Buku ini bercerita tentang tokoh aku yang
mencoba untuk sembuh dari patah hatinya di tengah badai kenangan yang terus
menerus menerpanya. Ia, tokoh aku, berusaha sebisa mungkin untuk sembuh namun
nyatanya selalu gagal karena kenangan selalu menghantuinya setiap waktu.
Bermula dari pertemuan tokoh aku dengan mantan
kekasihnya – yang telah meninggalkannya dan membuatnya patah hati – di sebuah
acara ulang tahun temannya. Sejak itu tokoh aku mengetahui bahwa mantan kekasihnya
tersebut telah menikah dan hidup bahagia. Setelah pertemuan itu semuanya baik-baik saja. Tokoh
aku kembali ke dunianya. Menjalani kehidupan normalnya. Ia bekerja dan bertemu
dengan teman-temannya. Bahkan tokoh aku sempat untuk menjalin hubungan dengan
seorang wanita, namun tidak pernah berlanjut. Saya tidak mengatakannya gagal,
karena saya merasa justru si tokoh akulah yang tidak punya keinginan untuk
melanjutkan sebuah hubungan.
Awalnya saya sedikit bingung dengan bagian awal
novel ini. Puthut seolah ingin membuka sedikit konflik utama di bagian awal.
Namun, di bagian-bagian berikutnya ia berusaha menundanya. Ia hanya membuka sedikit
demi sedikit tentang konflik utama novel ini. Bahkan saya sempat bertanya-tanya
bagaimana si tokoh aku ditinggalkan oleh mantan kekasihnya itu. Namun, semuanya
terjawab ketika sampai di bab sembilan. Mantan kekasih si tokoh aku, yang di
bab awal bertemu dengannya di sebuah acara ulang tahun, menelponnya dan
mengatakan sesuatu: ia masih mencintai si tokoh aku. Sebuah ungkapan yang
terlambat. Bayangkan saja jika kamu mencintai seseorang dan orang itu juga
mengatakan bahwa ia juga mencintaimu namun kalian tidak mungkin bersama lagi?
Apa yang kira-kira akan kalian rasakan? Saya ingat betul dialog antara kedua
tokoh di bab sembilan ini. Sebuah dialog yang begitu kuat, hidup, dan membuat
pembaca seperti tersayat.
Lalu diceritakanlah bagaimana awal tokoh aku bertemu dengan mantan kekasihnya itu hingga akhirnya mereka berpisah. Selepas ungkapan itu, si tokoh aku terkapar dalam kubangan kesedihan. Ia tidak bisa lagi menjalin hidup dengan normal. Ia tak
bisa tidur selama berhari-hari. Sampai akhirnya, ia memilih menepi menjauh dari
kota yang ditinggalkannya. Ia bertemu dengan seseorang yang bernama Tante
Wijang. Darinya, si tokoh aku mendapat banyak nasihat dan bagaimana cara untuk
menghadapi semuanya. Perlahan, si tokoh aku, berusaha untuk sembuh. Untuk
mengikhlaskan semuanya.
Novel ini tidak semata-mata berbicara tentang
kesedihan. Novel ini juga menyajikan humor-humor yang segar. Bahkan di akhir
cerita ada satu kisah lucu ketika si tokoh aku bertemu dengan seorang wanita di
sebuah kedai kopi. Ada yang mungkin mengira bahwa di bagian inilah yang dimaksud
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Tapi, menurut saya, inti dari Cinta Tak Pernah
Tepat waktu berada di bagian saat si tokoh aku menerima ungkapan bahwa mantan
kekasihnya masih mencintainya. Di novel ini juga kita bisa menemukan
dialog-dialog yang segar dan hidup antar tokohnya. Puthut benar-benar hebat meramu dialog yang demikian. Puthut juga banyak
menyinggung tentang komunitas – yang memunculkan istilah ‘detektif partikelir’
– yang kemungkinan besar adalah tentang kehidupan pribadinya. Saya pun jadi bepikir
bahwa cerita si tokoh adalah cerita Puthut EA sendiri.
Sebagai seorang yang lebih dikenal sebagai penulis cerpen (karena saya lebih sering membaca cerpennya), Puthut EA berhasil membuat satu novel bagus. Puthut sangat pandai untuk membuat cerita
bagaimana seseorang seharusnya menghadapi kesedihannya. Jika novel ini ditulis
oleh orang lain, barangkali si tokoh aku akan digambarkan seperti sosok yang
melankolis sekali. Sosok yang tidak berani menjalani hidup setelah patah hati.
Barangkali juga sepanjang cerita hanya ada cerita sedih, sedih, dan sedih.
Sudah pasti akan sangat membosankan. Puthut juga terkadang mengubah
sudut pandang cerita menjadi orang kedua (kamu). Puthut seolah ingin membawa
pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh si tokoh aku. Menurut saya, usaha itu
berhasil membuat pembaca makin tahu bagaimana yang dirasakan oleh si tokoh aku.
Selesai membaca buku ini, saya jadi teringat
seorang – atau dua – teman yang memiliki kisah yang tak jauh berbeda: ditinggal
sendirian oleh mantan kekasihnya. Mantan kekasihnya juga sudah menikah.
Apakah
kalian tahu siapakah teman saya itu?
***
[Buku] Cinta Tak Pernah Tepat Waktu: Sebuah Cara Menghadapi Kenangan
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
April 16, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: