Seandainya aku menuruti
nasihat Ibu, barangkali aku tak akan pernah bertemu dengan ular raksasa itu.
Ibu seringkali
menasihatiku untuk tidak pergi sungai. Sungai yang dimaksud Ibu adalah sungai
besar yang mengalir di belakang rumahku. Jika aku ketahuan melanggar perintah
Ibu itu, maka aku akan dimarahi habis-habisan olehnya. Lalu Ibu akan
menghukumku tak boleh keluar rumah sepulang sekolah. Atau, aku tak akan mendapat jatah uang
jajan selama beberapa hari.
Sungguh aneh melihat
sikap Ibu tersebut. Apa salahnya jika bermain di sungai? Bukankah banyak orang
yang pergi ke sungai? Namun, setiap kali aku bertanya perihal alasan kenapa
melarangku pergi ke sungai, Ibu tak pernah memberitahuku.
“Sudahlah. Jangan
banyak tanya. Ikuti saja nasihat ibu.”
Jawaban itulah yang
sering kudengar setiap kali aku bertanya. Jadi, kupikir itu hanya cara Ibu agar
aku tak pergi ke sungai belakang rumahku. Aku pun secara diam-diam tetap pergi
ke sungai. Sebab aku sendiri senang bermain di sungai. Apalagi jika bersama
dengan teman-teman sebayaku.
Tapi, setiap kali aku
pergi ke sungai di belakang rumah, anehnya, Ibu selalu mengetahuinya. Entah
dari mana Ibu tahu. Begitu sampai rumah, Ibu pasti langsung murka padaku.
“Berapa
kali sudah Ibu bilang, jangan pergi ke sungai!”
“Aku ingin bermain bersama teman-teman, bu.” jawabku setiap kali Ibu marah.
“Sungai
itu tempat jahat. Sungai itu kotor. Semua hal-hal buruk ada di sana.”
Hal buruk dan jahat
seperti apa? Ada banyak orang mandi dan mencuci di sungai belakang rumahku.
Sungai itu sudah membantu pekerjaan banyak orang yang hidup di bantarannya. Sawah-sawah
juga mendapat air dari sungai. Aku juga ingat kata-kata guru ngajiku kalau air
sungai itu suci. Lalu kenapa Ibu mengatakan sungai itu tempat yang buruk dan jahat?
Aku semakin yakin
dengan dugaanku kalau sikap Ibu tersebut hanyalah caranya agar aku tak bermain
di sungai. Barangkali Ibu takut aku bisa tenggelam dan hanyut nantinya. Dan
dugaan itu semakin diperkuat oleh alasan yang disampaikan Ibu pada suatu malam
menjelang tidur.
Saat itu aku bertanya pada Ibu, “Bu, kenapa sebenarnya aku tak boleh mandi di sungai?”
Sembari membelai-belai lembut rambutku Ibu
menjawab, “Nak, kau harus tahu kenapa sebenarnya Ibu melarangmu,” kata Ibu
sambil membelai rambutku. “Di sana, di sungai itu, ada ular raksasa.”
“Ular raksasa?”
“Iya. Ular itu yang menghuni sungai di belakang rumah kita.
Ia bisa membawa pergi siapa saja yang melihatnya. Maka dari itu, kalau kamu mandi di sana, Ibu takut kamu melihat ular
itu. Ibu tidak mau kamu pergi.”
Kemudian Ibu pun bercerita soal ular raksasa tersebut. Menurut
cerita Ibu, di sungai besar di belakang rumahku sudah sejak lama dihuni oleh ular raksasa. Disebut raksasa karena ukurannya sangat besar.
Kata Ibu, ukurannya berkali-kali lipat pohon kelapa yang
tumbuh di kebun samping rumah. Pikiranku
pun tertuju pada lingkar tanganku yang saat itu belum cukup memeluk batang
pohon kelapa yang dimaksud. Karena ukurannya yang sangat besar, kata Ibu, setiap kali ular itu lewat, apabila
volume air sungai sedang tinggi, maka akan membuat air sungai meluap ke
rumah-rumah penduduk. Aku memang sempat mendengar kalau banjir beberapa tahun
lalu, kata orang, disebabkan air sungai meluap lantaran seekor ular raksasa
melintas. Tapi pada saat itu aku
menganggap hal tersebut hanya cerita karangan orang-orang semata.
Ular itu memang jarang terlihat, hanya sesekali
waktu saja. Kata Ibu, ular raksasa
itu akan muncul di hadapan orang-orang yang ditakdirkan untuk tenggelam. Untuk
mati. Setiap orang yang melihat ular itu, pasti akan dibawanya pergi selamanya
dan tak akan pernah kembali.
“Lalu, siapa orang yang pernah melihat ular
itu, bu? Apakah orang itu pergi selamanya?”
Tiba-tiba, belaian tangan Ibu di kepalaku
terhenti.
“Iya,” jawab Ibu pelan. “Orang itu pergi
selamanya.”
“Siapa?”
“Sudah.
Lebih baik kamu cepat tidur. Besok kamu harus pergi ke sekolah.”
Cerita Ibu
itu meninggalkan rasa penasaran dan tanda tanya besar
dalam pikiranku. Benarkah ada seekor ular
raksasa yang mendiami sungai di belakang rumah? Tapi setiap kali aku pergi ke
sungai itu tak pernah kulihat tanda-tanda kehidupan ular tersebut. Seharusnya
kutemui, paling tidak, bekasnya melata atau sisa-sisa kulit ular itu. Tapi tak
terdapat apapun yang menunjukkan bahwa ular raksasa itu benar-benar ada.
Kurasa benar kalau Ibu
kembali mengarang cerita.
Tapi terlepas dari cerita Ibu soal
ular raksasa sesungguhnya sungai di belakang rumahku adalah sungai yang
begitu indah. Sungai yang membelah kotaku ini punya pemandangan yang elok. Di kanan
kirinya terdapat batu-batu berukuran besar yang saling tumpang tindih dan berbaris dengan rapi.
Biasanya di atas batu-batu besar
itu, banyak orang-orang duduk sambil memancing ikan. Bila
musim penghujan tiba, di bantarannya akan ditumbuhi rerumputan. Banyak sekali
orang yang datang ke sana untuk mengambil rumput-rumput tersebut untuk pakan
ternak mereka.
Aku sering menghabiskan waktuku di pinggir
sungai itu.
Entah hanya sekadar duduk, memancing, atau mandi. Kalau mandi, aku paling suka melompat dari atas batu-batu besar
kemudian menceburkan diri ke dalam air. Saat masih duduk
di bangku sekolah, setiap kali aku kena marah karena nilaiku merah, aku selalu
pergi ke sungai itu. Berdiam di sini hingga petang hampir menjelang. Bila
orang-orang datang ke sungai untuk membuang kotoran, mencuci dan semacamnya,
aku datang untuk menjernihkan pikiran.
Salah satu tempat yang paling kusenangi
adalah jembatan tempatku berdiri
suatu malam. Jembatan yang tampak sepi. Jembatan yang jarang dilewati orang-orang saat
malam. Mungkin karena jembatan itu tanpa lampu penerangan hingga semakin tampak menyeramkan
dan mereka pun jadi ketakutan. Apalagi sering kutemui di
jembatan ini para pemabuk sedang meringkuk bersama minuman terkutuk. Atau,
sepasang kekasih yang tengah asyik bermesraan di atas kendaraan. Karena kesunyian itu, aku merasa tempat tersebut tepat buatku melupakan
sejenak masalah yang saling bertumpang tindih di otakku. Bukankah terkadang sebuah jalan bisa kita temukan dalam kesunyian?
Terlalu asyik mengingat
kenangan tentang masa kecilku hingga nyaris dua jam aku berdiri di jembatan. Jalanan makin sepi. Tanganku menggenggam pagar besi jembatan. Mataku
menatap ke arah riak air yang deras mengalir. Riak-riak yang kupandangi itu
sekilas menyerupai kulit ular yang sedang menggeliat-geliat.
“Ah, ular.” Aku membatin.
Pikiranku lagi-lagi terbawa pada cerita Ibu tentang ular besar
yang katanya mendiami sungai. Apakah ular itu benar-benar ada? Atau itu hanya
bualan Ibu dan para orangtua agar anaknya tak bermain di sungai? Tak pernah ada yang
melihat ular itu dengan mata kepala sendiri, bukan? Kalaupun ada, orang itu
sudah pergi selamanya, seperti kata Ibu. Mereka hanya menyampaikan cerita dari satu orang
ke orang lain, tanpa tahu siapa yang pernah melihatnya. Aku sendiri sejak kecil juga tak pernah melihatnya.
Mataku kembali menatap ke arah riak air sungai.
Masih terlihat sesuatu yang mirip dengan ular menggeliat, dan kini geliatnya semakin
cepat. Tunggu! Kenapa geliatnya makin bertambah cepat?
Astaga! Aku terkesiap saat melihat dua titik
cahaya merah muncul di dalam air. Cahaya apakah itu? Aku menoleh ke kanan kiri
mengamati keadaan di sekitar, berharap ada orang yang juga melihat kejadian
ini.
Tak
ada siapa-siapa.
Tiba-tiba saja aku didera ketakutan. Ada apa
dengan diriku?! Besi jembatan yang kupegang makin cepat mengirim gigil ke tanganku.
Sementara itu kedua cahaya merah tersebut terus bergerak-gerak. Riak air makin
tak keruan, menimbulkan bunyi yang amat keras. Lalu, aku dibuat terperanjat
dengan kemunculan kepala seekor ular dari dalam air.
“Ular…,” batinku lagi. Ketakutan makin menghantamku. Kaki menjadi berat untuk kubawa
beranjak dari tempat itu. Padahal aku ingin berlari, tapi tak bisa.
“Apakah ular ini yang diceritakan Ibuku dan
orang-orang?”
Dua cahaya merah menyala dalam air tadi adalah
mata ular itu. Kini keduanya menatap tepat ke arahku. Aku menatapnya balik. Entah
kenapa, tiba-tiba, aku merasa seolah-olah mata itu berbisik di dekat telingaku.
Ia berkata seperti hendak membawaku ke suatu tempat. Tempat yang mampu menghilangkan seluruh permasalahan yang menimpaku. Tempat di mana akan kutemui kebahagiaan, tanpa ada kesedihan.
“Ternyata Ibu benar.
Ular itu memang ada.” hatiku
berkata.
Aku benar-benar
tak bisa lepas dari mata ular itu. Mata itu menyerupai seorang penyihir. Dengan lihai merapal mantranya
kepadaku. Ia menyihirku hingga membuatku tak memiliki daya
untuk menghindar dari kekuatannya.
“Lompatlah,” Mata itu seolah berkata. “Ikutlah
denganku.”
Tiba-tiba, aku merasa pertahananku mulai luluh. Aku tak berdaya melawan kehendak.
Keinginanku untuk pergi dari jembatan itu pun pudar. Aku kalah. Ucapan ular itu
mengiang-ngiang di telinga.
Lebih
baik kita turun ke sungai dan sama-sama telajang. Kita lepas segalanya yang
menempel pada diri dan jiwa kita. Di sungai kita akan terbebas dari segalanya.
Tanpa banyak berpikir, aku melakukan apa yang
diperintahkan ular itu. Dengan cepat aku menerjunkan diri ke dalam sungai. Seketika
semuanya berubah menjadi hitam.
Gelap. Kini aku harus membenarkan kata-kata Ibu. Ular raksasa itu
memang ada. Ibu tak pernah berbohong padaku. Dia selalu mengatakan kejujuran
pada anaknya. Mungkin cerita tentang siapa orang yang pernah melihat ular
raksasa itu juga benar adanya. Dan, walau sedikit sulit untukku, mungkin aku juga harus
mempercayainya bahwa orang yang melihat ular raksasa itu adalah ayahku. Ayahku
yang telah pergi bersama ular itu dan meninggalkan Ibu seorang diri. Semuanya sudah terlihat gelap di sekelilingku. Kalau saja ada
Ibu di sampingku, pasti dia akan melarangku, “Jangan pergi ke sungai.”
Kalau saja aku menuruti
nasihat Ibu itu, mungkin aku tak akan bertemu ular raksasa yang membawaku.
Situbondo, 21 Juli 2016
***
[Cerpen] Jangan Pergi Ke Sungai (Radar Bojonegoro, 1 Juli 2018)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Juli 03, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: