Jika kalian
melewati jalanan yang terletak di antara pantai berombak lesuh dan hutan di
kaki gunung yang sendu, mungkin kalian sudah tiba di Kota Kesedihan. Tetapi
untuk memastikannya, teruslah melaju di jalan itu. Jika nanti kalian melihat
sebuah dermaga panjang yang tampak menyedihkan, besar kemungkinan kalian memang
benar-benar telah tiba di Kota Kesedihan. Tetapi, kusarankan lebih baik
pastikan sekali lagi. Berjalanlah terus sampai kalian tiba di pusat kota dan
menemukan sebuah tugu perahu yang tampak pilu. Jika kalian melihatnya, maka
kalian sudah benar-benar tiba di Kota Kesedihan.
Hanya di kota itulah ada sebuah tugu perahu yang seolah mirip wajah
terharu.
Sesungguhnya Kota
Kesedihan bukanlah nama sebenarnya. Kota itu bernama Gunung Sampan. Seperti
kebanyakan nama kota-kota lainnya, nama tersebut diambil dengan latar belakang
sejarah kota. Konon, dahulu, di kota itu berdiri sebuah kerajaan besar yang
dipimpin oleh seorang raja yang bijak. Pada suatu ketika, tibalah waktunya
untuk turun tahta, sang raja pun menunjuk anak sulungnya untuk menggantikan
dirinya. Akan tetapi, anak bungsunya tidak terima dengan keputusan ayahnya itu.
Dia merasa lebih pantas untuk memimpin kerajaan tersebut daripada saudaranya.
Sampai akhirnya, sang raja pun meninggal dan kepemimpinan digantikan oleh si
putra sulung. Sementara si bungsu, yang masih belum berdamai dengan keputusan
ayahnya, memilih memberontak hingga akhirnya terjadi perang saudara di kerajaan
itu. Masalah negara jadi tidak terurus dan rakyat tak lagi dipikirkan. Kedua
pangeran kini hanya mementingkan kekuasaan. Namun tidak satu pun ada yang memenangkan
perang tersebut. Negara porak poranda.
Tiba-tiba saja, bak sebuah kutuk, kerajaan itu
diterjang musibah air bah yang luar biasa. Seluruh kerajaan tenggelam. Rumah-rumah
warga hanyut. Orang-orang berteriak-teriak meminta tolong. Lalu, sebuah
keajaiban datang! Puluhan sampan berduyun-duyun dari arah gunung
dan bukit-bukit tinggi yang memeluk kota itu. Sampan-sampan yang tak bertuan.
Sampan-sampan yang melaju sendiri, tanpa awak, menuju orang-orang yang membutuhkan
pertolongan. Sampan-sampan itu membawa orang-orang yang meminta pertolongan ke
atas perbukitan menjauhi bencana. Nyawa orang-orang tersebut pun terselamatkan.
Namun, anehnya, sampan-sampan itu
menghilang begitu tiba di atas gunung. Setelah air bah surut, seluruh bangunan
kerajaan telah lenyap tak bersisa. Sejarah itulah yang membuat pada akhirnya
kota tersebut diberi nama Kota Gunung Sampan dan menjadikan perahu sebagai
maskot kota.
Akan tetapi, kini, banyak orang
yang lebih suka menyebutnya Kota Kesedihan. Sebutan itu bukanlah tanpa alasan. Sebab
di kota itu segalanya memang beraroma kesedihan. Mulai dari jalanan,
gedung-gedung, sungai, laut, gunung hingga orang-orangnya semuanya tampak
seperti jelmaan kesedihan. Jalanannya terlihat tidak menggairahkan. Meski ramai
dengan kendaraan, namun semuanya bergerak perlahan. Seolah-olah seperti tidak
sedang diburu pekerjaan. Gedung-gedungnya tampak suram. Seperti wajah orang-orang
yang dirundung kesedihan tak tertanggungkan. Sungainya pun mengalir pelan
seperti tengah membawa beban kehidupan. Lautnya pun tak pernah berombak besar.
Tetapi hanya berupa gulungan-gulungan yang lesuh. Gunungnya bahkan menyerupai wajah
seseorang yang sedang sendu. Begitu pun dengan orang-orangnya yang setiap hari
selalu tampak bersedih, tak pernah sekali pun terlihat bersuka hati.
Tentu saja kota
itu tidak lantas terlahir sebagai kota yang penuh dengan kesedihan.
Bertahun-tahun setelah kejadian air bah itu, kota tersebut berangsur-angsur
pulih. Perlahan ia berbenah diri. Segala aktivitas di kota itu mulai berjalan
seperti biasanya. Jalanannya terlihat bergairah, gedung-gedungnya tampak
bergemerlapan, sudut-sudut kota dipenuhi oleh orang-orang yang asyik bercengkerama
dan pasar-pasar hibuk dengan distribusi barang dan jasa. Namun, tiba-tiba saja
pada suatu pagi kota itu berubah menjadi kota yang penuh dengan kesedihan.
Seluruh penduduk
terkejut melihat perubahan yang terjadi pada kota mereka. Dan, lebih terkejut
lagi ketika tahu kondisi mereka jauh tampak begitu menyedihkan. Dari wajah
mereka, seolah-olah kebahagaiaan telah dirampas.
Tidak ada yang
tahu apa penyebab kota itu seketika berubah hanya dalam semalam. Bahkan
orang-orang yang gemar begadang, yang semestinya tahu keajiban apa yang terjadi
di malam itu, pun tak paham dengan semuanya. Mereka tiba-tiba saja sudah
terbangun di pagi hari dan saat membuka mata segalanya telah berubah.
Bermacam spekulasi membuntuti kejadian
tersebut. Ini adalah ladang imajinasi bagi para pembual. Ada yang mengatakan
bahwa kejadian itu karena seorang penyihir jahat telah mengutuk kota itu. Kata
orang-orang, penyihir jahat itu ingin menguasai kota. Dia ingin seluruh
penduduk tunduk padanya. Namun banyak yang tak percaya pada kisah ini.
“Apakah di jaman
modern masih ada seorang penyihir? Bukannya sekarang lebih banyak koruptor?”
“Kau pikir
penyihir hanya nenek-nenek tua berdagu lancip memakai jubah panjang dan topi
kerucut serta mengendarai sapu terbang? Sekarang penyihir juga sudah tahu cara
berpenampilan modis. Dan penyihir jenis ini biasanya jauh lebih kejam dari yang
kau bayangkan. Bisa jadi, koruptor-koruptor itu juga penyihir yang menyamar.”
Ada juga yang
mengatakan penyebabnya adalah kutukan lantaran di kota itu segala maksiat
dituhankan. Oleh karena itu, Langit pun murka kemudian melaknat kota itu. Tidak
dengan bencana banjir, tsunami atau longsor, melainkan merubahnya menjadi kota
yang menyedihkan.
Itu jauh lebih menyedihkan daripada porak
poranda terkena bencana. Kota yang hancur dan rusak masih bisa diperbaiki untuk
bangkit lagi. Tetapi, kota yang bersedih, apakah bisa ia disembuhkan? Samakah caranya dengan
menyebuhkan sedihnya hati?
Tapi tidak ada yang tahu penyebab
sebenarnya kenapa kota tersebut menjelma sebuah kesedihan.
Lama kelamaan, seiring berjalannya waktu,
sebab musabab berubahnya kota itu tak menjadi sesuatu yang mereka hiraukan
lagi. Perlahan mereka seolah bisa menerima takdir yang terjadi. Mereka menerima
segala bentuk kesedihan yang menimpa di kota itu. Tak ada satu pun dari warga
kota yang memiliki niat untuk mengubah takdir yang terjadi. Mungkin juga mereka
mengerti bahwa takdir memang tak bisa ditolak.
Meraka pun mulai berkawan dengan
kesedihan. Mereka bekerja dan mencari uang dengan cara yang paling sedih.
Mereka berjalan, berinteraksi, berolahraga, beribadah, bahkan menggelar hajatan
yang semestinya dengan penuh kebahagiaan, dirayakan juga dengan cara yang
paling menyedihkan.
Sebuah pesta pernikahan, mereka gelar
tanpa kebisingan apapun sebagaimana layaknya. Tanpa pernak-pernik dan hiasan ala pesta perkawinan. Tak ada
sepasang pengantin dengan baju bak raja dan ratu atau pangeran dan permaisuri. Maka
tak ada doa “semoga bahagia” bagia dua sejoli yang menikah. Yang ada hanyalah
harapan “semoga kesedihan membuat mereka bersama selamanya”.
Aneh dan terasa ganjil, memang, jika
melihat hal itu. Akan tetapi begitulah yang terjadi di Kota Kesedihan. Semuanya
memang ditakdirkan untuk bersedih. Seolah kebahagiaan dikutuk agar tak tumbuh
di tanah kota itu.
Dan kabar mengenai kondisi kota itu
sampai di seluruh penjuru negeri. Bermula dari seorang pendatang yang tanpa
sengaja mengunjungi kota itu. Dia lalu terkejut melihat kondisi kota yang
tampak murung. Mulai dari warung sampai balai kotanya. Semuanya tampak masygul. Orang itu pun mulai mengabarkan
dengan cara membagikan foto yang dia ambil di kota itu. Sembari dengan
menyisipkan kata-kata, “Aneh. Tapi inilah yang terjadi. Sebuah kota yang semua
sudutnya begitu menyedihkan.”
Foto itu dilihat oleh jutaan orang di
seluruh negeri. Mereka pun jadi
penasaran dengan foto tersebut. Apakah foto itu benar-benar nyata? Bukan dari
hasil rekayasa oleh tangan-tangan usil tak bertanggungjawab dan hanya ingin
cari perhatian? Demi mengobati rasa penasaran itu, mereka berbondong-bondong
mendatangi kota tersebut.
Ternyata apa yang mereka lihat di foto
benar apa adanya.
“Astaga. Kota ini benar-benar diselimuti
oleh kesedihan. Kasihan sekali.”
“Lihat! Langitnya sepanjang hari terlihat
mendung.”
“Wajah orang-orangnya pun juga tampak
murung.”
“Apalagi balai kotanya, benar-benar
seperti jelmaan kesedihan.”
“Segalanya tampak tak bergairah.”
Orang-orang itu tak lupa untuk
mengabadikan kesedihan yang terpampang di hadapan mereka. Seolah-olah mereka
menjadikannya seperti buah tangan untuk dibawa ke kampung halaman. Makin lama
makin banyak yang datang ke kota itu. Banyak yang semakin penasaran dengan Kota
Kesedihan.
Melihat fenomena itu, Wali Kota menjadikannya
sebagai peluang untuk mempromosikan kota yang dipimpinnya. Dia ingin menjadikan kesedihan sebagai sesuatu yang mampu menarik
perhatian para wisatawan.
“Kota kita memang tak punya sumber daya
alam yang melimpah. Tapi kita punya jumlah kesedihan. Itu sumber daya yang tak
akan pernah habis. Itu potensi kita.” Kata Walikota menjelaskan, dengan nada
yang menyedihkan tentunya.
Mulailah kota itu melakukan promosi untuk
kesedihan yang mereka miliki. Mereka gencar memasarkan ke berbagai daerah untuk menarik wisatawan datang ke kota mereka.
Sebisa mungkin mereka melakukannya dengan cara yang paling kreatif. Misalkan,
membuat taman kesedihan, taman yang di dalamnya berisi banyak wahana kesedihan.
Membuat tur kesedihan, menggunakan bus mengelilingi Kota Kesedihan. Hingga
membuat beragam jenis oleh-oleh yang terbuat dari kesedihan.
Karena kreatifitas
itu semakin banyak pengunjung yang datang ke Kota Kesedihan. Hotel-hotel yang
semula sepi, yang biasanya hanya ditempat oleh artis kondang ibu kota yang
sedang menggelar konser di kota tersebut, kini nyaris tiap akhir pekan selalu
dipenuhi para pelancong. Bahkan mulai tumbuh banyak hotel-hotel dan penginapan.
Kota itu mulai tumbuh, mulai banyak dikenal oleh semua orang. Saban hari
semakin banyak saja orang yang datang ke sana.
Barangkali makin
banyak orang yang membutuhkan kesedihan dan mulai bosan dengan kebahagiaan.
Tapi sebuah
ketenaran tak bisa bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, para pelancong
mulai bosan dengan Kota Kesedihan. Padahal Wali Kota sudah berusaha untuk
melakukan proses kreasi terus menerus terhadap kotanya. Namun, hal itu tak
berdampak apapun. Data pengunjung per bulan mengalami penurunan. Sampai
akhirnya, pengunjung yang datang ke sana semakin sedikit.
Kota Kesedihan
mulai ditinggalkan.
Yang tersisa kini
hanyalah sisa-sisa ketenaran dulu. Kota itu makin padat dengan banyaknya hotel
yang tumbuh. Toko-toko, pasar, penginapan, dan rumah-rumah. Kota itu kini
tampak berantakan. Tak beraturan. Juga tampak lusuh. Semakin menyedihkanlah
kota itu sekarang.
Usut punya usut, menurunnya tingkat pengunjung
ke Kota Kesedihan lantaran adanya sebuah daerah yang tak jauh dari sana yang
mampu menarik perhatian banyak orang. Kata mereka, daerah tersebut menawarkan
kebahagiaan dan kesedihan secara bersamaan.
***
[Cerpen] Kota Kesedihan (Radar Bojonegoro, 08 Oktober 2017)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Oktober 08, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: