Angin mengalun santun,
menerpa wajah dua wanita cantik, Sang Putri dan Sang Permaisuri, yang berdiri
di atas balkon menara. Keduanya tangah menikmati pemandang kompleks istana.
Mereka baru menyadari bahwa istananya sungguhlah megah. Bangunan-bangunannya
tinggi menjulang dengan puncak kuning keemasan, menara-menara tegap yang tegak
di setiap sudut, tembok-tembok pagar nan kokoh mengelilingi kompleks memberikan
rasa aman. Betapa! Betapa beruntungnya mereka tinggal di istana sedemikian
megahnya. Mereka merasa bahwa istananya adalah istana termegah dari yang pernah
ada sebelumnya.
Mengingat semua
tentang istananya, Sang Permaisuri seketika teringat bahwa tak lama lagi,
wanita cantik yang berada di sampingnya, Sang Putri, akan mewarisi tahta istana
itu. Sang Putri akan menjadi Ratu di Negeri Langit. Meski Sang Putri bahagia
dengan kenyataan itu, namun dia tetap merasa perlu mengingatkan anaknya perihal
persyaratan yang mesti dijalaninya.
“Putriku, kau harus
tahu Selendang Putih itu tidak lantas begitu saja kau miliki. Ia harus jatuh di
tangan orang yang tepat. Orang itu hanyalah yang memiliki tabiat dan tutur kata
yang baik. Dia harus disukai oleh seluruh rakyat Negeri Langit.”
Sang Putri tersenyum
pada ibunya, “Ibunda, semoga Putri bisa menjadi orang yang berhak menerima
selendang itu.”
Ibunya membalas
senyuman anak gadisnya itu lalu mendaratkan sebuah ciuman di keningnya.
Sang Permaisuri dalam
hatinya yakin bahwa anaknya layak untuk menerima selendang itu. Sebab dia tahu
bahwa anaknya itu tak pernah berperilaku buruk. Sikap dan bicaranya sungguh
sopan. Sang Permaisuri kerap mendengar rakyatnya yang mengadu perihal kebaikan
yang sering dilakukan anaknya itu. Sang Putri sering berkunjung ke rumah-rumah
penduduk di Negeri Langit. Dia berbaur dengan rakyat miskin. Bermain dengan
anak-anak. Dan, tak lupa memberi sedikit sedekah untuk mereka.
“Oh, Permaisuri.
Alangkah beruntungnya kau memiliki penerus seperti Sang Putri,” ucap seorang
penduduk Negeri Langit pada Sang Permaisuri. “Sungguh dia layak untuk menjadi
Ratu di negeri ini kelak.”
Hari itu tiba. Hari
yang ditunggu-tunggu oleh seluruh penghuni Negeri Langit. Hari di mana
penentuan layak tidaknya Sang Putri menerima Selendang Putih yang menjadi tanda
pengangkatannya sebagai ratu Negeri Langit. Sang Raja, ayah Sang Putri,
memasuki ruangan. Seketika para pejabat Negeri Langit bangkit dari duduknya
menghormati kedatangan junjungannya. Tak terkecuali Sang Permaisuri dan Sang
Putri. Sang Raja pun dengan gagah duduk di atas singgasananya.
“Kepada seluruh yang
hadir di ruangan ini,” ucap Sang Raja tak mau berlama-lama. “ketauhilah bahwa
hari adalah hari yang kita nanti-nantikan bersama. Hari di mana masa depan Negeri
Langit ditentukan.”
Ruangan senyap. Tak
ada satu pun yang berani untuk sekadar berbisik.
“Aku akan segera
mengumumkan apakah layak anakku, Sang Putri, untuk menerima Selendang Putih dan
menjadi Ratu kelak. Apa kau siap, anakku?”
Sang Putri mengangguk
pelan, namun terasa begitu mantab.
Tak berlebihan jika
hari itu menjadi hari penting bagi Negeri Langit. Sang Raja harus menentukan
masa depan negerinya. Jika anaknya layak menjadi Ratu Negeri Langit, tentulah
bukan masalah. Namun justru jika anaknya tidak layak menjadi seorang Ratu, maka
itulah yang akan menimbulkan petaka. Selendang Putih pun tak bisa diturunkan.
Sebab jika berada di tangan yang salah selendang itu bisa menimbulkan bencana.
Sementara Sang Raja tak memiliki keturunan lain selain Sang Putri. Bisa
dibayangkan bila hal itu terjadi. Kepada tangan siapa dia mesti meletakkan masa
depan negerinya?
“Baiklah,” kata Sang
Raja. “Setelah mendengar banyak laporan dari penduduk di Negeri Langit dan
setelah melakukan musyawarah dengan para petinggi, maka kunyatakan Sang Putri…”
Semua yang hadir
terdiam, menunggu keputusan Sang Raja. Mereka ingin Sang Raja lekas
melanjutkan. Mereka semua was-was. Hatinya tidak sabar. Mereka menerka-nerka
keputusan seperti apa yang akan Sang Raja ucapkan. Tak sedikit dari mereka yang
bibirnya bergerak-gerak melantunkan doa-doa.
“…berhak menerima Selendang
Putih dan menjadi calon Ratu di Negeri Langit.”
Seketika ruangan itu
menjadi riuh. Seluruh yang hadir di sana berbahagia. Mereka semua bertepuk
tangan gembira. Terlebih lagi Sang Putri yang wajahnya terlihat merona,
langsung duduk dan bersimpuh di depan orang tuanya, meminta restu keduanya.
“Tapi ingat, anakku,”
kata Sang Raja. “Seperti yang kau tahu bahwa Selendang Putih itu tak boleh
digunakan sembarangan sebab akibatnya akan sangat fatal.”
“Baik, ayahanda. Putri
akan menjaga amanah ayah untuk menggunakan selendang itu dengan
sebaik-baiknya.”
Setelah itu Sang Raja
pun menyerahkan Selendang Putih itu pada Sang Putri. Di tangan anaknya,
selendang itu tampak berkilau indah.
Cerita mengenai
kekuatan Selendang Putih itu memang tak dibuat-buat. Selendang itu adalah salah
satu dari dua senjata sakti milik Negeri Langit. Senjata sakti lainnya adalah Pedang
Pusaka. Kedua senjata itu akan diturunkan-temurunkan kepada penerus Negeri
Langit. Jika dia adalah seorang lelaki, maka dia akan menerima Pedang Pusaka.
Sedang jika dia wanita, maka dia akan menerima Selendang Putih. Selendang itu
punya kekuatan yang luar biasa. Wajarnya benda-benda ajaib lainnya, selendang
itu bisa menyembuhkan orang sakit. Hanya dengan menyelimutkannya pada tubuh orang
yang sakit atau bagian tubuh yang terluka, maka seketika penyakit yang diderita
pun akan sirna. Sebagai senjata, Selendang Putih itu tentulah bisa digunakan
untuk menyerang musuh. Dengan mengibaskannya, maka akan muncul semacam ledakan
dan membuat musuh langsung terpental. Kekuatan lainnya dari selendang itu yakni
bisa digunakan untuk bersembunyi dengan cara tak menampakkan diri. Cukup dengan
menggunakan selendang itu sebagai penutup kepala saja. Namun, kekuatan yang
paling luar biasa dari Selendang Putih itu ialah bisa digunakan sebagai tangga
untuk turun ke Bumi. Akan tetapi, hal tersebut tak boleh dilakukan bila tidak
dalam keadaan yang benar-benar terdesak.
Semenjak memiliki Selendang
Putih itu, Sang Putri sering membantu orang-orang yang kesusahan. Rakyat di negerinya,
dayang-dayang di istananya, semua yang membutuhkan pertolongan sebisa mungkin
dia bantu. Dengan adanya selendang itu segala pekerjaannya juga menjadi lebih
ringan.
Makin lama hidup Sang
Putri pun bergantung pada Selendang Putih. Nyaris segala pekerjaannya dia
lakukan dengan menggunakan selendang itu. Sampai akhirnya dia tak mampu lagi mengendalikan
kekuatannya.
Dia dikalahkan oleh
kekuatan Selendang Putih.
Sang Putri pun tampak
mulai jemawah. Dia mulai sombong lantaran dapat melakukan apa saja dengan
selendang miliknya. Kini dia tidak lagi mau membantu orang yang meminta
pertolongan padanya. Dia selalu menolak setiap kali ada yang meminta
bantuannya.
“Kau pikir aku dukun?”
bentak Sang Putri. “Aku seorang putri mahkota. Anak dari Raja Negeri Langit. Calon
Ratu negeri ini.”
Sang Putri juga mulai
tidak ramah dengan dayang-dayang di istananya. Sedikit melakukan salah Sang
Putri pun langsung marah.
“Apa kau dayang baru
di istana ini? Bodoh sekali! Membawa makanan saja tidak bisa.” marah Sang
Putri. Lalu mengibaskan Selendang Putih miliknya ke arah dayangnya. Terlukalah
dayang itu.
Kini Sang Putri bisa
melakukan apa saja sesuai keinginannya tanpa ada orang yang berani
mengganggunya.
Hal itu akhirnya
diketahui oleh Sang Permaisuri. Mendengar kabar tersebut dia sedikit tidak
percaya. Bagaimana bisa anaknya yang semula punya perangai yang baik berubah
menjadi buruk? Apa yang terjadi dengan Sang Putri, pikir Sang Permaisuri. Sang
Permaisuri pun mencoba berbicara dan menasihati putrinya itu.
“Anakku, apa yang
terjadi padamu? Mengapa sekarang sikapmu begitu buruknya?” ucap Sang
Permaisuri. “Ingat, anakku, jangan sampai kau lupa diri. Jangan hanya lantaran
kau memiliki kekuatan yang hebat lantas kau jadi sombong.”
Akan tetapi nasihat
dari ibunya tak didengarkan oleh Sang Putri. Dia tetap melakukan hal-hal buruk.
Bertindak semena-mena kepada siapa saja bawahannya. Tidak lagi memiliki sopan
santu seperti dulunya. Sang Permaisuri pun mulai khawatir. Dia segera
melaporkan hal tersebut pada Sang Raja, suaminya.
“Apa yang harus kita
lakukan pada anak kita?” tanya Sang Permaisuri.
“Aku tidak tahu,
istriku,” jawab Sang Raja. “Sejujurnya memang sudah tidak ada yang bisa kita
lakukan.”
“Mengapa begitu?”
“Selendang itu sudah
jadi miliknya. Kini kita tidak bisa melakukan apa-apa. Aku sendiri tidak punya
kekuatan untuk melawannya.”
“Tapi saat ini kau
masih pewaris Pedang Pusaka, bukan?”
“Maksudmu aku harus
melawannya dengan pedang itu?” kata Sang Raja. “Istriku, Pedang Pusaka dan
Selendang Putih adalah dua senjata tak terkalahkan di Negeri Langit. Tidak satu
pun di antara keduanya yang punya keunggulan. Keduanya sama-sama kuat. Jika
Pedang Pusaka dan Selendang Putih harus diadu kekuatannya, maka tidak ada satu
pun yang akan menang. Justru yang terjadi adalah kehancuran Negeri Langit.”
Sang Permaisuri diam
tak menjawab. Di benaknya langsung terlintas pikiran tentang kehancuran yang
dimaksud suaminya.
“Saat ini kita hanya
bisa berharap, istriku. Sembari terus-menerus mengingatkan putri kita.”
Namun, yang terjadi
bukanlah perubahan baik yang ditunjukkan oleh Sang Putri. Justru kelakuannya
malah semakin menjadi-jadi. Semakin hari semakin mencemaskan. Ayah dan ibunya
sudah berulang kali mengingatkan namun Sang Putri tetap abai pada nasihat
keduanya. Puncaknya adalah ketika Sang Putri tega membunuh seorang prajurit
kerajaan.
“Putri!” Sang Raja
berang mendengar kabar tersebut. “Perbuatanmu sudah keterlaluan. Teganya kau
sampai membunuh seorang prajurit. Apa salahnya?!”
“Ayah, prajurit itu
tidak menghormatiku? Beberapa kali aku telah memergokinya selalu memandang tak
enak ke arahku.”
“Lantas kau bisa
seenaknya membunuh prajurit itu? Kau pikir negeri kita tidak punya hukum?
Ingat, di sini aku masih seorang raja. Jika sikapmu begitu, kau sama saja juga
tidak menghormatiku.”
“Apa ayah juga akan
membunuhku?” sahut Sang Putri.
Sang Raja terkejut
mendengar anaknya mengucap demikian. Begitu pula Sang Permaisuri yang ternganga
lantaran tidak percaya dengan jawaban anaknya. Sang Raja pun naik pitam.
“Berani sekali kau
berbicara seperti itu padaku!” kata Sang Raja. “Aku ini ayahmu. Aku ini
rajamu.”
“Dan aku calon ratu Negeri
Langit. Tidak ada yang bisa menggugat hal itu.” Tanpa perasaan bersalah Sang
Putri mengucap hal itu dengan senyum sinis di bibirnya.
“Putri!” seru Sang
Permaisuri tidak percaya.
“Kau bukan anakku
lagi, Putri.” Kata Sang Raja. “Kau bukan anak kami lagi.”
Sang Putri merasa
tidak terima dengan perlakukan dari ayahnya. Hatinya seketika dibaluti amarah.
Sang Putri gegas ke luar kamar dan menuju halaman istana. Pikirannya kalut.
Sang Putri berpikir bahwa perkataan ayahnya itu sama halnya dengan mengusir
dirinya. Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk menggunakan kekuatan terbesar
dari Selendang Putih.
Dia akan turun ke
Bumi.
Dibentangkanlah
Selendang Putih oleh Sang Putri. Selendang itu dengan sendirinya memanjang dan
terus memanjang turun menembus awan. Sang Putri pun bersiap untuk turun menuju
Bumi. Meski sebenarnya ragu untuk melakukan hal itu, namun amarah di hatinya
membuat Sang Putri tetap mulai menginjak Selendang Putih. Dengan kekuatan yang
dimilikinya, maka berjalanlah turun Sang Putri dengan sendirinya.
Tak lama kemudian,
sampailah Sang Putri di Bumi. Dia langsung takjub dengan apa yang dilihatnya. Di
sekelilingnya segalanya tampak hijau. Dia melihat pepohonan yang tinggi
menjulang. Seolah-olah pohon itu akan menembus Negeri Langit. Dia mendengar
bunyi dari jangkrik-jangkrik. Kicau burung-burung yang sesekali melintas di
atasnya. Dia melihat semua yang tak pernah dilihatnya di Negeri Langit. Dia
baru tahu jika Bumi seindah itu. Dia mengira Bumi hanyalah tempat biasa yang
tidak memiliki keindahan apa-apa. Kemudian Sang Putri berjalan melintasi hutan.
Sampai akhirnya dia melihat genangan air yang begitu luas. Dia langsung berlari
kegirangan. Dilihatnya dari tengah genangan itu, ada gulungan-gulungan air yang
bergerak ke arahnya. Namun gulungan itu seketika lenyap ketika sampai di
tepian. Lalu dia memandang kakinya sudah menyentuh pasir-pasir yang sedikit
basah. Ah, rupanya Sang Putri telah sampai di tepi pantai. Tiba-tiba Sang Putri
ditakjubkan kembali ketika melihat di kejauhan cahaya yang berwarna menyerupai
kulit pinang.
“Astaga! Indah sekali.
Apakah itu?” seru Sang Putri.
Tanpa diduga, ternyata
ada sepasang mata yang mengawasi Sang Putri dari balik pohon besar. Sepasang
mata itu milik seorang lelaki. Lelaki Pencuri. Dia heran melihat tingkah Sang
Putri. Dia juga bertanya-tanya siapa sebernarnya Sang Putri. Tak pernah dia
lihat sebelumnya. Dia sering melintas di tempat itu, namun tak pernah sekali
pun bertemu dengan Sang Putri. Namun yang paling membuatnya bingung adalah
tangga yang digunakan Sang Putri. Tangga berupa selendang yang berpendar cahaya
terang. Dia melihat tangga itu menjulang ke atas seolah-olah tak memiliki
ujung. Jangan-jangan gadis itu berasal dari Negeri Langit dan tangga itu pasti
menuju ke sana, pikir Si Lelaki Pencuri.
Bagi penduduk Bumi, Negeri
Langit memang dikenal sebagai negeri yang kaya raya. Banyak menyimpan harta.
Emas, berlian dan permata. Negeri Langit adalah negeri yang makmur. Banyak
penduduk Bumi yang ingin datang ke sana, namun tak pernah ada satu pun yang
bisa. Akan tetapi, kini hal itu bukanlah masalah lagi. Si Lelaki Pencuri sudah
tahu bagaimana caranya pergi ke Negeri Langit.
Melihat hari sudah
gelap, Sang Putri pun segera membuat sebuah gubuk kecil di tepian pantai
sebagai tempat peristirahatannya. Dengan menggunakan selendangnya yang dia
kibasakan muncullah sebuah gubuk kecil di hadapannya. Si Lelaki Pencuri yang
belum beranjak pergi akhirnya bisa melihat kembali kekuatan dari Selendang
Putih.
Agar cerita ini tidak
berakhir di sini, Si Lelaki Pencuri mesti mengambil selendang itu. Jika dia
tidak mengambilnya, maka cerita ini akan berakhir biasa aja. Dan, tentu saja
cerita ini tidak boleh berakhir seperti itu. Cerita ini mesti melegenda.
Pelan-pelan Si Lelaki
Pencuri mengendap-endap menuju gubuk tempat Sang Putri beristirahat. Dia mengintip
ke dalam gubuk itu dan melihat Sang Putri sedang terlelap. Sementara di sisinya
tergeletak selendang sakti itu. Ah, barangkali Sang Putri lupa mengenakan
kembali selendang itu. Biasanya selendang itu tak pernah lepas dari dirinya. Atau
dia mengira di tempat itu tak akan ada siapa-siapa. Si Lelaki Pencuri pun masuk
ke dalam gubuk itu dan tanpa ba-bi-bu dia mengambali Selendang Putih.
Pagi harinya Sang
Putri terkejut lantaran mendapati selendang miliknya tidak berada di
sampingnya. Dia kebingungan. Dia mencari ke segala tempat di sekitar gubuknya.
Tiba-tiba saat Sang Putri mencari sambil menyusuri pinggiran pantai, dia
melihat seorang laki-laki sedang memegang selendang berwarna putih. Sang Putri
pun jadi khawatir jangan-jangan selendang itu miliknya. Jangan-jangan laki-laki
itu telah mencurinya, pikir Sang Putri. Ketika makin dekat, Sang Putri pun
yakin selendang itu adalah Selendang Putih miliknya.
“Hei, dari mana kau
bisa mendapatkan selendang itu?” tanya Sang Putri. “Kau pasti mencurinya
dariku, bukan? Cepat kembalikan padaku!”
Lelaki itu, Si Lelaki
Pencuri, hanya tersenyum sinis mendengar ucapan Sang Putri. “Mengembalikannya
padamu?” Lalu dia tertawa seolah-olah Sang Putri telah mengatakan hal bodoh.
“Selendang ini bisa membantuku untuk mendapatkan apa yang selama ini aku
inginkan. Apa yang semua orang inginkan: naik ke Negeri Langit.”
Karena kesal dengan
jawabannya, Sang Putri pun mencoba untuk melawan. Namun sayang Si Lelaki
Pencuri sudah memiliki Selendang Putih di tangannya. Hingga hanya dengan sekali
kibasan, terpentallah Sang Putri dan terjatuh sampai tak sadarkan diri. Si
Lelaki Pencuri pun tertawa puas. Ada rona bahagia di wajahnya sebab dia akan
segera mewujudkan keinginannya.
Si Lelaki Pencuri pun
segera membentangkan Selendang Putih ke angkasa. Seketika selendang itu
langsung memanjang dengan sendirinya dan menembus awan. Si Lelaki Pencuri
langsung menuju ke tempat yang dia idam-idamkan sejak dulu.
Sesampainya di Negeri
Langit, sama halnya dengan Sang Putri saat baru tiba di Bumi, dia juga tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa yang diceritakan oleh orang-orang
ternyata benar. Negeri Langit adalah negeri yang sangat megah. Istana-istana
yang ada di sana begitu tinggi menjulang. Puncak-puncak istana tersebut tampak
berkilau kuning keemasan. Si Lelaki Pencuri pun berpikir bahwa pasti ada tempat
di mana Negeri Langit menyimpan emas-emas dan harta lainnya. Kedatangan Si
Lelaki Pencuri pun diam-diam diketahui oleh rakyat Negeri Langit dan kabar itu akhirnya
sampai di telinga Sang Raja. Bagi mereka kedatangan penduduk Bumi ke tempatnya
adalah pertanda kehancuran. Maka seketika mendengar kabar itu hanya satu yang
ada di pikiran Sang Raja: kehancuran sudah tak bisa dielakkan.
Dengan membawa Pedang
Pusaka, Sang Raja menantang Si Lelaki Pencuri. Seluruh penghuni Negeri Langit
pun was-was. Sebab itu adalah kali pertama dua senjata sakti milik Negeri
Langit bertemu. Mereka tak tahu kehancuran seperti apa yang bakal timbul. Wajah
mereka semua seketika dibalut kekhawatiran.
“Jika kau ingin menguasai
tempat kami, lawanlah diriku terlebih dahulu. Jika kau bisa mengalahkanku, maka
kau bisa mengambil seluruh kekayaan milik kerajaan kami.” Kata Sang Raja
menantang Si Lelaki Pencuri.
“Baiklah kalau begitu
permintaanmu. Jangan salahkan aku jika nanti kau terbunuh.”
Begitu selesai dengan
ucapannya itu, Si Lelaki Pencuri langsung menyerang Sang Raja. Namun dengan
sigap Sang Raja berhasil menangkis serangan itu. Mereka berdua pun bertarung.
Keduanya sama-sama kuat sebab di tangan masing-masing ada senjata-senjata yang
sama kuatnya. Tak bisa dikalahkan. Tak bisa mengalahkan. Sampai akhirnya,
lantaran tak ada satu pun yang bisa kalah, keduanya mengeluarkan seluruh
kekuatan dari senjata yang ada di tangannya.
Cahaya berkilauan
muncul dari kedua senjata. Ketika keduanya bertemu, terdengarlah ledakan yang
begitu dahsyat. Menggetarkan seluruh yang ada di sekitarnya. Istana,
rumah-rumah bahkan orang-orangnya pun terkena ledakan itu. Begitu juga dengan
kedua senjata pusaka. Sama-sama meledak. Si Lelaki Pencuri pun terhempas
kembali ke Bumi. Selendang Putih yang terbakar itu juga turut terhempas.
Perlahan-lahan api melalapnya hingga nyaris tak ada lagi yang tersisa. Abu-abunya
pun jatuh berguguran di atas pasir-pasir pantai di mana Sang Putri masih
tinggal. Sulit dipercaya ketika pasir-pasir di tepian pantai itu yang semula
hitam, tiba-tiba berubah menjadi pasir-pasir putih yang bersih. Sang Putri yang
sudah tersadar kembali pun tak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Kini
pasir-pasir yang dipijaknya telah berubah. Bahkan ketika diterpa oleh cahaya
matahari, pasir-pasir putih itu tampak berkilau bagai butiran intan.
Akan tetapi, Sang
Putri menyadari bahwa kini Selendang Putih miliknya telah sirna. Dia juga
menyadari bahwa akibat hal itu dirinya tak akan pernah bisa kembali ke Negeri
Langit. Kembali pada orang tuanya.
Si Lelaki Pencuri tak
pernah diketahui lagi bagaimana nasibnya. Mungkin saja dia terhempas ke lautan
lalu dimakan oleh ikan-ikan. Atau mungkin juga tubuhnya terbakar karena
ledakan. Juga dengan kondisi Negeri Langit. Tidak ada yang tahu apakah seluruh
penduduknya mati, atau justru bergotong royong membangun negerinya kembali.
Begitu pula dengan Sang Putri, tidak pernah ada cerita darinya lagi. Semua
ceritanya menjadi misteri. Namun satu hal, di dekat pantai dengan pasir-pasir
yang putih itu, tiba-tiba saja muncul sebuah gunung yang membentuk wajah. Wajah
yang tengah menengadah. Wajah yang bila dilihat-lihat mirip wajah seorang
wanita.
Ah, mungkinkah itu
wajah dari Sang Putri yang sudah lama merindukan tempat asalnya? Entahlah.
Tetapi tempat itu kini dikenal dengan Pantai Pasir Putih dengan berlatar Gunung
Putri.
***
*gambar dipinjam dari bamssatria22.wordpress.com
[Cerpen] Selendang Putih Sang Putri
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
November 05, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: