Di sebelah barat desa tempat Kiki tinggal ada sebuah hutan luas
nan lebat membentang. Menurut orang-orang, hutan tersebut sangatlah angker. Di
sana tinggal banyak hantu yang kerap mengganggu siapapun yang datang. Para
pencari kayu yang nyaris setiap hari keluar masuk di hutan itu kerap menjadi
bulan-bulanan gangguan para hantu tersebut. Seperti misalnya dilempari batu,
ada yang memanggil dari kejauhan, hingga seolah-olah sedang diikuti langkahnya.
Bagi hantu-hantu itu tak peduli entah siang atau malam, mereka
akan tetap mengganggu siapa saja yang datang. Apalagi jika kedatangan mereka
dengan maksud buruk, maka sudah pasti akan menjadi sasaran perilaku jahat
hantu-hantu. Bahkan bila perlu dibuat kesasar hingga tak bisa kembali. Membuat hutan
itu seperti sebuah ilusi. Baru setelah orang-orang dengan niat buruk itu pasrah
dan menyadari kesalahannya, hantu-hantu itu akan menunjukkan jalan keluar pada
mereka.
Kiki mengetahui semua cerita itu dari
orang-orang di desanya. Juga terkadang dari Ningsih, ibunya. Kiki dan
teman-temannya seringkali diingatkan agar tidak pergi bermain ke hutan di
sebelah barat desanya tersebut.
“Maka dari itu jangan sekali-kali kau pergi ke hutan itu, sayang.”
Nasihat Ningsih pada Kiki.
“Kenapa hantu-hantu itu suka sekali mengganggu, bu?”
“Jika seorang teman mengganggumu, apa kau akan marah?” tanya Ningsih.
Kiki mengangguk. “Nah, hantu-hantu itu marah karena orang-orang suka mengganggu
mereka.”
“Menganggu bagaimana, bu?”
“Iya. Seperti menembang pohon sembarangan,” sahut ibunya.
“Pohon-pohon di sana adalah rumah bagi hantu-hantu itu, sayang. Mereka tak mau
rumahnya dirusak.”
“Jadi sebenarnya makhluk itu tidak jahat dong?”
“Tidak, sayang.”
“Berarti jika aku ke sana dan aku tidak mengganggu mereka, maka
mereka juga tidak akan menggangguku kan, bu?”
“Benar,” jawab ibu Kiki. “Tapi tetap saja kau tidak boleh ke hutan
itu.”
“Kenapa, bu?”
“Sebab selain hantu-hantu itu, di sana ada seekor harimau yang
sering memakan anak-anak sepertimu.”
Selain hantu-hantu halus yang gemar mengganggu
itu, juga hidup seekor harimau di hutan tersebut. Ningsih yang menceritakan hal
itu. Awalnya Kiki tak percaya tapi cerita ibunya itu dibenarkan oleh
orang-orang kampung.
“Pasti ada harimau di setiap hutan, Kiki,” salah seorang warga
bercerita pada Kiki dan teman-temannya. “Kau tahu, kenapa setiap selamatan desa
kita membawa sepikul sesajen ke dalam hutan? Itu untuk memberi makan harimau
yang mendiami hutan tersebut.”
“Kenapa harimau itu diberi sesajen?”
“Harimau itu yang menjaga desa kita, Nak.”
Dua cerita itulah yang membuat hutan barat di sebelah desa itu
menjadi angker. Namun cerita tentang harimau penunggu hutan lebih menarik
perhatian Kiki. Kiki makin sering bertanya soal cerita itu pada ibunya.
“Apakah harimau itu juga suka mengganggu seperti hantu-hantu di
sana?” Tanya Kiki.
“Harimau itu suka memangsa anak-anak, sayang.”
“Apa ada anak yang pernah dimangsa oleh harimau itu, bu?”
“Iya, sayang. Dulu seorang anak sepertimu pernah dimangsa oleh
harimau itu.”
“Apa anak itu nakal, bu?”
“Tidak.”
Mendengar hal itu Kiki pun jadi makin tertarik. Kiki meminta ibu
untuk menceritakannya padaku. Ibunya pun mulai bercerita….
Dulu di desa tersebut, ada seorang anak bernama Mala. Dia tinggal
berdua bersama ibunya, Mak Romlah. Mala anak yang baik. Dia rajin mengaji dan
selalu menuruti perintah ibunya. Tak pernah sekalipun melanggar semua apa yang
ibunya larang. Kecuali, soal larangan pergi ke hutan di sebalah barat desanya.
Mulanya Mala tak terlalu peduli dengan cerita harimau dan
hantu-hantu pengganggu yang mendiami hutan. Sama halnya dengan setiap larangan
ibunya yang lain, Mala tahu bahwa larangan itu diberikan ibunya demi
kebaikannya sendiri. Ibunya tak mau sesuatu yang buruk pada Mala. “Jika kau pergi,
siapa yang akan menemani Mak, Nak?” begitu kata Mak Romlah. Maka Mala pun tidak
pernah mau tahu dengan cerita itu. Sebab Mala sangat menyayangi wanita yang
sudah melahirkan dan membesarkannya itu.
Tetapi pada suatu hari, dalam tidur lelapnya Mala bermimpi bertemu
dengan seorang lelaki di dalam hutan. Lelaki itu memakai jubah hitam panjang.
Wajahnya tidak terlihat, hanya gelap. Lelaki itu mengajak Mala untuk
mendekatinya. Mala bergeming, tak beranjak sedikit pun dan tetap mematung. Tiba-tiba
dari arah belakang lelaki itu muncul seekor harimau belang yang sangat besar.
Lalu berjalan ke samping lelaki berjubah. Baru kali ini Mala melihat harimau
dengan ukuran sebesar itu. Hewan buas itu menatap tajam ke arah Mala. Kemudian
mengaum keras menampakkan giginya yang tajam. Alhasil Mala segera berlari
ketakutan. Dia pun terbangun dari mimpinya dengan peluh yang bercucuran.
Mimpi itu tak pernah diceritakan Mala kepada ibunya. Mala sendiri
tidak tahu kenapa ia merasa tak ingin menceritakan mimpi itu. Lantaran terlalu
menyeramkan mimpi itu ia takut menceritakan semuanya. Dia juga berpikir bahwa
jika ia menceritakannya, ibunya akan menjadi semakin khawatir padanya.
Akan tetapi pada akhirnya Mala menceritakan mimpi itu kepada ibunya.
Sebab mimpi itu tidak datang sekali saja padanya. Di malam-malam berikutnya,
mimpi buruk tersebut terus menghampiri tidur lelap Mala bahkan nyaris setiap
malam.
Seperti yang Mala duga, mendengar penuturan cerita darinya Mak
Romlah jadi merasa takut sesuatu yang buruk bakal terjadi. Ia tidak paham arti
dari mimpi itu. Tetapi, ia menerka-nerka sendiri mencoba mengartikan mimpi yang
dialami anaknya. Bisa jadi lelaki yang memakai jubah hitam adalah ayah kandung
Mala. Barangakli lelaki itu kini merindukan Mala dan berusaha mengambilnya,
begitu pikir Mak Romlah. Perihal harimau di belakang si lelaki, Mak Romlah tak
bisa mengerti. Harimau binatang buas. Jelas itu pertanda bahaya. Harimau itu, Mak
Romlah yakin, adalah harimau yang mendiami hutan di dekat kampungnya.
“Mala, jangan pernah pergi ke hutan itu. Atau jika tidak kau akan
bertemu harimau dalam mimpimu di sana. Mak tidak mau kau meninggalkan Mak
sendiri.”
Mala anak yang baik dan penurut, maka dipatuhilah nasihat ibunya. “Mala
tak akan pernah meninggalkan Mak.”
Ia tak pernah datang ke hutan itu. Bahkan terlintas pikiran untuk
pergi ke sana pun tidak pernah. Namun, mimpi serupa terus saja mengganggu tidur
nyenyaknya. Setiap malam pasti mimpi itu selalu datang. Lama kelamaan membuat
tidurnya tak lagi nyenyak. Mala pun menjadi susah untuk memejamkan mata. Hal
itu menimbulkan rasa penasaran di hati Mala. Apalagi di mimpinya yang terakhir lelaki
itu muncul dalam keadaan yang berbeda.
Dalam mimpinya kali ini, Mala melihat lelaki itu melepas tudung
kepala jubah hitamnya. Kini Mala bisa melihat wajahnya meski tak begitu jelas.
Sepintas Mala lihat tak pernah mengenal wajah lelaki itu. Tak pernah dia jumpai
lelaki itu di desanya. Di sampingnya seekor harimau belang yang sama tetap menemaninya.
Lelaki itu tak lagi memanggil Mala untuk menghampirinya. Tetapi dia terlihat
berjalan ke arah Mala, begitu juga dengan si harimau. Anehnya Mala tak bisa
bergerak sama sekali, padahal dia ingin sekali berlari. Ketika lelaki itu
semakin mendekat dan hanya berjarak beberapa meter, tiba-tiba Mala terbangun
dari mimpinya.
Sejak itulah dia ingin sekali mendatangi hutan di sebelah barat
kampungnya itu. Dia yakin pasti mimpi itu mengisyaratkan sesuatu padanya. Mala
berpikir, lelaki itu menginginkan Mala menemuinya di hutan. Akhirnya tanpa
sepengetahuan ibunya, diam-diam Mala pergi ke hutan itu. Meski ada sedikit rasa
takut dalam hatinya, tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar. Mala berjalan
sendiri di tengah kelebatan hutan itu. Tidak ada yang dia temui selain
pohon-pohon besar, semak belukar dan bebunyian hewan-hewan liar. Semua itu
makin membuatnya ketakutan hingga ingin kembali saja.
Namun ketika dia hendak kembali, tiba-tiba dia lupa jalan pulang.
Mala kebingungan mengingat jalan yang sebelumnya ia lalui. Di tengah
kebingunannya, dalam kegelapan hutan Mala melihat dua cahaya terang menghadap
ke arahnya. Ketika cahaya itu mendekati dirinya dia pun menyadari bahwa cahaya
itu adalah pancaran mata seekor harimau.
Harimau itu terus mendekati Mala. Mala hanya diam mematung.
Harimau itu! Harimau itu mirip dengan harimau dalam mimpku, ucap Mala dalam
hati. Lalu kemana lelaki yang memakai jubah hitam itu? Seharusnya dia berjalan
di samping hewan buas itu. Tetapi lelaki itu tidak ada. Melainkan hanya seekor
harimau yang semakin lama semakin mendekati Mala.
Sejak saat itu Mala tidak pernah kembali ke rumahnya. Tidak ada
yang tahu ke mana Mala pergi. Tapi Mak Romlah yakin bahwa Mala sudah mengikuti
kata mimpinya. Ia pergi ke hutan dan bertemu harimau itu.
“Nah, itulah kenapa kau tidak boleh pergi ke hutan itu, sayang.” ucap
ibu Kiki seusai bercerita. “Maka dari itu kamu harus menuruti nasihat ibu. Ibu
tidak ingin kamu pergi. Kau juga tidak ingin meninggalkan ibu sendirian kan?”
Kiki tidak akan meninggalkan ibunya sendirian. Kiki berpikir, jika
dia pergi siapa yang akan menjaga ibunya? Ayahnya? Ah, Kiki sendiri tak pernah
tahu di mana ayahnya. Bahkan wajahnya pun tidak. Tidak ada yang ibunya miliki
selain dirinya. Kiki tidak akan membiarkan ibunya mengalami nasib seperti
halnya Mak Romlah.
Maka dari itu, sebagai jawabannya Kiki mengangguk mantap pada
ibunya.
***
Pada suatu petang, berbulan-bulan kemudian, Ningsih menangis
meraung-raung di depan rumahnya. Sejak pergi bermain siang tadi, Kiki belum
juga kembali. Ketika ia bertanya pada teman-teman Kiki, mereka berkata bahwa
Kiki pergi masuk ke dalam hutan di sebelah barat desa. Kiki pergi hutan itu
sendirian. Kiki berkata bahwa ia ingin menemui seorang lelaki yang ada dalam
mimpinya.
Ningsih tak tahan mendengar cerita itu. Seperti dugaannya bahwa Kiki juga pasti mengalami mimpi yang sama dengan Mala. Maka dari itu, dia berusaha mencegah Kiki dengan melarangnya pergi ke hutan, serta menceritakan kisah Mala dan Mak Romlah. Sebab dia takut Kiki akan mengikuti mimpi itu. Dan ternyata benar Kiki pergi ke hutan untuk mengikuti apa kata mimpi itu.
Ningsih pun menangis memanggil-manggil nama anaknya. Dalam
tangisnya ia menyesal. Seharusnya dia juga menceritakan alasan kenapa Mala bisa
mengalami mimpi itu lalu bertemu harimau di hutan dan tak pernah kembali.
“Mala itu anak jadah, sayang. Sama sepertimu.
Seharusnya kau tak ke hutan.,” kata Mala dalam tangisnya. “Anak jadah tak boleh
pergi ke hutan.”
Situbondo, Juli 2016
[Cerpen] Jangan Pergi Ke Hutan (Radar Mojokerto, 17 September 2017)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
September 17, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: