Yang membuat saya memutuskan
untuk membeli novel ini ialah status seorang teman di jejaring sosial yang
mengatakan bahwa novel ini bagus. Ditambah tampilan kavernya yang ciamik –
perpaduan warna merah dan hitam dengan desain sepasang lelaki dan perempuan dan
juga daun-daun ganja – makin membuat saya tertarik. Apalagi ada embel-embel
novel ini adalah pemenang unggulan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta dari salah
satu penulis yang pernah meraih Khatulistiwa Literary Award, Arafat Nur.
Novel ini mengisahkan tentang
mantan seorang pejuang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) bernama Murad yang kembali ke
kampung halamannya, Aceh. Murad kembali setelah bertahun-tahun bersembunyi dari
buronan polisi karena telah menembak seorang kawan seperjuangannya dulu. Tetapi
Murad punya alasan kenapa ia menembak kawannya itu. Sebab kawannya telah
bertindak tak senonoh pada seorang wanita. Kawan-kawan seperjuangannya dulu di
Partai Merah juga telah banyak berubah setelah mendapat kemerdekaan dari
pemerintah. Partai Merah justru mulai melenceng dari garis perjuangan mereka. Mereka
tidak semakin membawa Aceh pada kebaikan melainkan menjerumuskannya pada
keterpurukan.
Setelah Murad kembali ke kampung
halamannya, sudah banyak kawan-kawannya yang telah menjadi anggota dewan sampai
kepala daerah. Akan tetapi, mereka tidak lagi memperjuangkan hak-hak rakyat dan
malah bertindak semena-mena. Itulah yang membuat Murah semakin membenci Partai
Merah.
Novel ini mengisahkan tentang
kedatangan kembali Murad ke kampung halamannya itu. Kemudian bercerita bagaimana ia
melihat perubahan yang terjadi pada Aceh, bertemu dengan kawan-kawan lama,
melihat Partai Merah berkuasa dan membuat rakyat makin sengsara, menghindar
dari buronan polisi dan Partai Merah.
Yang paling terasa dari novel ini
ialah banyaknya lontaran kritik kepada pemerintah. Kritikan itu secara
khusus disampaikan pada pemerintah Aceh. Tetapi secara tidak langsung juga
mengkritik pemerintahan Indonesia karena saya rasa tidak ada bedanya.
Setelah selesai membaca novel
ini, saya tidak merasakan ada letupan atau kejutan di dalamnya. Apa inti dari cerita ini? Maksud kedatangan Murad ke Aceh ini untuk apa? Apalagi di bagian ketika Murad harus menyamar menjadi seorang Teungku di sebuah kampung bernama Klekkok
menurut saya makin menghilangkan fokus cerita - meskipun sebetulnya kisah itu bisa sedikit menghibur. Juga, di bagian akhir cerita
yang dibuat menggantung makin menambah ‘ketidakjelasan’ inti cerita. Tiba-tiba
Murad lari bersama Jemala ke dalam hutan dan menemukan sebuah kampung yang
banyak ditanami ganja lalu mereka saling jatuh cinta. Sesudah itu selesai.
Jadi tidak tahu Murad ini
sebenarnya mau apa dan ke mana.
Jika membaca dari blurb buku ini, saya berharap di tengah
pelarian Murad dari buronan Partai Merah, ia akan menemukan cintanya. Memang
sebenarnya ia sudah bertemu dan jatuh cinta pada Jemala. Tetapi entah kenapa
saya kurang merasakan gregetnya. Harapan saya paling tidak di tengah ketegangan
karena lari ke sana ke mari menghindari kejaran, cerita akan diakhiri dengan
kisah yang romantis si tokoh. Tetapi ternyata akhirnya, bagi saya, biasa saja. Malah menyerahkan sendiri pada pembaca bagaimana akhir kisah dari si Murad. Ditangkapkah atau justru bagaimana.
Sebenarnya tema novel ini unik. Barangkali hal itulah yang membuat ia jadi pemenang unggulan
di DKJ. Novel ini juga menghadirkan ajakan – kritikan sebenarnya – untuk
membangkitkan budaya membaca di masyarakat yang sudah semakin memudar. Arafat Nur
juga mampu menggambarkan setting tempat dengan sangat detail. Contohnya untuk latar di
perkampungan dan belantara hutan. Barangkali karena memang si penulis berasal dari tanah
Aceh. Arafat juga seringkali memperhatikan hal-hal kecil di sekitar si tokoh
utama. Misalnya, gerak gerik seekor lembu dan seekor kucing. Tapi bagi saya ia agak sedikit gagal dalam membawa pembaca pada suasana Aceh yang sebenarnya. Saya merasa bahwa deskripsi setting tempat kurang terasa Acehnya. Begitu juga dengan budaya, adat, dan kebiasaan setempat kurang ditonjolkan di novel ini.
Satunya-satunya yang membekas
buat saya dari novel ini ialah banyaknya kritikan yang disampaikan si tokoh.
Selain itu tidak ada. Memang saya baru kali ini membaca karya Arafat Nur.
Tetapi, kalau membaca dari ulasan teman-teman yang lain, novel ini masih kalah
bila dibandingkan dengan novel terdahulunya Tempat Paling Sunyi.
Tetapi
bukan berarti novel ini jelek. Saya tetap menyarankan kalian membacanya sebagai
bahan referensi kalian. Barangkali selesai membaca novel ini kalian akan
menyadari betapa pentingnya membaca itu dan bagaimana seharusnya mengkritik (pemerintah).
Situbondo, 19 Juni 2017
[Buku] Tanah Surga Merah: Menikmati Kritikan Yang Bertebaran
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Juni 19, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: