Balu akan tetap menunggu di kedai itu.
Tak peduli segelas kopi di hadapannya tandas. Tak peduli pula yang ditunggunya
datang atau tidak. Sebab hanya dengan itu dia akan tahu perihal sesuatu yang
telah diperjuangkannya sejak lama.
Lima menit sudah Balu menghabiskan
waktunya di kedai kopi itu. Segelas kopi yang dipesannya juga baru tiba. Ia
meraba saku kemejanya. Ternyata aku lupa membawa rokok, pikirnya. Balu pun
beranjak menuju meja pemilik kedai. Dia membeli sebungkus rokok serta sebuah
korek juga. Balu kembali ke tempat duduknya. Dia mulai memantik api untuk menyalakan
sebatang rokok. Kopi di hadapannya menguarkan asap ke udara yang dingin malam
itu. Dia menyentuh gelasnya dengan jari. Masih panas, katanya dalam hati. Kemudian
diliriknya jam di dinding kedai. Sudah pukul 21.10.
Kedai kopi itu adalah tempat Balu
sering menghabiskan waktu senggangnya. Kedai itu tak punya nama. Tapi
orang-orang sering menyebutnya Kedai DPR karena di seberang kedai itu ada
bangunan megah yang tak lain adalah gedung DPRD.
Dari seringnya dia nongkrong di kedai
itu, Balu sampai kenal dengan pemiliki kedai bahkan akrab dengannya. Kadang
jika kondisi ekonomi Balu sedang buruk, pemilik kedai itu berbaik hati
mengijinkan Balu berhutang segelas kopi. Kadang dengan sebatang rokok juga. Tidak
cuma kenal dengan pemilikinya, melainkan dengan orang-orang yang juga sering
nongkrong di kedai itu. Di sana banyak berkumpul para pengangguran, satu dua
anak muda yang gemar hura-hura tidak jelas hingga wartawan media-media lokal.
“Kamu tak perlu repot-repot kesana-kemari
jika sekadar ingin tahu informasi di kota kita. Cukup saja datang ke sini.
Dijamin kamu lebih cepat mendapatkannya.” kata Balu pada kedua temannya.
Ah, ya, Balu menunggu kedua temannya
itu, Maman dan Budi. Mereka berjanji akan bertemu di sana.
Maman dan Budi sudah berteman dengan
Balu sejak lama. Ketiganya dipertemukan di bangku kuliah di salah satu kampus
swasta di daerah mereka. Jiwa-jiwa perlawanan yang dimiliki ketiganya membuat
mereka sejalan untuk melakukan perjuangan demi kemajuan daerahnya.
“Mereka yang menuntut ilmu di
kampus-kampus keren luar kota, cuma bisa janji untuk untuk merubah kabupaten
ini, tapi setelah lulus mereka pergi merantau hingga enggan kembali.”
Ketiga anak muda itu dikenal sering
melakukan kritik kepada pemerintah kabupaten. Biasanya kritikan itu sering
mereka sampaikan lewat tulisan, terkadang lewat deklamasi puisi di kedai kopi
DPR. Bagi mereka suatu keuntungan sering ngopi di kedai itu karena mereka
dengan mudahnya mendapat informasi. Mereka lebih mudah mencari tahu tingkah
aneh apa yang dilakukan oleh para pejabat mereka. Atau, ketidakbenaran seperti
apa lagi yang dibuat oleh para pemimpinnya.
Banyak hal sudah pernah mereka kritik.
Contohnya, tentang pejabat pemkab yang diduga terlibat melakukan korupsi dana
anggaran desa.
“Meski aku tak kuliah di jurusan
ekonomi atau hukum,” kata Maman, “aku tahu bahwa tugas pemkab hanya melakukan
pembinaan. Bukan ikut mengelola itu uang.”
“Daripada kau berkoar-koar di sini,
mending kau tulis saja isi otakmu itu. Lalu bagikan biar semua membacanya.” sahut
Balu.
Mereka juga pernah mengkritik soal
pembangunan-pembangunan yang selalu diabaikan oleh pemkot. Mulai dari pelabuhan
yang terabaikan, taman, tugu perjuangan, gedung-gedung hingga acara hari bebas
berkendara. Tidak satu pun ada yang diselesaikan dengan tuntas.
“Malam minggu, kita bikin deklamasi
disini,” kata Balu. “Kita undang semua teman, termasuk para wartawan.”
“Aku setuju,” jawab Balu. “Setidaknya
wajah kita bisa nampang di koran.”
Namun perjuangan yang mereka lakukan
tidaklah semudah yang telah diceritakan. Banyak hal yang membuat mereka
terkadang berpikir untuk mundur. Serangan-serangan sering kali datang pada
mereka. Serangan yang biasanya berasal dari sebuah kekuasaan. Mereka juga kerap
mendapatkan cacian dari banyak orang. Apa yang mereka lakukan, katanya, tidak
lebih dari ‘kegiatan kurang kerjaan’ dan hanya buang-buang waktu serta tenaga
saja.
“Kita tidak boleh mundur demi janji
perjuangan yang pernah kita ikrarkan.” kata Maman ketika serangan terus menerus
datang pada mereka.
“Benar. Ini demi kemajuan kabupaten kita
tercinta,” jawab Balu. “Kabupaten kita terbelakang bukan semata-mata salah para
tiran itu. Tapi banyaknya orang-orang yang apatis pada kemajuannya.”
“Kita harus setia pada revolusi.” sahut
Budi, dengan suara mantap.
Mereka bertiga tahu bahwa perjuangan
untuk revolusi adalah jalan penuh duri, jalan penuh musuh. Musuh-musuh yang
bisa datang dari mana saja. Termasuk dari orang-orang dekat mereka. Masing-masing
keluarga mereka tidak setuju dengan jalan yang dipilihnya itu.
“Tidak mudah melawan penguasa. Mending
kamu lupakan cita-citamu itu.” Ayah Balu menasihatinya. Begitu juga dengan Ibu
Maman pernah menasihati, “Nanti kamu ditangkap polisi, baru tahu rasa!” Tak
terkecuali juga Ibu Budi yang berkata, “Jangan aneh-aneh. Mending kamu cari
kerja buat masa depanmu.”
Musuh-musuh itu kini tidak lagi para
penguasa. Kini serangan datang dari orang-orang yang mereka harapkan bisa
mengerti pilihan mereka. Sesekali perkataan-perkataan itu membuatnya berpikir
untuk keluar dari jalur revolusi.
“Wajar. Itulah risiko yang harus
kalian tanggung. Yang penting kalian tetap dengan tekad kalian. Kita butuh
pemuda-pemuda yang mampu membawa perubahan seperti kalian ini.” kata Pak Ono,
seseorang yang mereka tuakan.
Meski jalan perjuangan di depan mereka
semakin terjal saja, namun tekad mereka telah membatu. Mengeras. Tidak akan
pernah luluh oleh suatu serangan apapun. Kritik-kritik tetap mereka sampaikan.
Ketidakadilan yang dibuat oleh penguasa, mereka pertanyakan. Mereka bangunkan
orang-orang yang selama ini menutup mata dan telinganya. Tidak ada yang lebih
penting dari sebuah kemajuan kecuali orang-orang yang ikut berjuang
mewujudkannya.
Melihat tindakan mereka yang semakin
berani, musuh-musuh juga tak tinggal diam. Serangan demi serangan dalam
berbagai cara semakin banyak berdatangan. Semakin pintar saja musuh-musuh itu
melancarkan serangan. Melempar fitnah. Fitnah mereka olah dengan segenap kreatifitas
demi menghentikan perjuangan ketiga anak muda itu.
Awalnya ketiga pemuda itu tak takut
ketika sebuah fitnah menyerang mereka. Dengan segenap keberanian, mereka
melawan. Tapi, sayang, mereka lupa tentang siapa yang mereka lawan: penguasa. Mereka
terlalu lemah untuk melawan tangan dan kaki besi penguasa yang sudah menjelma
raksasa. Mereka dituduh melakukan pencemaran nama baik. Mereka dilaporkan ke
polisi. Mereka bertiga pun ditahan.
“Mereka mencoba membuat nama Bupati
buruk di masyarakat dengan cara menghasutnya. Mereka telah menyebar selebaran
ke orang-orang. Isinya tidak lain adalah menjelek-jelakkan Bupati.” kata polisi
yang menangani kasus itu sambil memperlihatkan selebaran sebagai alat buktinya.
Kejadian itu membuat keluarga mereka
kaget. Juga marah. Ibu mereka menangis mengkhawatirkan ketiga anaknya yang ada
di balik jeruji itu. Semua ibu tidak ingin melihat anaknya ada di balik jeruji.
Ketika tahu bahwa yang melaporkan adalah sang Bupati, orangtua mereka pun
mendatangi pemimpinnya itu. Meminta belas hatinya untuk mengampuni kesalahan
anaknya.
Bupati tidak begitu saja mau
memberikannya. Dia membuat satu kesepakatan dengan ibu pemuda-pemuda itu:
anak-anak mereka tak boleh lagi menyerangnya. Kesepakatan pun disetujui, Balu
dan teman-temannya pun bebas.
“Puas kamu sudah bikin ibu malu?” kata
Ibu Budi, marah.
“Apa kubilang, tidak mudah melawan
seorang penguasa. Kamu pasti kalah.” kata ayah Balu padanya.
“Sudah. Hentikan semua kelakuanmu ini.
Jadilah anak yang baik. Kalau tidak aku tak akan mengurusmu lagi.” ancam ibu
Maman.
Nasihat-nasihat itu membuat urat-urat
mereka sedikit mengendur. Mereka jarang keluar rumah. Mereka kini lebih banyak
menghabiskan waktu dengan keluarga. Mereka tidak lagi pergi ke kedai DPR untuk
beberapa waktu. Mereka tidak lagi melancarkan kritik-kritik. Setiap ada
kejadian yang mengabaikan kebenaran, menyusahkan rakyat kecil, mereka biarkan.
Sampai suatu hari, suatu kejadian membuat
hati mereka benar-benar terpanggil. Seorang pejabat di lingkungan pemkab
melakukan pemerkosaan terhadap seorang wanita yang masih duduk di bangku SMA.
Namun, pejabat bejat itu seolah lari tanggung jawab. Keluarga korban
melaporkannya pada polisi. Sayangnya, pihak kepolisian seolah melindungi si
pelaku. Laporan korban tak kunjung juga diusut. Banyak demonstrasi yang dilakukan
di kantor bupati memintanya agar tidak melindungi si pejabat. Sebab terdengar
kabar bahwa si pejabat itu adalah kerabat dekat bupati. Kabar tersebut akhirnya
sampai ke telinga Balu, Maman dan Budi. Mereka merasa perlu untuk bergerak.
Maka, Balu segera mengirim pesan pada kedua temannya. Dia meminta untuk bertemu
di kedai DPR pukul 21.00.
Maka di kedai kopi itulah Balu
sekarang menunggu kedua temannya. Segelas kopi di depannya sudah tandas. Tapi
Maman dan Budi tak juga datang. Dia sudah menghabiskan tiga batang rokok.
Apakah Maman dan Budi tidak akan datang, pikir Balu. Waktu sudah merangkak
menuju malam. Jam di dinding sudah menunjuk pukul 22.15.
Balu coba menghubunginya lagi tapi
tidak ada jawaban. Barangkali kedua temannya memang tidak akan datang. Tapi
tentu Balu belum akan pulang. Dia akan tetap duduk di kedai kopi itu meski di
kopi di hadapannya sudah tandas. Meski kedua temannya juga tak akan datang.
***
Bertahun-tahun sejak malam itu, tak
pernah terdengar lagi kabar kedua temannya. Mereka berdua seolah lenyap dari
jalur perjuangan. Sampai akhirnya Balu dikejutkan dengan kabar bahwa temannya,
Maman, bekerja untuk mendukung program bupati. Sedang Budi memilih menjadi
pengusaha yang sering menggarap proyek milik pemkab.
Balu pun teringat pada malam dia
menunggu di kedai kopi dan pada kata-kata yang sempat dia ucapkan: setelah
tandas secangkir kopi, kini aku mengerti, siapa yang setia pada revolusi.
Situbondo,
04 Agustus 2016
***
*sumber gambar: minumkopi.com
[Cerpen] Balu dan Segelas Kopi Yang Tandas
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Agustus 22, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: