Saya baru bisa membaca buku ini sampai tuntas
beberapa hari yang lalu. Karena kesibukan yang harus saya jalani, terpaksa buku
yang sebenarnya sudah agak lama saya beli ini, ditaruh di rak buku selama
beberapa waktu.
Sebelumnya, saya hanya membaca buku Mahfud
Ikhwan yang berjudul Belajar Mencintai Kambing. Untuk buku lainnya seperti
Kambing dan Hujan – yang membuat namanya melejit – saya belum pernah
membacanya. Buku Belajar Mencintai Kambing adalah kumpulan cerpen sehingga saya merasa tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan buku Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu. Tapi ada satu persamaan dari keduanya yang saya temui yaitu banyak mengangkat
kehidupan di desa.
Jika membaca judul dari buku ini, Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu, maka sebenarnya secara tak langsung penulis telah
memberikan isyarat bahwa kita akan dihadapkan dengan kisah-kisah yang
menyedihkan.
Dawuk, bercerita tentang seorang lelaki buruk
rupa yang bernama Mat Dawuk yang tinggal di sebuah desa bermana Rumbuk Randu.
Sejak kecil, hidup Mat Dawuk sudah serba penuh ironi. Ditinggal mati ibunya,
dibenci oleh ayahnya – yang pada akhirnya juga meninggalkannya – dan ditinggal
mati juga oleh kakeknya. Hal itu membuat Mat Dawuk tumbuh menjadi sosok yang
kesepian, tak memiliki siapapun. Ia seolah dikucilkan oleh lingkungannya –
ditambah juga karena wajahnya yang jelek.
Kisah baru dimulai ketika Mat Dawuk bekerja di
Malaysia dan bertemu dengan wanita cantik namun bengal bernama Inayatun. Wanita
ini kemudian menjadi istri Mat Dawuk. Keduanya kembali ke kampung halaman
setelah menikah. Tetapi, hubungan mereka tak direstui oleh orang tua Inayatun.
Tentu saja, siapa pula yang ingin punya menantu buruk rupa macam Mat Dawuk? Namun, keduanya sudah saling mencintai dan memilih tetap hidup bersama meskipun
ditentang oleh banyak orang. Bersatunya Mat Dawuk dan Inayatunlah cerita
benar-benar dimulai. Dari sana, banyak diungkap tentang perseteruan aparat dan
warga desa, dendam yang turun temurun, hingga banyak hal tentang kehidupan
warga desa Rumbuk Randu.
Yang menarik dari buku ini adalah, terdapat dua
narator di dalamnya. Pertama, Warto Kemplung. Jadi, cerita tentang Mat Dawuk
sendiri adalah cerita yang disampaikan oleh seorang lelaki bernama Warto
Kemplung. Lelaki itu sebenarnya dikenal sebagai pembual oleh penduduk Rumbuk
Randu. Aneh juga ketika cerita ini dihembuskan oleh seorang lelaki pembual.
Tetapi, semua orang yang mendengar seolah mempercayai cerita tersebut. Apakah
karena Warto menceritakannya begitu detil? Dan apakah ia berada di tempat
kejadian ketika hal itu terjadi? Padahal dia mengaku mendengar kisah itu? Lalu,
siapakah dia sebenarnya?
Narator kedua adalah Mustofa Abdul Wahab –
salah satu pendengar yang percaya pada cerita Warto Kemplung. Pada bagian akhir
buku, penceritaan diambil alih oleh narator ini ketika Warto Kemplung tiba-tiba
menghilang. Mustofa Abdul Wahab berusaha mencari keberadaan Warto tetapi tidak
dapat menemukannya.
Dawuk banyak menceritakan tentang kehidupan
warga desa. Jika selama ini desa identik dengan kehidupan yang tenang,
barangkali tidak sepenuhnya benar. Karena dengan membaca buku ini sebetulnya
kehidupan di desa tidak demikian. Di desa, kita banyak menemukan banyak orang
yang percaya pada hal-hal klenik, pembunuhan yang terencana, perselisihan
dengan aparat – dalam cerita ini Perhutani, bahkan sampai dengan hubungan gelap
dengan istri ataupun suami orang.
Mahfud sepertinya memang lebih menyukai cerita
yang menyajikan tema kehidupan pedesaan. Itu terbukti dari beberapa bukunya. Ia
juga sukses menggambarkan kehidupan tersebut. Desa yang banyak ditinggalkan
warganya pergi merantau ke Malaysia sampai warganya yang gemar mendengarkan
lagu dangdut dan India – tergambar dalam buku ini lewat Mat Dawuk yang gemar
mendengarkannya.
Ada satu yang menarik di akir buku yaitu ketika
Mahfud Ikhwan mengajukan pertanyaan, “Siapa yang mati? Siapa yang hilang? Siapa
membunuh siapa?” dan seolah pertanyaan itu diberikan kepada para pembaca.
Jadi, sampai di sini, rasanya tidak salah jika
buku ini menjadi pemenang dalam Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, karena memang
bagus. Dulu saya menjagokan Telembuk-nya Kedung Darma Romansha yang akan jadi
pemenang. Tapi, saat itu saya belum membaca buku ini. Andai saja saya dulu
sudah membaca, saya pasti akan menjagokannya.
Terakhir, dari ulasan saya di atas, apakah kalian tidak
tertarik untuk membacanya? Jika tidak, ada yang salah dengan diri kalian.
***
[Buku] Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu: Menyajikan Cerita Indah Lewat Bualan
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Maret 28, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: