[Cerpen] Pak Dikin dan Cicak-cicak (Radar Jember, 10 September 2017)


Jangan sekali-kali cicak-cicak berkeliaran di rumah Kiki kalau tidak ingin mati di tangan Pak Dikin, ayahnya. Jangan ada seekor pun yang coba menempel di dinding rumahnya. Jika tidak Pak Dikin akan segera mencari penebah untuk memburu cicak itu lalu mengirimnya ke neraka.
“Mau bersembunyi di mana kau cicak sialan?!” kata Pak Dikin sambil mengorek-ngorek celah belakang figura foto keluarganya. “Tak akan aku biarkan kau hidup!”
Setiap cicak yang terlihat oleh Pak Dikin pasti akan mati. Pak Dikin akan memburunya ke mana pun cicak-cicak itu pergi. Tidak akan dia biar hidup cicak-cicak tersebut. Rasa bencinya pada cicak bisa digambarkan dengan saat dia melihat kotoran di hadapannya. Atau bahkan seperti halnya melihat iblis, harus segera dia usir jauh-jauh.
“Kenapa ayahmu sangat membenci cicak?” tanya teman-teman Kiki setiap kali berkunjung ke rumahnya.
“Karena cicak-cicaklah ibu dan adikku meninggal.”
Kiki tinggal berdua bersama ayahnya. Ibu dan adiknya meninggal beberapa tahun yang lalu. Mereka tinggal di sebuah rumah yang besar dengan halaman yang luas. Sebelum tinggal di rumah besar itu, Kiki dan keluarganya menempati sebuah rumah sederhana warisan dari kakeknya. Pak Dikin sendiri, ayah Kiki, dulunya bekerja sebagai penambang pasir di sungai besar tak jauh dari rumahnya. Sedang ibunya membuka warung nasi di sebuah sekolah menengah pertama. Kehidupannya tak bisa dibilang kekurangan saat itu, namun tak dapat dikatakan berlebihan pula. Sampai suatu hari Pak Dikin merasa dirinya tak bisa terus menerus seperti itu. Sampai kapan dia akan hidup serba pas-pasan? Semua orang pasti menginginkan sesuatu yang lebih. Pak Dikin ingin bisa membeli sesuatu dan memperluas rumahnya. Terlebih dia ingin menyekolahkan kedua anaknya. Hal itu tidak bisa dicapai dengan kondisi yang serba pas-pasan. Maka, Pak Dikin mencoba peruntungannya dengan membuka usaha. Dengan mengambil risiko yang besar yakni menjual rumah warisan dari kakek Kiki, Pak Dikin merintis usaha penjualan material bangunan. Sementara dia dan keluarganya menempati sebuah rumah kontrakan yang lebih kecil dari rumah sebelumnya.
Berawal dari sebuah mobil pick up bekas, Pak Dikin mulai membangun usahanya. Dia berjalan mencari pelanggan yang mau membeli bahan material bangunan kepadanya. Pak Dikin tidak segan memberikan potongan harga agar banyak orang yang berlangganan. Promosi, kata Pak Dikin. Berkat kegigihannya ke sana ke mari, akhirnya usahanya mulai menunjukkan progres yang baik. Banyak orang yang memesan bahan material padanya. Perlahan dia mulai mengembangkan bisnisnya dengan memberikan beberapa pelayanan lain, seperti penjualan pasir halus yang semula hanya menyediakan pasir kasar.
Tentu saja usahanya tak semulus yang dibayangkan. Beberapa batu kerikil pernah menghalangi jalannya, namun berkat daya juangnya yang tinggi dilewatilah semua kerikil-kerikil itu. Mobil pick up pun tidak cuma satu tetapi menambah lagi sampai dua armada, juga sebuah truk berukuran sedang. Karena usahanya sudah terlampau sukses, Pak Dikin pun membangun sebuah rumah dengan ukuran besar dan halaman yang luas. Dia sengaja memilih halaman yang luas karena akan dia gunakan untuk tempat mobil-mobil pick up dan truknya.
Pak Dikin sama sekali tidak menyangka bahwa hidupnya akan berubah. Dulu ketika terbesit ide untuk membuka usaha itu, dia hanya bermodal nekat saja. Tidak ada teori untung rugi, laba per tahun, tingkat pengembalian dan sebagainya. Dia hanya bermodal keyakinan bahwa dia pasti bisa sukses. Dan, kesuksesan itu pun benar-benar diraihnya. Keluarganya pun turut menikmati kesuksesan itu. Hidup seluruh anggota keluarganya menjadi terjamin. Kiki bisa membeli apa saja yang dia inginkan. Sepeda, smartphone, sepatu dan banyak lagi. Istrinya pun demikian, selalu mengenakan baju-baju dengan kualitas bagus dan perhiasan yang terkadang mengundang rasa iri orang-orang. Adik Kiki pun tidak jauh berbeda dengan ibu dan kakaknya.
Suatu hari tiba-tiba saja ibu Kiki sakit dan terpaksa harus diopname. Menurut pemeriksaan yang dilakukan, ibu Kiki terserang gejala liver. Pak Dikin meminta kepada dokter agar memberikan pelayanan terbaiknya agar istrinya bisa sembuh. Namun bukanlah kesembuhan yang datang, melainkan gejala yang semakin parah. Infeksi terjadi dan menyebabkan kondisinya makin parah. Perutnya jadi membesar dan sering kali terasa sakit. Berbagai pengobatan dari dokter pun telah dilakukan. Bahkan sampai meminta bantuan pengobatan alternatif juga. Tetapi tidak ada satu pun yang berhasil menyembuhkannya. Sampai akhirnya ibu Kiki meninggal dengan perut yang tetap membesar. Kejadian itu membuat Pak Dikin amat bersedih. Usaha materialnya pun dia tinggal selama berminggu-minggu.
Belum juga hilang kesedihan lantaran ditinggal sang istri, Pak Dikin kembali ditimpa musibah yang tak kalah beratnya. Adik Kiki tiba-tiba mengeluh sakit di kepalanya bahkan sampai menjerit-jerit. Bisa jadi itu gejala tumor otak dan butuh pemeriksaan lebih lanjut, kata dokter. Namun berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, tidak ditemukan gejala apa-apa pada adik Kiki. Sementara sakit di kepalanya terus menerus mendera. Dokter sendiri tak mengerti dengan kondisi adik Kiki. Adiknya itu hanya bisa meraung-raung menahan sakit di kepalanya. Tak ada satu pun obat dari dokter yang mempan mengobati rasa sakitnya. Lantaran menahan sakit hingga berhari-hari, badan adik Kiki pun menyusut dengan cepat. Apalagi makanan tidak bisa masuk ke perutnya. Setiap kali menyuap sesendok makanan pasti tak lama akan dimuntahkan.
Pak Dikin tidak tahu lagi harus bagaimana dengan kondisi adik Kiki. Dia hanya bisa pasrah sebab sudah dilakukan berbagai cara atas kesembuhannya. Pak Dikin pun rela jika adik Kiki harus menyusul istirinya. Tepat setelah tiga bulan kematian ibu Kiki, adiknya turut pergi meninggalkan dirinya, selamanya. Kiki dan Pak Dikin akhirnya tinggal berdua di rumah besar mereka.
Sejak itulah Pak Dikin jadi membenci cicak-cicak yang ada di rumahnya. Cicak-cicak itu membuatnya terus-terusan mengingat istri dan anaknya. Padahal Pak Dikin sangat ingin melupakan kesedihannya. Namun gara-gara cicak-cicak di rumahnya, dia tak bisa lepas dari rasa sedih kehilangan keluarga. Cicak-cicak itu seperti mengolok-olok dirinya. Seolah-olah menjulurkan lidah ke arahnya.
“Cicak sialan!” kata Pak Dikin segera bangkit dari duduknya dan segera mengejar cicak itu.
Kiki sendiri sampai terheran-heran dengan sikap ayahnya. Tiba-tiba saja ayahnya jadi membenci cicak. Padahal sebelumnya ayahnya tidak pernah mempermasalahkan setiap cicak yang ada di rumahnya. Meski sampai membuang kotoran pun ayahnya tidak pernah marah. Pasti ayahnya selalu menyuruh dirinya atau adiknya untuk menyapu kotoran itu. Tapi berbeda dengan sekarang, tak boleh ada satu cicak pun dan kotorannya di rumah mereka.
“Lihat! Ada kotoran cicak,” kata Pak Dikin pada Kiki. “Pasti cicak-cicak itu datang lagi.”
Awalnya Kiki tidak tahu penyebab ayahnya bersikap seperti itu. Kiki menduga mungkin ayahnya mengalami gangguan jiwa lantaran ditinggalkan ibu dan adiknya. Tetapi melihat sikapnya sehari-hari tidak tampak gejala gangguan jiwa atau semacamnya. Ayahnya masih bisa mengurus usahanya. Diajak berbicara mengenai sesuatu pun ayahnya masih bisa mengimbangi Kiki.
“Kenapa sekarang ayah jadi membenci cicak?” tanya Kiki, penasaran.
Dengan mata yang tetap awas memburu cicak-cicak ayahnya menjawab, “Mereka yang membunuh ibu dan adikmu, Kiki.”
Ali-alih mengobati rasa penasaran, Kiki justru tambah tidak mengerti dengan jawaban ayahnya. Bagaimana bisa seekor cicak membunuh seorang manusia? Cicak bukanlah hewan berbahaya seperti ular. Ia tak memiliki bisa mematikan. Ia juga tak bisa menggigit. Setahu Kiki cicak hanya bisa membuat orang-orang geli lantaran bentuknya. Lagipula, pikir Kiki, ibu dan adiknya meninggal karena penyakit, bukan karena cicak.
“Tapi bagaimana bisa cicak itu membunuh ibu, yah?” tanya Kiki lagi.
“Kau lihat mata cicak itu,” kata Pak Dikin sembari menunjuk seekor cicak yang mengendap-endap memburu seekor nyamuk. “Mata itu seperti mata setan. Mata yang menampakkan kejahatan. Mata setan itulah yang membuat ibu dan adikmu sakit lalu meninggal. Mulai sekarang kamu juga harus ikut memburuh cicak-cicak itu. Jangan biarkan mereka hidup di rumah kita agar tidak ada lagi yang mati di antara kita.”
Karena ucapan ayahnya itu, Kiki pun jadi ikut memburu cicak-cicak. Dia jadi sering membantu ayahnya memburu cicak. Kiki melakukan hal itu bukan lantaran percaya dengan ucapan ayahnya, tetapi dia takut ayahnya marah. Sebab pernah suatu kali dia kena marah ayahnya lantaran membiarkan seekor cicak berkeliaran.
“Kiki! Kenapa kau cuma diam saja? Kau tidak lihat ada cicak sejak tadi? Cicak itu terus menerus mengawasimu. Seharusnya kamu membunuhnya. Kalau tidak bisa-bisa kamu yang dibunuh oleh cicak itu. Kamu akan mati seperti ibu dan adikmu. Kamu mau mati?”
Kini setiap kali Kiki melihat seekor cicak di rumahnya, dia akan segera memburunya kemudian membunuhnya. Dia ingat pesan ayahnya bahwa tidak boleh ada cicak berkeliaran di rumahnya meski cuma satu ekor saja. Rumahnya harus bersih dari cicak-cicak. Tidak boleh ada di antara keduanya yang juga mati karena cicak-cicak. Oleh sebab itu membunuh cicak adalah kewajiban bagi mereka. Kewajiban yang mesti didahulukan. Tidak peduli di rumahnya sedang ada tamu yang berkunjung, bila mereka sudah melihat cicak tamu itu harus ditinggal sejenak sampai mereka selesai membunuh si cicak.
“Kiki, kenapa kau sekarang juga ikut-ikutan membunuh cicak-cicak?” tanya teman-teman Kiki yang datang ke rumahnya.
“Ayah menyuruhku untuk membunuh mereka sebelum mereka membunuh kami.”
“Tapi tidak mungkin kan seekor cicak bisa membunuh?”
“Mata cicak itu selalu menampakkan kejahatan.”
“Apa kau…”
“Tunggu,” Kiki memotong pembicaraan temannya. “Ada cicak di balik bingkai ayat kursi. Aku harus membunuhnya dulu.”
Kiki dan ayahnya pun terus memburu cicak-cicak yang ada di dinding rumahnya. Di teras, ruang tamu, kamar hingga dapur. Mereka telah berjanji untuk tidak membiarkan hidup setiap cicak yang tampak oleh matanya. Saban hari mereka melakukannya. Saban hari pula ada cicak yang mati di tangan mereka meski hanya satu-dua ekor saja. Itu makin membuat gelora membunuh cicak mereka makin membara. Kiki dan Pak Dikin pun terus memburunya tanpa kenal lelah.

Sebab mereka takut cicak-cicak itu juga akan membunuhnya.
Situbondo, 5 Februari 2016
***
[Cerpen] Pak Dikin dan Cicak-cicak (Radar Jember, 10 September 2017) [Cerpen] Pak Dikin dan Cicak-cicak (Radar Jember, 10 September 2017) Reviewed by TIDAKTAMPAN on September 13, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.