[Buku] TELEMBUK dangdut dan kisah cinta yang keparat: Cerita Yang Tidak Sungguh-Sungguh Berakhir


Sudah lama saya mendengar nama Kedung Darma Romansha lewat media sosial. Namun membaca karya-karyanya belum pernah sama sekali. Kemudian namanya kembali saya temui di nominasi 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 17 lewat bukunya yang berjudul “TELEMBUK dangdut dan kisah cinta yang keparat”. Judul itu membuat saya tertarik untuk membacanya ditambah dari cover bukunya yang ‘aduhai’ sekali. Saya mencoba melihat komentar orang-orang yang sudah pernah membacanya. Hasilnya banyak dari mereka yang menyukainya. Saya pun memutuskan untuk membacanya juga.

Begitu membaca buku ini, awalnya saya sedikit was-was karena saya baru mengetahui kalau buku ini adalah kelanjutan dari bukunya terdahulu yang berjudul “Kelir Slindet” yang ceritanya belum selesai. Saya belum pernah membaca buku itu. Saya jadi takut mau membaca tanpa membaca buku terdahulunya. Bisa-bisa saya tidak mengerti. Tapi, tidak perlu khawatir karena Kedung memberikan gambar singkat mengenai “Kelir Slindet”. Tujuannya, yang pasti, untuk memberikan gambaran bagi pembaca yang tidak pernah membaca buku terdahulunya itu.

Buku ini bercerita tentang Safitri; seorang penyanyi dangdut organ tunggal yang memiliki nama panggung Diva Fiesta. Selain menjadi penyanyi, ia juga bekerja sebagai telembuk. Apa itu telembuk? Telembuk adalah sebutan bagi PSK atau pelacur dalam bahasa daerah Indramayu. Ya, novel ini mengambil setting di sana sesuai kelahiran si penulis novel.

Semenjak kabur dari Cikedung (dalam cerita di novel Kelir Slindet), Safitri memilih menjadi seorang telembuk sekaligus penyanyi dangdut. Karena kualitas suaranya, kecantikan, dan tubuh seksinya, ia menjadi bintang dangdut dengan nama Diva Fiesta. Dalam kehidupannya yang baru itu, ia kenal dengan Mak Dayem; seorang wanita tua mantan telembuk yang banyak mengajarinya. Ia juga dipertemukan dengan Mang Alek; seorang laki-laki yang menolong Safitri dan membuat Safitri jatuh hati namun tidak pernah mau bercinta dengan Safitri dan justru lebih memilih telembuk lain. Kemudian, ia juga dipertemukan dengan Carta; laki-laki yang membuatnya jatuh cinta setelah kecewa pada Mang Alek dan membulatkan tekad untuk menikah dengannya namun gagal karena Carta berubah menjadi pengecut lantaran tak mau mengakui anak yang ada di kandungan Safitri.

Membaca buku ini akan membawa kita pada dunia prostitusi, panggung dangdut, dan hal-hal yang tak jauh dengan kedua dunia itu. Sudah pasti dalam novel ini kita akan bertemu dengan adegan seks, kata-kata kasar, bau rokok, wangi parfum murahan, alkohol, suara dangdut tarling, perkelahian, dan segala hal yang memiliki sangkutpaut dengan dunia telembuk.

Kedung menulis novel ini dengan apa adanya. Ia menyampaikannya secara jujur. Hal itu terlihat di sepanjang cerita yang tampak nyata. Ia menggambarkan bagaimana lika-liku seorang telembuk. Ia menggambarkan bagaimana suasana di warung kopi, di acara dangdut tarling, perbincangan antar warga, suasana kampung, dan tempat-tempat prostitusi. Semua ia gambarkan dengan nyata. Membuat para pembaca seolah berada di tengah-tengah para tokoh dalam novel ini.

Novel ini juga memberikan pandangan bagi pembaca bahwa dunia telembuk, dunia prostitusi, punya sisi lain yang tidak sering kita lihat. Tidak ada yang tahu alasan kenapa Safitri memilih menjadi telembuk. Terkadang orang-orang terlalu mudah menghakimi dan menyimpulkan. Ada banyak sisi yang tidak kita ketahui kenapa seseorang memilih jalan hidup menjadi seorang telembuk, seorang PSK. Novel ini hadir untuk mengajak masuk ke sisi itu lewat kisahnya.

Yang paling menarik dari novel ini adalah gaya penceritaannya. Kedung menempatkan beberapa sudut pandang. Satu, dari pencerita atau narator. Dan, beberapa dari para tokohnya. Dari sisi pencerita atau narator, ia menyajikan kisah dalam posisi netral. Ia benar-benar hanya sebagai narator. Hanya menceritakan. Tidak menghakimi ataupun membela para tokoh. Tidak ada penilaian moral apapun. Sedangkan dari sisi para tokoh (Safitri, Aan, Govar, dan Mukimin) lebih pada pergulatan batin mereka sendiri. Menariknya, justru tokoh Aan adalah pencerita atau narator itu sendiri. Bahkan, pada salah satu bab, semua tokoh dan pencerita dipertemukan dalam satu dialog. Ini sangat menarik buat saya.

Dari beberapa sudut pandang itu, pembaca bebas memilih yang mana: entah dari sisi narator atau tokoh. Entah mau menghakimi, menikmati, atau bahkan memetik nilai-nilai kehidupan dari kisah ini.

Sebenarnya saya sedikit kecewa karena sampai di akhir cerita, tak pernah tahu siapa yang menghamili Safitri; bahkan Safitri sendiri tidak tau siapa laki-laki itu. Tidak ada yang tahu siapa penyebab kekacauan hidup Safitri. Tapi, saya terobati dengan kalimat yang disampaikan oleh narator atau Aan:

“Akhirnya aku harus menyimpulkan kisah ini sendiri, untuk memuaskan rasa kecewaku. Sampai di sini saja semuanya berakhir. Cerita kecil ini. Dan sebenarnya memang tidak pernah berakhir. Sebab tidak ada cerita yang sungguh-sungguh berakhir. Dan kita semua akan dihadapkan dengan cerita yang lebih besar dari ini.”

Saya rasa tidak salah kalau buku ini masuk dalam nominasi 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. 

***
[Buku] TELEMBUK dangdut dan kisah cinta yang keparat: Cerita Yang Tidak Sungguh-Sungguh Berakhir [Buku] TELEMBUK dangdut dan kisah cinta yang keparat: Cerita Yang Tidak Sungguh-Sungguh Berakhir Reviewed by TIDAKTAMPAN on Oktober 02, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.