[Cerpen] Senja di Matamu (Analisa Medan, 1 April 2018)


Wajah Ana mulai berubah, menunjukkan dia kesal. Ajakannya untuk pergi ke pantai menyaksikan senja aku tolak. Bukan karena aku malas menemaninya, tapi aku baru saja pulang sekolah. Segala macam tetek bengek persiapan pensi SMA membuatku harus pulang sesore ini. Aku ingin cepat-cepat merebahkan diri di kamar. Bayangan empuknya tempat tidur sudah menghantuiku sejak di sekolah tadi.

“Besok aja ya kita ke sana,” bujukku pada Ana. “Sekarang aku capek banget.”

Sejujurnya, aku tidak tahu alasan Ana begitu suka menyaksikan senja. Aku tidak pernah bertanya tentang itu padanya. Ada alasan yang membuatku tidak menanyakannya. Tepatnya, tidak berani menanyakannya. Aku tidak ingin memberitahu alasan itu sekarang. Tapi, menurutku hal itu bisa dibilang membosankan. Bayangkan saja, di mana letak serunya saat kita cuma duduk di pinggir pantai, memandangi langit yang berwarna seperti kulit jeruk Mandarin itu? Kalau tidak karena Ana, aku pasti akan menganggap itu membuang-buang waktu. Aku tidak akan menjadi orang yang selalu berada di sampingnya saat menunggu senja. Juga tidak akan menjadi orang yang mengatakan padanya bahwa senja sudah datang. Dan, memandangi dirinya yang bahagia ketika menatap senja di kaki langit.

“Kata temanku senja di sini indah. Bener nggak, Yo?” tanya Ana ketika pertama kali dia memintaku mengantarnya ke pantai. Aku menghadap ke arah Ana yang saat itu duduk di sampingku. Tiba-tiba aku langsung tertegun. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat di mata Ana. “Iya.” Hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku. Mataku tidak bisa lepas dari kedua matanya.

Kulihat Ana masih diam. Tangannya dia lipat di depan dada. Bibirnya tetap tidak tersenyum. Sebelumnya Ana tidak pernah terlihat seperti ini. Ana bukan orang yang mudah marah ataupun kesal.

“Gak apa-apa kan kalo kita pergi besok aja?” tanyaku memastikan.

“Kalau kamu nggak mau nganterin aku,” sahut Ana. Dia beranjak dari tempat duduknya, merapikan tas di bahunya. “Biar aku berangkat sendiri aja.”

Refleks, aku meraih tangan Ana saat dia hendak melangkah. Tidak mungkin aku membiarkannya berangkat sendiri. “Oke. Aku anterin kamu.”
***
Suatu siang yang terik, saat itu, aku pertama kali melihat Ana. Aku duduk di taman kota menunggu temanku. Kami berencana pergi ke toko buku. Karena cuaca begitu panas siang itu, maka aku memilih menunggu di taman kota. Itu salah satu tempat favoritku. Ada banyak pohon-pohon berdaun rindang tumbuh. Serta kebersihannya membuat siapapun betah berdiam diri di sana. Apalagi pada saat matahari sedang murka pada orang-orang di bumi seperti siang itu.

Aku melihat Ana duduk di bangku tepat di bawah pohon jambu. Rambut hitam panjangnya jatuh terurai. Di pangkuannya ada tas berwarna cokelat. Ana menunduk, memandangi rumput-rumput, mungkin.

Kulihat jam tanganku. Seharusnya, temanku sudah datang, pikirku.

Sebisa mungkin aku mencoba untuk tidak kembali melihat Ana. Tapi semakin aku mengatakan tidak, aku makin tidak bisa untuk tidak menoleh ke arahnya. Lagi-lagi kulihat Ana masih belum merubah posisi duduknya. Kepalanya juga masih terus menunduk. Aku berharap dia menoleh dan melihatku.

“Hai,” sapaku. “Lagi nunggu seseorang?” Aku memberanikan diri beranjak dari kursi dan mendekatinya. Aku juga tidak mengerti kenapa aku melakukan itu.

Ana tidak menjawab. Kepalanya seperti ingin menengadah tetapi urung dia lakukan. “Tenang,” kataku lagi. “Aku nggak akan ganggu kamu. Aku lagi nunggu temen, lalu lihat kamu di sini. Kamu juga nunggu seseorang? Kalau iya, kita bisa menunggu bersama-sama.”

Dia menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Ana menengadah tapi tak menghadap ke arahku. Matanya jernih sekali. Kurasa, itu mata terindah yang pernah aku lihat. “Ya, kita bisa menunggu bersama-sama.” jawab Ana, tersenyum.

Tangan Ana meraih sesuatu di sampingnya. Saat melihat benda itu, lidahku terasa kelu. Ana meraih sebuah tongkat lipat. Aku menjadi tidak bisa berkata apa-apa saat melihatnya.

Ternyata pertemuanku dengan Ana di siang itu bukan pertemuan yang terakhir. Ana sering datang ke taman kota, menunggu jemputan sepulang dari pertemuan komunitas penyandang tunanetra. Dan, pertemuan-pertemuan kami selanjutnya membuatku merasa terbiasa dengan Ana. Tidak bisa aku bohongi kalau dekat dengannya, aku merasa nyaman. Seperti apa? Yah, seperti tidak ada beban yang aku rasakan. Semua terasa mengalir ringan. Mungkin seperti air yang laun mengikuti arus untuk sampai di tujuannya.

Satu hal yang paling aku suka dari Ana, dia tidak gemar bercerita tentang dirinya, apapun itu. Entah kebahagiaan atau kesedihannya. Bagaimana pun suasana hatinya, dia tetap terlihat bahagia. Jujur, aku tidak terlalu senang dengan orang yang gemar – atau mudah sekali – menceritakan dirinya sendiri. Terlebih mengeluh soal masalahnya, seolah-olah dia menjadi orang yang punya masalah paling berat di dunia. Apalagi, dibumbuhi dengan drama. Padahal masalahnya hanya sekadar putus cinta. Bagaimana kalau yang terjadi pada Ana dialami oleh mereka? For God sake, aku tidak yakin mereka punya umur panjang.

“Ana…apa yang membuat kamu bisa seperti ini?” tanyaku. Kami berdua duduk di teras rumahku. Ana memang sering datang ke rumah saat hari libur.

“Seperti apa?” tanyanya sambil menyendok nasi goreng di pangkuannya.

Always smile, always happy.”

Ana tertawa mendengar jawabanku. Aku heran. “Kenapa ketawa?”

Dia mengangkat sendoknya hendak menyuapiku, kuraih tangannya dan kuarahkan ke mulutku. “Hidup ini udah terlalu banyak kesedihan, Gio. Buat apa menambah kesedihan baru?” sahut Ana kembali menyendok nasi.

Dalam hati aku sependapat dengan ucapan Ana. Perbandingan antara kebahagiaan dan kesedihan, seperti daratan dan perairan yang ada di bumi kita. Tidak sedikit kesedihan yang harus kita lewati sebelum bisa bertemu kebahagiaan yang cuma sebentar itu, bukan? Mungkin, kesedihan akan berlangsung selama-lamanya. Happiness? Such breaking during school hours, maybe.

Lalu, Ana melanjutkan, “Satu-satunya cara untuk melupakan semua kesedihan adalah membuat diri kita bahagia.” Dia kembali menyuapiku.

Lalu, sambil mengunyah nasi, aku bertanya padanya cara ‘membuat diri kita bahagia’ seperti yang dia bilang.

“Habiskan dulu, Gio, nasinya.” kata Ana sambil tergelak. Mungkin, dia tidak mengerti dengan pengucapanku.

“Ca-ra-nya?” kataku memperjelas. Ana kembali tergelak dan kembali ingin menyuapiku. “Udah.” ucapku.
Dia meletakkan piring di sampingnya. Tangannya menggapai-gapai gelas yang ada di meja, aku membantunya. “Nih, minum dulu,” katanya menyodorkan gelas padaku. “Dulu aku pikir kalau sifat Tuhan yang Maha Adil cuma mitos. Ternyata aku salah, Yo. Aku sadar kalau saat itu aku belum benar-benar mengerti apa itu rasa syukur.”

Lalu dia melanjutkan, “Tuhan itu sayang sama aku, Yo. Sama kita, sama semuanya. Kita aja yang selalu merasa kurang dengan nikmat yang udah Tuhan berikan. Dia pasti menyelipkan kelebihan di balik kekurangan kok. Yang paling utama rasa syukur kita, Yo. Kalau kita udah bersyukur, nggak ada alasan lagi untuk bersedih.”

Hatiku berdesir halus mendengar ucapan Ana. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan perasaanku. Aku mengira bahwa perasaan itu hanyalah perasaan biasa karena selama ini kami sering bertemu. Sampai pada suatu siang aku kembali menemui Ana di taman kota, dan dia tidak ada di tempat biasanya. Aku pun duduk di bangku, menunggunya. Mungkin Ana terlambat, pikirku.

“Ana kecelakaan, Mas.” Sopir yang biasa menjemput Ana datang menemuiku.

“Di mana? Kapan? Sekarang Ana di mana?” tanyaku, khawatir. Sopir Ana menjelaskan secara runtut bagaimana kejadiannya. Kekhawatiranku memuncak. Saat aku meminta untuk ikut dengannya, awalnya, sopir Ana menolak. Tapi aku memaksa dan akhirnya dia luluh.

“Gimana bisa kejadian seperti ini?” tanyaku pada Ana yang berbaring di atas tempat tidur. Ada perban di dahi, lengan, dan lutunya.

“Udah. Nggak usah dibahas lagi,” jawab Ana tenang.

“Lain kali hati-hati,” kataku. Ana mengangguk sambil tersenyum manis.

“Aku menyuruh sopirku menemui kamu,” kata Ana sambil mencoba untuk duduk. Aku membantunya bangun. “Aku tahu kamu pasti nunggu. Aku nggak ngijinin sopirku buat bawa kamu ke sini, tapi kenapa...”

“Aku yang minta,” jawabku. “Kamu nyuruh dia ngasih tahu aku, tapi kamu nggak ngijinin aku ke sini. Kamu mau buat aku khawatir?”

“Nggak gitu, Gio,” sahut Ana. “Aku Cuma...“

“Na, aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Aku…,” kataku ragu. “aku pengin kamu selalu ada di samping aku.”

Mata Ana terlihat berkaca-kaca. “Aku juga, Gio.” Bibirnya membentuk senyuman. Tangannya mencoba menyentuhku, lalu aku meraihnya.

Melihatnya tersenyum membuat hatiku yang sejak tadi gelisah, berangsur tenang. Aku mengerti. Kekhawatiran itu bukan rasa khawatir biasa. Aku tahu, sejak saat itu aku tidak ingin kehilangan Ana. Aku ingin terus bersamanya.
***

Kami tiba di pantai terdekat dengan rumah. Aku langsung mengandeng tangan Ana begitu kami turun dari motor. Kami berjalan menuju tepi pantai. Suasana mulai terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih bertahan. Kami berdua memilih duduk di atas pasir pantai yang bersih.

“Gio,”

“Hmmm.”

“Apa senjanya udah datang?” tanya Ana.

Aku menoleh ke arah kaki langit. “Belum. Sebentar lagi.”

Di saat-saat seperti ini perasaanku kadang menjadi tidak keruan. Entah aku harus bahagia bila melihat Ana memandang senja. Atau, aku harus sedih karena sebenarnya Ana tidak bisa melihat senja itu. Hal inilah yang menjadi alasanku kenapa aku tidak berani bertanya tentang kegemarannya menyaksikan senja.

“Gio,” panggil Ana lagi.

“Hmmm.”

“Ah, Gio. Kok jawabanmu gitu terus, sih? Kamu malas yang nganterin aku ke sini?”

“Eh,” jawabku kebingungan. Mungkin sahutanku membuatnya berpikir seperti itu. “Nggak kok, Na. Aku nggak malas.”

“Sekarang aku yang malas.” kata Ana merajuk.

“Iya, iya, maaf. Ada apa, Sayang?” Kubelai rambutnya, lalu kurangkul Ana dan kubawa ke dalam pelukanku. Satu kecupan aku daratkan di bagian teratas kepalanya.

Ana paling suka menempel di dadaku. Katanya, dia bisa mendengar debar yang ada di sana. Dan, dia tahu debar dada itu tidak – akan – pernah terbagi.

“Kamu nggak bohong, kan, Gio?” tanya Ana.

“Bohong? Soal apa?”
“Senja di sini benar-benar indah, kan – seperti katamu dan temanku?”

Aku diam sejenak. Ana masih berada di pelukanku. “Ana,” ucapku pelan. “Sebenernya, senja di sini nggak indah…” Ana tersentak mendengarnya. Dia melepaskan diri dari pelukanku.

“Gio…,”

“Bener, Na,” kataku lagi.

“Kamu…”

“Na…,”

“Terus kenapa dulu kamu bilang kalau senja di sini indah?” Matanya mulai berkaca-kaca.

Aku memposisikan Ana menghadap ke arahku. Aku meraih kedua tangannya. “Karena aku melihat senja itu dari matamu.” jawabku. Ana terdiam.
“Kamu tahu, Na?” lanjutku. “Setiap senja datang, aku nggak pernah memandang ke kaki langit itu. Aku selalu memandang kedua matamu. Matamu membuat senja terlihat lebih indah.”

“Aku melihat ketulusan hati di sana,” lanjutku lagi. “Mungkin, itu yang membuat senja jauh lebih indah.”

Ana masih terdiam. Rasa terharu nampak jelas di wajahnya. “Aku sayang kamu, Na.” kataku. Air mata mulai mengalir di pipi Ana. “I don’t care how you doing. You’ve made me see the real sincerity that I had never seen before.”

Lalu detik berikutnya tubuh Ana kembali berada di pelukanku. Tangisnya pun pecah di dadaku. Aku tak bisa lagi menahan air mataku sendiri, yang sejak tadi ingin menyeruak.

“Senjanya udah datang, Sayang.” Ana melepaskan diri dari pelukan.

Kuhapus air mata yang mengalir di wajahnya. Kuselipkan rambutnya ke belakang telinganya. Ana memposisikan dirinya menghadap ke lautan. Matanya yang sembab, kini terlihat berbinar-binar. Seperti biasa, memancarkan kebahagiaan. Aku, juga seperti biasanya. Duduk di samping Ana dan mengahadap ke arahnya. Kupandangi senja yang ada di kedua matanya. Karena senja di sana, buatku, lebih indah dari senja di kaki langit.
***
[Cerpen] Senja di Matamu (Analisa Medan, 1 April 2018) [Cerpen] Senja di Matamu (Analisa Medan, 1 April 2018) Reviewed by TIDAKTAMPAN on Mei 20, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.