[Cerpen] Ciuman


Hujan mengantar lembab di jendela hingga menyamarkan pandangan ke jalanan. Tetapi masih bisa kulihat pendaran lampu kendaraan yang berseliweran. Juga sesosok bayangan yang berdiri di dekat lampu tiang penerangan. Kuusap kaca jendela yang basah untuk memastikan siapa sang pemilik bayangan.

Astaga! Bukankah itu kau? Ya, benar. Itu kau. Apa yang kau lakukan di sana? Mengapa kau biarkan tubuhmu diguyur hujan?

“Aku sengaja. Supaya kau bisa melihatku dari jendela.” Jawabmu sambil mengeringkan rambutmu.

Setelah memastikan bahwa bayangan itu benar adalah dirimu, aku pun segera turun mengambil payung lalu menjemputmu. Tubuhmu kuyup. Bibirmu memucat dan kulit di telapak tanganmu mulai keriput. Kuberi kau kaosku untuk mengganti pakaianmu yang basah. Dan, tentu saja kaos itu tampak kebesaran di badanmu.

“Bukankah seharusnya kau datang ke acara peresmian kantor kekasihmu?” tanyaku.

Kau duduk bersebelahan denganku di atas sofa. “Tidak. Aku ingin menemui.”

Karena melihatmu yang sepertinya kedinginan, aku pun menawarkanmu kehangatan.

“Aku buatkan kopi, ya?” tawarku. “Atau teh hangat?”

“Tidak perlu. Duduk saja di sini,” pintamu. “Aku tidak kedinginan kok.”

Kita pun saling terdiam. Udara dingin di luar mengirim kebekuan. Aku memandangi wajahmu diam-diam. Mengamati setiap lekuk di paras indahmu. Mencoba membaca kalimat-kalimat yang tersembunyi di sela bibir, hidung hingga lipatan kelopak mata. Akan tetapi, aku lupa bahwa dirimu adalah wanita yang tak pernah bisa kubaca.

***

Seorang teman berkata padaku, “Jika kau ingin tahu apakah seorang wanita jatuh cinta padamu, lihatlah dari kata-katanya. Wanita yang jatuh cinta tak akan pernah bisa menyembunyikan perasaan dari kata-kata.” Aku menuruti saran temanku itu. Namun, aku tidak menemukan apa-apa dari kata-katanya.

Lalu, seorang temanku lainnya juga berkata, “Kau harus melihat ke dalam dua matanya. Mata selalu memancarkan apa yang hati kita rasakan. Jika kita sedang jatuh cinta, maka mata akan penuh binar merona.” Tetapi, saat kulihat kedua matamu yang kutemui hanya sebuah kelam, mirip arak-arakan mendung di langit malam. Aku tidak tahu apa artinya itu. Tapi yang jelas itu sudah pasti bukan cinta.

Ah, aku memang selalu gagal membaca cintamu. Dan, aku pun tak tahu apakah kau mencintaiku.

“Apa kau mencintai lelaki itu?” Suatu ketika aku bertanya padamu.

Kau tidak menjawab. Kau tetap berdiri di tepi jendela. Entah apa yang kau tatap.

“Apa kau mencintaiku?” tanyaku lagi.

Kau tetap tidak menjawab. Tetap berdiri mantab. Melihat sikapmu yang begitu, aku pun beranjak menjauhimu. Duduk di atas sofa lalu mengambil sebatang rokok. Saat aku hendak menyulut rokok itu, tiba-tiba tanganmu mencegahku. Kau mengambilnya lalu meletakkan begitu saja di atas meja kaca. Kau duduk di sebelahku dengan wajah yang terus menatapku. Tanpa kuduga, sebuah benda lembab menyentuh bibirku. Butuh waktu lama otakku menyadari bahwa bibir kita sudah saling bersentuhan. Dengan tangan yang masih tetap saling menggenggam, dengan tubuh yang mulai saling berdekatan, kita membiarkan bibir-bibir kita saling berpagutan.

Tiba-tiba, saat aku hanyut dalam gelora purba itu, kau menarik bibirmu dari pagutan. “Aku mencintainya…” ucapmu. Setelah kau menyambar blazer-mu di atas sandaran sofa, kau pun beranjak meninggalkan kamarku.

Tak lama setelah kejadian itu, aku mendengar kau telah resmi menjalin hubungan dengan lelaki itu. Aku pun perlahan mulai menjauh darimu. Namun, aku tak pernah bisa menjauh. Atau tepatnya kau tak pernah bisa membuatku untuk menjauh. Kau tetap sesekali datang padaku. Apalagi jika kau sedang berselisih dengan kekasihmu itu. Seperti malam ini, pasti kau sedang bertengkar dengan kekasihmu, makanya kau datang padaku.

***

“Kau harus pulang, kekasihmu pasti kebingungan mencarimu.” Kataku saat kulihat kedua jarum jam mesra berpelukan di angka 12.

“Aku ingin menghabiskan malam ini denganmu. Boleh?”

Tentu saja boleh, tapi…

“Kekasihmu pasti khawatir. Pulanglah,” jawabku. “Mari aku antar.”

Namun, kau tak jua beranjak dari atas sofa. Malah kau terlihat semakin ingin berlama-lama di sana. Kau tak ingin pergi.

“Kau bertengkar dengan kekasihmu, kan?” tanyaku.

Kau menoleh kepadaku. Namun tidak terlontar kata apa-apa dari mulutmu.

Lalu, aku bertanya kembali, “Kau sudah tidak mencintainya?”

Tetap tidak ada jawaban. Namun kau malah beranjak dari sofa dan meminta padaku pakaian yang lebih sopan. Kau bilang kau akan pulang dan menemui kekasihmu.

Saat aku berjalan di belakangmu yang hendak pulang, tiba-tiba saja langkahmu terhenti di ambang pintu. Lalu, kau mulai menatapku. Kemudian berjalan pelan mendekat ke arahku. Kita pun saling tatap. Seolah ingin saling membaca apa yang tersembunyi di kedalaman mata. Suasana kian hening hingga kudengar deru nafas kita masing-masing. Perlahan deru itu makin memburu. Sampai akhirnya, kurasakan kehangatan. Bibirku telah menepel di bibirmu. Kukecup dengan lembut dan pelan. Berulang. Tapi suasana malam membuatku kian tenggelam. Bibir-bibir kita jadi saling berlumatan. Saling memagut tanpa ingin surut. Begitu pula dengan lidah kita yang saling bertautan. Seperti ingin mengirimkan pesan perasaan yang tak pernah bisa disampaikan oleh ucapan. Ciuman ini…

Tunggu! Kenapa ciuman ini… Aku menarik bibirku. Kau tersentak. Alismu menyatu tanda kau menyimpan tanya.

“Kau mencintaiku…”

Tidak ada balasan darimu atas ucapanku. Tetapi, kau membuat kita kembali tenggelam dalam ciuman. Ciuman yang kurasa tak sama dengan ciuman-ciuman kita sebelumnya. Ciuman yang membuatku mengerti kalau aku telah salah membacamu selama ini. Ciuman yang membuatku tahu bahwa sebenarnya kau selalu mencintaiku.

Ah, rupanya ciuman jauh lebih bisa menjelaskan….

***

Situbondo, 26 Januari 2016
(Untuk perempuan yang pernah salah kubaca)

*sumber gambar: annogueras.deviantart.com

            
[Cerpen] Ciuman [Cerpen] Ciuman Reviewed by TIDAKTAMPAN on Desember 27, 2015 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.