Ubud,
6 Oktober 2012
Ruth,
Satu
hal yang ingin kutanyakan kepadamu sejak lama, bagaimana mungkin kita saling
jatuh cinta, namun ditakdirkan untuk tidak bersama?
Aku
dan kamu tidak bisa memaksa agar kebahagiaan berlangsung selama yang kita
inginkan. Jika waktunya telah usai dan perpisahan ini harus terjadi, apa yang
bisa kita lakukan?
Masihkan
ada waktu untuk kita bersama, Ruth?
Jika
memang kamu harus pergi, berilah aku waktu sedikit lebih panjang untuk
menikmati saat-saat terakhir bersamamu. Meski tidak lama, hanya sebentar,
seperti senja yang senantiasa kamu lukis, atau seperti ciuman pertama kita yang
ragu-ragu. Berilah aku waktu sedikit lebih panjang untuk memelukmu, karena aku
belum mengungkapkan seluruhnya yang ingin kukatakan kepadamu.
Ironis,
Ruth. Kamu berkata “Aku sayang kamu” tepat pada saat kamu harus meninggalkanku.
-Areno
Kalau buku sebelumnya, London: Angel, membuat mata saya berkaca-kaca, maka buku ini akhirnya membuat airmata
saya menetes. Oke, sebut saja saya cengeng, melankolis atau semacamnya. Saya tidak peduli
karena memang begitulah yang terjadi. Buku ini memang membuat saya
merasa...kehilangan.
Buku Surat Untuk Ruth adalah buku
keenam dari salah satu penulis favorit saya (yang sekaligus menginspirasi saya)
yaitu Bernard Batubara. Buku ini terbit setahun yang lalu tepatnya pada April
2014. Alhamdulillah, untuk buku ini saya kebagian edisi tanda tangan penulisnya (lagi).
Seperti judul dari tulisan ini,
buku Surat Untuk Ruth memang menceritakan tentang kehilangan. Kehilangan cinta
sejati. Dalam buku ini diceritakan bahwa seorang laki-laki bernama Are yang
harus merelakan kekasihnya, Ruth,
menikah dengan laki-laki lain. Sudah biasa? Memang. Kedengarannya sih
seperti biasa saja. Tapi, setelah kamu baca, maka saya yakin kamu akan
merasakan seperti apa yang saya rasakan: kehilangan.
Seusai dengan judul buku, Surat
Untuk Ruth, maka buku ini ditulis seperti layaknya menulis surat. Ya, buku ini
merupakan isi dari surat yang ditulis Are kepada Ruth. Sebenarnya, buku ini
adalah pengembangan dari cerpen Bernard Batubara yang berjudul Milana.
Jika kamu tidak benar-benar bisa
memahami isi buku ini, maka saya yakin kamu akan kebingungan dengan alur
ceritanya. Terutama saat kamu sudah sampai pada bagian akhir. Kamu akan
dikejutkan dengan sesuatu yang terjadi di sana. Awalnya, saya juga tidak
menyangka akan terjadi peristiwa yang demikian, namun ternyata hal itulah yang
membuat rasa ‘kehilangan’ dari novel ini makin terasa.
Kalimat-kalimat yang digunakan
dalam buku ini terasa sekali Bernard Batubara-nya. Seperti di buku-buku
lainnya. Ada satu bab yang menarik perhatian saya yakni pada bab Pada Pantai
Rahasia. Pada bab itu seolah-olah penulis mempertanyakan tanggung jawab Tuhan
atas diberikannya kesempatan bagi dua orang untuk saling jatuh cinta, namun
tidak ditakdirkan untuk bersama. Menurut saya itu menarik. Selain itu juga, ada
bab di mana Bernard menulis suatu daftar yang diharapkan mampu mengurangi sedikit rasa
sakit hati. Yang kemudian membuat saya berpikir untuk menuliskannya juga kelak
bila sedang patah hati. Tapi, semoga tidak (lagi). Hehehe.
Satu hal saja yang menurut saya
kurang dari buku ini
yakni adegan-adegan romantis dari kedua tokoh utama kurang terasa. Satu-satunya
yang menurut saya romantis yakni pada adegan atau dialog antara Are dan Ruth
saat berjalan di Legian, ketika Are menggenggam erat jemari Ruth karena sebal
padanya. Selain itu, menurut saya kurang romantis. Atau mungkin sebenarnya
romantis hanya saja Bernard kurang menambahkan bumbunya di sana. Tetapi, terlepas
dari itu, buku ini tetap layak untuk kamu baca. Terutama bagi kamu yang ingin
tahu bagaimana rasanya kehilangan.
Kalau boleh menyarankan, bagi kamu
yang sedang kehilangan (pacar khususnya), jangan membaca buku ini. Atau, kalau
tidak kamu akan...ya bisa kamu pikirkan sendiri.
Selamat membaca. Selamat
kehilangan.
***
[Buku] Surat Untuk Ruth: Selamat Kehilangan
Reviewed by Anonim
on
Desember 25, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: