bisa menjaga kehormatannya,” Rukmi memberi nasihat pada Eliana. “Kau tahu, seorang wanita dihargai karena kehormatan yang kita punya.”

Eliana terlihat seperti sedang kelelahan. Dia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas nasihat ibunya.

“Kau sakit?” tanya Rukmi.

Eliana menggeleng. “Aku banyak tugas dari sekolah, bu,” jawabnya. “Belum lagi aku jadi sekretaris OSIS di sekolah.”

“Oh, kalau begitu istirahatlah.”

***

“Ibu-ibu, apa kalian mendengar kokok ayam di belakang rumah Pak Dollah beberapa malam lalu?” tanya Rukmi dalam perjalanan pulang sehabis pengajian.

“Iya, bu. Tapi tidak jelas apa itu ayam Pak Dollah atau bukan.”

“Tak jelas bagaimana, bu,” sahut Rukmi segera. “Bunyi itu jelas dari belakang rumah Pak Dollah. Aku kan tetangga dekatnya.”

“Apa mungkin ada anak gadis di kampung kita yang hamil?” tanya salah satu ibu pada Rukmi.


“Aku yakin kalau si Melly yang hamil,” bisik Rukmi. “Siapa lagi gadis di kampung kita yang patut dicurigai?”

“Ah, Bu Rukmi. Jangan begitu. Siapa tahu bukan si Melly.”

Rukmi menjawab sinis ucapan itu. “Lalu siapa lagi? Anakku? Tak mungkin, bu. Anakku, Eliana, selalu menurut padaku. Dia anak baik-baik. Dia tidak suka mempertontonkan auratnya pada laki-laki.”

Eliana memang tak seperti Melly. Bila Melly sering berperilaku tidak semestinya, Eliana justru sebalikya. Dia tidak gemar keluar malam. Cara berpakaiannya pun selalu memilih baju-baju yang menutupi auratnya. Dia juga tidak pernah bergaul dengan banyak laki-laki. Dia memang lebih senang berkumpul bersama teman-teman perempuannya. Satu-satunya laki-laki yang dekat dengannya adalah teman sekolahnya, Ahmad. Ahmad tidak pernah datang ke rumah Eliana untuk mengajaknya jalan-jalan. Dia datang hanya untuk bersilaturrahmi saja atau mengerjakan tugas bersama. Satu-satunya kesempatan yang mereka punya untuk bisa berduaan adalah ketika berada di sekolah. Kadang sesekali bila sekolah pulang lebih awal, Ahmad mengajak Eliana jalan-jalan.

***

Saat Bu Rukmi dan beberapa ibu lainnya sedang duduk di balai bambu halaman rumah, Pak Dollah dan Melly melintas di hadapan mereka. Keduanya terlihat seperti hendak bepergian, sebab Pak Dollah terlihat menjinjing tas besar. Sementara Melly hanya diam menunduk tak melihat ke arah ibu-ibu yang menyapanya.

“Mau ke mana, Pak?”

“Enggg, anu, Bu,” Pak Dollah terlihat ragu menjawab. “Kami…kami mau pergi ke luar kota. Mau berkunjung ke rumah nenek Melly dulu.”

 “Oh, ya sudah, Pak,” sahut Bu Rukmi. “Hati-hati di jalan.”

“Terima kasih, bu.”

Selepas Pak Dollah pergi dari hadapan mereka, Rukmi dan semua yang berkumpul di sana terdiam. Mereka saling memandang satu sama lain. Seolah-olah sama-sama tahu apa yang ada di pikiran masing-masing.



Malam harinya saat di rumah, Rukmi menceritakan kejadian itu pada suaminya

“Yang benar, bu?” tanya Saiful.

“Benar, pak. Mereka berdua pergi membawa tas besar. Si Melly terlihat diam saja, tidak seperti biasanya.” Rukmi bercerita dengan semangat. Saiful terdiam seperti sedang berpikir.

Kemudian Rukmi melanjutkan, “Kita lihat saja nanti, kalau dalam waktu dekat mereka tidak pulang, berarti benar dugaan ibu.”

Ketika sedang asik mengobrol, sebuah suara dari kamar mandi mengejutkan mereka. Keduanya terdiam sejenak untuk memastikan suara apakah itu. Setelah jelas terdengar, mereka langsung berlari menuju sumber suara. Saat pintu dibuka, pemandangan yang membuat hati Rukmi bertanya-tanya terpampang. Rukmi melihat anak gadisnya menangis.

“Eliana…” Rukmi menghampiri anaknya. Perasaannya dengan sekejap menjadi was-was. Sementara itu Eliana terus menangis meraung-raung. Jadilah hati Rukmi makin penasaran. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah benda yang ada di tangan Eliana. Dirinya seperti tersambar petir malam itu.

Gegas Rukmi menyambar benda itu. Ketika melihat apa yang tergambar di benda itu, Rukmi pun limbung dan terduduk di lantai kamar mandi. Dua buah garis merah nampak jelas di testpack itu. Air mata Rukmi pun segera bergulir di tebing pipinya. Pada saat Rukmi juga menangis meraung-raung, suara kokok ayam terdengar tepat dari kandang miliknya di belakang rumah.

“Oh, kenapa kejadian yang menimpaku dulu juga harus terjadi pada anakku?” ucap Rukmi di sela tangisnya.

Sementara itu Saiful hanya bisa memeluk istri dan anaknya.

*sumber gambar: panjimas.com


[Cerpen] Kokok Ayam Malam Hari (Radar Banyuwangi - Minggu, 2 Agustus 2015) [Cerpen] Kokok Ayam Malam Hari (Radar Banyuwangi - Minggu, 2 Agustus 2015) Reviewed by Anonim on September 11, 2015 Rating: 5

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.