[Cerpen] Kota Kesedihan (Radar Bojonegoro, 08 Oktober 2017)


Jika kalian melewati jalanan yang terletak di antara pantai berombak lesuh dan hutan di kaki gunung yang sendu, mungkin kalian sudah tiba di Kota Kesedihan. Tetapi untuk memastikannya, teruslah melaju di jalan itu. Jika nanti kalian melihat sebuah dermaga panjang yang tampak menyedihkan, besar kemungkinan kalian memang benar-benar telah tiba di Kota Kesedihan. Tetapi, kusarankan lebih baik pastikan sekali lagi. Berjalanlah terus sampai kalian tiba di pusat kota dan menemukan sebuah tugu perahu yang tampak pilu. Jika kalian melihatnya, maka kalian sudah benar-benar tiba di Kota Kesedihan.

Hanya di kota itulah ada sebuah tugu perahu yang seolah mirip wajah terharu.

Sesungguhnya Kota Kesedihan bukanlah nama sebenarnya. Kota itu bernama Gunung Sampan. Seperti kebanyakan nama kota-kota lainnya, nama tersebut diambil dengan latar belakang sejarah kota. Konon, dahulu, di kota itu berdiri sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang raja yang bijak. Pada suatu ketika, tibalah waktunya untuk turun tahta, sang raja pun menunjuk anak sulungnya untuk menggantikan dirinya. Akan tetapi, anak bungsunya tidak terima dengan keputusan ayahnya itu. Dia merasa lebih pantas untuk memimpin kerajaan tersebut daripada saudaranya. Sampai akhirnya, sang raja pun meninggal dan kepemimpinan digantikan oleh si putra sulung. Sementara si bungsu, yang masih belum berdamai dengan keputusan ayahnya, memilih memberontak hingga akhirnya terjadi perang saudara di kerajaan itu. Masalah negara jadi tidak terurus dan rakyat tak lagi dipikirkan. Kedua pangeran kini hanya mementingkan kekuasaan. Namun tidak satu pun ada yang memenangkan perang tersebut. Negara porak poranda.

Tiba-tiba saja, bak sebuah kutuk, kerajaan itu diterjang musibah air bah yang luar biasa. Seluruh kerajaan tenggelam. Rumah-rumah warga hanyut. Orang-orang berteriak-teriak meminta tolong. Lalu, sebuah keajaiban datang! Puluhan sampan berduyun-duyun dari arah gunung dan bukit-bukit tinggi yang memeluk kota itu. Sampan-sampan yang tak bertuan. Sampan-sampan yang melaju sendiri, tanpa awak, menuju orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sampan-sampan itu membawa orang-orang yang meminta pertolongan ke atas perbukitan menjauhi bencana. Nyawa orang-orang tersebut pun terselamatkan.

Namun, anehnya, sampan-sampan itu menghilang begitu tiba di atas gunung. Setelah air bah surut, seluruh bangunan kerajaan telah lenyap tak bersisa. Sejarah itulah yang membuat pada akhirnya kota tersebut diberi nama Kota Gunung Sampan dan menjadikan perahu sebagai maskot kota.

Akan tetapi, kini, banyak orang yang lebih suka menyebutnya Kota Kesedihan. Sebutan itu bukanlah tanpa alasan. Sebab di kota itu segalanya memang beraroma kesedihan. Mulai dari jalanan, gedung-gedung, sungai, laut, gunung hingga orang-orangnya semuanya tampak seperti jelmaan kesedihan. Jalanannya terlihat tidak menggairahkan. Meski ramai dengan kendaraan, namun semuanya bergerak perlahan. Seolah-olah seperti tidak sedang diburu pekerjaan. Gedung-gedungnya tampak suram. Seperti wajah orang-orang yang dirundung kesedihan tak tertanggungkan. Sungainya pun mengalir pelan seperti tengah membawa beban kehidupan. Lautnya pun tak pernah berombak besar. Tetapi hanya berupa gulungan-gulungan yang lesuh. Gunungnya bahkan menyerupai wajah seseorang yang sedang sendu. Begitu pun dengan orang-orangnya yang setiap hari selalu tampak bersedih, tak pernah sekali pun terlihat bersuka hati.

Tentu saja kota itu tidak lantas terlahir sebagai kota yang penuh dengan kesedihan. Bertahun-tahun setelah kejadian air bah itu, kota tersebut berangsur-angsur pulih. Perlahan ia berbenah diri. Segala aktivitas di kota itu mulai berjalan seperti biasanya. Jalanannya terlihat bergairah, gedung-gedungnya tampak bergemerlapan, sudut-sudut kota dipenuhi oleh orang-orang yang asyik bercengkerama dan pasar-pasar hibuk dengan distribusi barang dan jasa. Namun, tiba-tiba saja pada suatu pagi kota itu berubah menjadi kota yang penuh dengan kesedihan.

Seluruh penduduk terkejut melihat perubahan yang terjadi pada kota mereka. Dan, lebih terkejut lagi ketika tahu kondisi mereka jauh tampak begitu menyedihkan. Dari wajah mereka, seolah-olah kebahagaiaan telah dirampas.

Tidak ada yang tahu apa penyebab kota itu seketika berubah hanya dalam semalam. Bahkan orang-orang yang gemar begadang, yang semestinya tahu keajiban apa yang terjadi di malam itu, pun tak paham dengan semuanya. Mereka tiba-tiba saja sudah terbangun di pagi hari dan saat membuka mata segalanya telah berubah.

Bermacam spekulasi membuntuti kejadian tersebut. Ini adalah ladang imajinasi bagi para pembual. Ada yang mengatakan bahwa kejadian itu karena seorang penyihir jahat telah mengutuk kota itu. Kata orang-orang, penyihir jahat itu ingin menguasai kota. Dia ingin seluruh penduduk tunduk padanya. Namun banyak yang tak percaya pada kisah ini.

“Apakah di jaman modern masih ada seorang penyihir? Bukannya sekarang lebih banyak koruptor?”

“Kau pikir penyihir hanya nenek-nenek tua berdagu lancip memakai jubah panjang dan topi kerucut serta mengendarai sapu terbang? Sekarang penyihir juga sudah tahu cara berpenampilan modis. Dan penyihir jenis ini biasanya jauh lebih kejam dari yang kau bayangkan. Bisa jadi, koruptor-koruptor itu juga penyihir yang menyamar.”

Ada juga yang mengatakan penyebabnya adalah kutukan lantaran di kota itu segala maksiat dituhankan. Oleh karena itu, Langit pun murka kemudian melaknat kota itu. Tidak dengan bencana banjir, tsunami atau longsor, melainkan merubahnya menjadi kota yang menyedihkan.

Itu jauh lebih menyedihkan daripada porak poranda terkena bencana. Kota yang hancur dan rusak masih bisa diperbaiki untuk bangkit lagi. Tetapi, kota yang bersedih, apakah bisa ia disembuhkan? Samakah caranya dengan menyebuhkan sedihnya hati?

Tapi tidak ada yang tahu penyebab sebenarnya kenapa kota tersebut menjelma sebuah kesedihan.

Lama kelamaan, seiring berjalannya waktu, sebab musabab berubahnya kota itu tak menjadi sesuatu yang mereka hiraukan lagi. Perlahan mereka seolah bisa menerima takdir yang terjadi. Mereka menerima segala bentuk kesedihan yang menimpa di kota itu. Tak ada satu pun dari warga kota yang memiliki niat untuk mengubah takdir yang terjadi. Mungkin juga mereka mengerti bahwa takdir memang tak bisa ditolak.

Meraka pun mulai berkawan dengan kesedihan. Mereka bekerja dan mencari uang dengan cara yang paling sedih. Mereka berjalan, berinteraksi, berolahraga, beribadah, bahkan menggelar hajatan yang semestinya dengan penuh kebahagiaan, dirayakan juga dengan cara yang paling menyedihkan.

Sebuah pesta pernikahan, mereka gelar tanpa kebisingan apapun sebagaimana layaknya. Tanpa pernak-pernik dan hiasan ala pesta perkawinan. Tak ada sepasang pengantin dengan baju bak raja dan ratu atau pangeran dan permaisuri. Maka tak ada doa “semoga bahagia” bagia dua sejoli yang menikah. Yang ada hanyalah harapan semoga kesedihan membuat mereka bersama selamanya.

Aneh dan terasa ganjil, memang, jika melihat hal itu. Akan tetapi begitulah yang terjadi di Kota Kesedihan. Semuanya memang ditakdirkan untuk bersedih. Seolah kebahagiaan dikutuk agar tak tumbuh di tanah kota itu.

Dan kabar mengenai kondisi kota itu sampai di seluruh penjuru negeri. Bermula dari seorang pendatang yang tanpa sengaja mengunjungi kota itu. Dia lalu terkejut melihat kondisi kota yang tampak murung. Mulai dari warung sampai balai kotanya. Semuanya tampak  masygul. Orang itu pun mulai mengabarkan dengan cara membagikan foto yang dia ambil di kota itu. Sembari dengan menyisipkan kata-kata, “Aneh. Tapi inilah yang terjadi. Sebuah kota yang semua sudutnya begitu menyedihkan.”

Foto itu dilihat oleh jutaan orang di seluruh negeri.  Mereka pun jadi penasaran dengan foto tersebut. Apakah foto itu benar-benar nyata? Bukan dari hasil rekayasa oleh tangan-tangan usil tak bertanggungjawab dan hanya ingin cari perhatian? Demi mengobati rasa penasaran itu, mereka berbondong-bondong mendatangi kota tersebut.

Ternyata apa yang mereka lihat di foto benar apa adanya.

“Astaga. Kota ini benar-benar diselimuti oleh kesedihan. Kasihan sekali.”

“Lihat! Langitnya sepanjang hari terlihat mendung.”

“Wajah orang-orangnya pun juga tampak murung.”

“Apalagi balai kotanya, benar-benar seperti jelmaan kesedihan.”

“Segalanya tampak tak bergairah.”

Orang-orang itu tak lupa untuk mengabadikan kesedihan yang terpampang di hadapan mereka. Seolah-olah mereka menjadikannya seperti buah tangan untuk dibawa ke kampung halaman. Makin lama makin banyak yang datang ke kota itu. Banyak yang semakin penasaran dengan Kota Kesedihan.

Melihat fenomena itu, Wali Kota menjadikannya sebagai peluang untuk mempromosikan kota yang dipimpinnya. Dia ingin menjadikan kesedihan sebagai sesuatu yang mampu menarik perhatian para wisatawan.

“Kota kita memang tak punya sumber daya alam yang melimpah. Tapi kita punya jumlah kesedihan. Itu sumber daya yang tak akan pernah habis. Itu potensi kita.” Kata Walikota menjelaskan, dengan nada yang menyedihkan tentunya.

Mulailah kota itu melakukan promosi untuk kesedihan yang mereka miliki. Mereka gencar memasarkan ke berbagai daerah untuk menarik wisatawan datang ke kota mereka. Sebisa mungkin mereka melakukannya dengan cara yang paling kreatif. Misalkan, membuat taman kesedihan, taman yang di dalamnya berisi banyak wahana kesedihan. Membuat tur kesedihan, menggunakan bus mengelilingi Kota Kesedihan. Hingga membuat beragam jenis oleh-oleh yang terbuat dari kesedihan.

Karena kreatifitas itu semakin banyak pengunjung yang datang ke Kota Kesedihan. Hotel-hotel yang semula sepi, yang biasanya hanya ditempat oleh artis kondang ibu kota yang sedang menggelar konser di kota tersebut, kini nyaris tiap akhir pekan selalu dipenuhi para pelancong. Bahkan mulai tumbuh banyak hotel-hotel dan penginapan. Kota itu mulai tumbuh, mulai banyak dikenal oleh semua orang. Saban hari semakin banyak saja orang yang datang ke sana.

Barangkali makin banyak orang yang membutuhkan kesedihan dan mulai bosan dengan kebahagiaan.

Tapi sebuah ketenaran tak bisa bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, para pelancong mulai bosan dengan Kota Kesedihan. Padahal Wali Kota sudah berusaha untuk melakukan proses kreasi terus menerus terhadap kotanya. Namun, hal itu tak berdampak apapun. Data pengunjung per bulan mengalami penurunan. Sampai akhirnya, pengunjung yang datang ke sana semakin sedikit.

Kota Kesedihan mulai ditinggalkan.

Yang tersisa kini hanyalah sisa-sisa ketenaran dulu. Kota itu makin padat dengan banyaknya hotel yang tumbuh. Toko-toko, pasar, penginapan, dan rumah-rumah. Kota itu kini tampak berantakan. Tak beraturan. Juga tampak lusuh. Semakin menyedihkanlah kota itu sekarang.

Usut punya usut, menurunnya tingkat pengunjung ke Kota Kesedihan lantaran adanya sebuah daerah yang tak jauh dari sana yang mampu menarik perhatian banyak orang. Kata mereka, daerah tersebut menawarkan kebahagiaan dan kesedihan secara bersamaan.
***
[Cerpen] Kota Kesedihan (Radar Bojonegoro, 08 Oktober 2017) [Cerpen] Kota Kesedihan (Radar Bojonegoro, 08 Oktober 2017) Reviewed by TIDAKTAMPAN on Oktober 08, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.