Jangan sekali-kali
cicak-cicak berkeliaran di rumah Kiki kalau tidak ingin mati di tangan Pak
Dikin, ayahnya. Jangan ada seekor pun yang coba menempel di dinding rumahnya. Jika
tidak Pak Dikin akan segera mencari penebah
untuk memburu cicak itu lalu mengirimnya ke neraka.
“Mau
bersembunyi di mana kau cicak sialan?!” kata Pak Dikin sambil mengorek-ngorek celah
belakang figura foto keluarganya. “Tak akan aku biarkan kau hidup!”
Setiap cicak
yang terlihat oleh Pak Dikin pasti akan mati. Pak Dikin akan memburunya ke mana
pun cicak-cicak itu pergi. Tidak akan dia biar hidup cicak-cicak tersebut. Rasa
bencinya pada cicak bisa digambarkan dengan saat dia melihat kotoran di
hadapannya. Atau bahkan seperti halnya melihat iblis, harus segera dia usir
jauh-jauh.
“Kenapa ayahmu
sangat membenci cicak?” tanya teman-teman Kiki setiap kali berkunjung ke
rumahnya.
“Karena
cicak-cicaklah ibu dan adikku meninggal.”
Kiki tinggal
berdua bersama ayahnya. Ibu dan adiknya meninggal beberapa tahun yang lalu.
Mereka tinggal di sebuah rumah yang besar dengan halaman yang luas. Sebelum
tinggal di rumah besar itu, Kiki dan keluarganya menempati sebuah rumah
sederhana warisan dari kakeknya. Pak Dikin sendiri, ayah Kiki, dulunya bekerja
sebagai penambang pasir di sungai besar tak jauh dari rumahnya. Sedang ibunya
membuka warung nasi di sebuah sekolah menengah pertama. Kehidupannya tak bisa
dibilang kekurangan saat itu, namun tak dapat dikatakan berlebihan pula. Sampai
suatu hari Pak Dikin merasa dirinya tak bisa terus menerus seperti itu. Sampai
kapan dia akan hidup serba pas-pasan? Semua orang pasti menginginkan sesuatu
yang lebih. Pak Dikin ingin bisa membeli sesuatu dan memperluas rumahnya.
Terlebih dia ingin menyekolahkan kedua anaknya. Hal itu tidak bisa dicapai
dengan kondisi yang serba pas-pasan. Maka, Pak Dikin mencoba peruntungannya dengan
membuka usaha. Dengan mengambil risiko yang besar yakni menjual rumah warisan
dari kakek Kiki, Pak Dikin merintis usaha penjualan material bangunan.
Sementara dia dan keluarganya menempati sebuah rumah kontrakan yang lebih kecil
dari rumah sebelumnya.
Berawal dari
sebuah mobil pick up bekas, Pak Dikin
mulai membangun usahanya. Dia berjalan mencari pelanggan yang mau membeli bahan
material bangunan kepadanya. Pak Dikin tidak segan memberikan potongan harga
agar banyak orang yang berlangganan. Promosi, kata Pak Dikin. Berkat
kegigihannya ke sana ke mari, akhirnya usahanya mulai menunjukkan progres yang
baik. Banyak orang yang memesan bahan material padanya. Perlahan dia mulai
mengembangkan bisnisnya dengan memberikan beberapa pelayanan lain, seperti
penjualan pasir halus yang semula hanya menyediakan pasir kasar.
Tentu saja
usahanya tak semulus yang dibayangkan. Beberapa batu kerikil pernah menghalangi
jalannya, namun berkat daya juangnya yang tinggi dilewatilah semua
kerikil-kerikil itu. Mobil pick up
pun tidak cuma satu tetapi menambah lagi sampai dua armada, juga sebuah truk
berukuran sedang. Karena usahanya sudah terlampau sukses, Pak Dikin pun membangun
sebuah rumah dengan ukuran besar dan halaman yang luas. Dia sengaja memilih
halaman yang luas karena akan dia gunakan untuk tempat mobil-mobil pick up dan truknya.
Pak Dikin sama
sekali tidak menyangka bahwa hidupnya akan berubah. Dulu ketika terbesit ide
untuk membuka usaha itu, dia hanya bermodal nekat saja. Tidak ada teori untung
rugi, laba per tahun, tingkat pengembalian dan sebagainya. Dia hanya bermodal
keyakinan bahwa dia pasti bisa sukses. Dan, kesuksesan itu pun benar-benar diraihnya.
Keluarganya pun turut menikmati kesuksesan itu. Hidup seluruh anggota
keluarganya menjadi terjamin. Kiki bisa membeli apa saja yang dia inginkan.
Sepeda, smartphone, sepatu dan banyak
lagi. Istrinya pun demikian, selalu mengenakan baju-baju dengan kualitas bagus
dan perhiasan yang terkadang mengundang rasa iri orang-orang. Adik Kiki pun
tidak jauh berbeda dengan ibu dan kakaknya.
Suatu hari
tiba-tiba saja ibu Kiki sakit dan terpaksa harus diopname. Menurut pemeriksaan
yang dilakukan, ibu Kiki terserang gejala liver.
Pak Dikin meminta kepada dokter agar memberikan pelayanan terbaiknya agar
istrinya bisa sembuh. Namun bukanlah kesembuhan yang datang, melainkan gejala
yang semakin parah. Infeksi terjadi dan menyebabkan kondisinya makin parah.
Perutnya jadi membesar dan sering kali terasa sakit. Berbagai pengobatan dari
dokter pun telah dilakukan. Bahkan sampai meminta bantuan pengobatan alternatif
juga. Tetapi tidak ada satu pun yang berhasil menyembuhkannya. Sampai akhirnya
ibu Kiki meninggal dengan perut yang tetap membesar. Kejadian itu membuat Pak
Dikin amat bersedih. Usaha materialnya pun dia tinggal selama berminggu-minggu.
Belum juga
hilang kesedihan lantaran ditinggal sang istri, Pak Dikin kembali ditimpa
musibah yang tak kalah beratnya. Adik Kiki tiba-tiba mengeluh sakit di
kepalanya bahkan sampai menjerit-jerit. Bisa jadi itu gejala tumor otak dan
butuh pemeriksaan lebih lanjut, kata dokter. Namun berdasarkan pemeriksaan yang
dilakukan, tidak ditemukan gejala apa-apa pada adik Kiki. Sementara sakit di
kepalanya terus menerus mendera. Dokter sendiri tak mengerti dengan kondisi
adik Kiki. Adiknya itu hanya bisa meraung-raung menahan sakit di kepalanya. Tak
ada satu pun obat dari dokter yang mempan mengobati rasa sakitnya. Lantaran
menahan sakit hingga berhari-hari, badan adik Kiki pun menyusut dengan cepat. Apalagi
makanan tidak bisa masuk ke perutnya. Setiap kali menyuap sesendok makanan
pasti tak lama akan dimuntahkan.
Pak Dikin
tidak tahu lagi harus bagaimana dengan kondisi adik Kiki. Dia hanya bisa pasrah
sebab sudah dilakukan berbagai cara atas kesembuhannya. Pak Dikin pun rela jika
adik Kiki harus menyusul istirinya. Tepat setelah tiga bulan kematian ibu Kiki,
adiknya turut pergi meninggalkan dirinya, selamanya. Kiki dan Pak Dikin akhirnya
tinggal berdua di rumah besar mereka.
Sejak itulah Pak
Dikin jadi membenci cicak-cicak yang ada di rumahnya. Cicak-cicak itu
membuatnya terus-terusan mengingat istri dan anaknya. Padahal Pak Dikin sangat
ingin melupakan kesedihannya. Namun gara-gara cicak-cicak di rumahnya, dia tak
bisa lepas dari rasa sedih kehilangan keluarga. Cicak-cicak itu seperti
mengolok-olok dirinya. Seolah-olah menjulurkan lidah ke arahnya.
“Cicak
sialan!” kata Pak Dikin segera bangkit dari duduknya dan segera mengejar cicak
itu.
Kiki sendiri
sampai terheran-heran dengan sikap ayahnya. Tiba-tiba saja ayahnya jadi
membenci cicak. Padahal sebelumnya ayahnya tidak pernah mempermasalahkan setiap
cicak yang ada di rumahnya. Meski sampai membuang kotoran pun ayahnya tidak
pernah marah. Pasti ayahnya selalu menyuruh dirinya atau adiknya untuk menyapu
kotoran itu. Tapi berbeda dengan sekarang, tak boleh ada satu cicak pun dan
kotorannya di rumah mereka.
“Lihat! Ada
kotoran cicak,” kata Pak Dikin pada Kiki. “Pasti cicak-cicak itu datang lagi.”
Awalnya Kiki
tidak tahu penyebab ayahnya bersikap seperti itu. Kiki menduga mungkin ayahnya
mengalami gangguan jiwa lantaran ditinggalkan ibu dan adiknya. Tetapi melihat
sikapnya sehari-hari tidak tampak gejala gangguan jiwa atau semacamnya. Ayahnya
masih bisa mengurus usahanya. Diajak berbicara mengenai sesuatu pun ayahnya
masih bisa mengimbangi Kiki.
“Kenapa
sekarang ayah jadi membenci cicak?” tanya Kiki, penasaran.
Dengan mata
yang tetap awas memburu cicak-cicak ayahnya menjawab, “Mereka yang membunuh ibu
dan adikmu, Kiki.”
Ali-alih
mengobati rasa penasaran, Kiki justru tambah tidak mengerti dengan jawaban
ayahnya. Bagaimana bisa seekor cicak membunuh seorang manusia? Cicak bukanlah
hewan berbahaya seperti ular. Ia tak memiliki bisa mematikan. Ia juga tak bisa
menggigit. Setahu Kiki cicak hanya bisa membuat orang-orang geli lantaran
bentuknya. Lagipula, pikir Kiki, ibu dan adiknya meninggal karena penyakit,
bukan karena cicak.
“Tapi bagaimana
bisa cicak itu membunuh ibu, yah?” tanya Kiki lagi.
“Kau lihat
mata cicak itu,” kata Pak Dikin sembari menunjuk seekor cicak yang
mengendap-endap memburu seekor nyamuk. “Mata itu seperti mata setan. Mata yang
menampakkan kejahatan. Mata setan itulah yang membuat ibu dan adikmu sakit lalu
meninggal. Mulai sekarang kamu juga harus ikut memburuh cicak-cicak itu. Jangan
biarkan mereka hidup di rumah kita agar tidak ada lagi yang mati di antara kita.”
Karena ucapan
ayahnya itu, Kiki pun jadi ikut memburu cicak-cicak. Dia jadi sering membantu
ayahnya memburu cicak. Kiki melakukan hal itu bukan lantaran percaya dengan
ucapan ayahnya, tetapi dia takut ayahnya marah. Sebab pernah suatu kali dia
kena marah ayahnya lantaran membiarkan seekor cicak berkeliaran.
“Kiki! Kenapa
kau cuma diam saja? Kau tidak lihat ada cicak sejak tadi? Cicak itu terus
menerus mengawasimu. Seharusnya kamu membunuhnya. Kalau tidak bisa-bisa kamu yang
dibunuh oleh cicak itu. Kamu akan mati seperti ibu dan adikmu. Kamu mau mati?”
Kini setiap
kali Kiki melihat seekor cicak di rumahnya, dia akan segera memburunya kemudian
membunuhnya. Dia ingat pesan ayahnya bahwa tidak boleh ada cicak berkeliaran di
rumahnya meski cuma satu ekor saja. Rumahnya harus bersih dari cicak-cicak.
Tidak boleh ada di antara keduanya yang juga mati karena cicak-cicak. Oleh
sebab itu membunuh cicak adalah kewajiban bagi mereka. Kewajiban yang mesti
didahulukan. Tidak peduli di rumahnya sedang ada tamu yang berkunjung, bila
mereka sudah melihat cicak tamu itu harus ditinggal sejenak sampai mereka
selesai membunuh si cicak.
“Kiki, kenapa
kau sekarang juga ikut-ikutan membunuh cicak-cicak?” tanya teman-teman Kiki
yang datang ke rumahnya.
“Ayah
menyuruhku untuk membunuh mereka sebelum mereka membunuh kami.”
“Tapi tidak
mungkin kan seekor cicak bisa membunuh?”
“Mata cicak
itu selalu menampakkan kejahatan.”
“Apa kau…”
“Tunggu,” Kiki
memotong pembicaraan temannya. “Ada cicak di balik bingkai ayat kursi. Aku
harus membunuhnya dulu.”
Kiki dan
ayahnya pun terus memburu cicak-cicak yang ada di dinding rumahnya. Di teras,
ruang tamu, kamar hingga dapur. Mereka telah berjanji untuk tidak membiarkan
hidup setiap cicak yang tampak oleh matanya. Saban hari mereka melakukannya.
Saban hari pula ada cicak yang mati di tangan mereka meski hanya satu-dua ekor
saja. Itu makin membuat gelora membunuh cicak mereka makin membara. Kiki dan
Pak Dikin pun terus memburunya tanpa kenal lelah.
Sebab mereka
takut cicak-cicak itu juga akan membunuhnya.
Situbondo, 5 Februari 2016
***
[Cerpen] Pak Dikin dan Cicak-cicak (Radar Jember, 10 September 2017)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
September 13, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: