Sebelum
saya selesai membaca buku kumpulan cerpen dari Sungging Raga ini, seorang teman
memberitahu bagaimana isi dari buku ini karena dirinya sudah terlebih dahulu
menyelesaikannya. Teman saya itu berkata bahwa isi dari buku ini sebagian besar
sudah pernah ia baca. Entah Sungging Raga, si penulis, mempostingnya di blog atau sudah pernah
terbit di media. Menurut teman saya, “Kata pengantar di buku ini malah jauh
lebih bagus dari isinya.”
Meskipun
sudah mendengarkan pendapat dari teman saya itu, saya tetap memilih untuk
melanjutkan. Bagi saya, buku yang belum saya baca sendiri adalah sebuah
misteri. Halaman demi halaman saya lahap hingga akhirnya tuntas juga.
Untuk
kali ini, saya harus membenarkan ucapan teman saya yang jomlo itu. Memang, beberapa tulisan yang saya temui sudah pernah dibagikan oleh penulisnya.
Atau sudah banyak beredar di koran, blog, dan sebagainya. Mungkin hanya ada
beberapa yang masih baru pertama kali saya baca. Artinya saya tidak menemukan
sesuatu yang baru dari cerpen-cerpen di sini. Meskipun ada beberapa cerpen baru,
ia tetap hadir dengan gaya yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Saya membayangkan
bahwa si penulis akan hadir dengan cerpen-cerpen eksperimental dalam buku ini.
Salah
satu hal yang saya temukan, Sungging Raga banyak menghadirkan
cerita yang berhubungan dengan kereta api. Barangkali itu yang menjadi alasan
desain sampul buku ini adalah gambar rel kereta api yang melingkar seolah-olah
tidak ada ujungnya. Kita semua tahu bahwa Sungging Raga sangat terobsesi dengan kereta api.
Dari
sekian cerpen, bahkan cerpen yang menjadi judul dari kumcer ini sendiri,
tidaklah terlalu memikat perhatian saya. Saya justru tertarik dengan cerpen
terakhir (entah itu cerpen atau bukan) yang berjudul “Catatan Kecil Tentang
Fiksi: Kunjungan Nalea”. Entah kenapa, saya melihat bahwa cerpen itu sebagai
sebuah refleksi kepenulisan dari Sungging Raga, si penulis. Di cerpen tersebut
penulis seolah-olah ‘curhat’ tentang kegelisahannya selama ini lantaran seperti
kehilangan motivasi dalam menulis. Ia menyinggung semakin lama umur
kepenulisannya semakin banyak beban yang ditanggung; beban kualitas, teknis dan
sebagainya. Ia lupa tujuan atau motivasi awal kenapa ia harus menulis.
Hebatnya,
si penulis menghadirkan semua tokoh-tokoh imajinasinya ke dalam cerpen
tersebut. Kemudian, tokoh-tokoh imajinasi itulah yang membuka pikiran si
penulis. Si penulis berdiskusi dengan tokoh-tokoh imajinasi yang telah lahir
dari pikirannya sendiri.
Kemudian
saya mengaitkan isi dari buku ini dengan cerpen terakhir itu. Barangkali Sungging
Raga sengaja tak menghadirkan banyak cerpen baru karena ia sampai di titik
di mana ia kehilangan motivasi untuk menulis lagi. Atau setidaknya untuk
kembali produktif.
Tapi
saya sedikit ragu dengan alasan itu. Masa cerpenis seperti Sungging Raga
mengalami hal yang demikian? Barangkali saja ia tak menuliskan banyak cerpen
baru di buku ini karena ingin menegaskan bahwa menulis harus sesuai dengan
motivasi awal. Menulis tidak selalu harus dibebani dengan banyak hal. Menulis tidak
harus selalu menghasilkan tulisan bagus. Seperti motivasi awal si penulis, ia
menulis karena cinta bercerita, makanya ia menulis. Jadi seolah-olah di buku
ini, ia tak banyak hadir dengan cerpen-cerpen barunya. Padahal saya yakin
gampang sekali baginya untuk menghasilkan cerita yang bagus. Bahkan jauh lebih
bagus dari cerpen “Serayu, Sepanjang Angin Akan Berhembus” yang menjadi cerpen
favorit saya darinya.
***
[Buku] Apeirophobia: Refleksi Kepenulisan Sang Penulis?
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Juni 10, 2018
Rating:
Jembatan serayu lagi ada proyek,dibikin ganda
BalasHapus