[Cerpen] Jangan Pergi Ke Sungai (Radar Bojonegoro, 1 Juli 2018)




Seandainya aku menuruti nasihat Ibu, barangkali aku tak akan pernah bertemu dengan ular raksasa itu.
Ibu seringkali menasihatiku untuk tidak pergi sungai. Sungai yang dimaksud Ibu adalah sungai besar yang mengalir di belakang rumahku. Jika aku ketahuan melanggar perintah Ibu itu, maka aku akan dimarahi habis-habisan olehnya. Lalu Ibu akan menghukumku tak boleh keluar rumah sepulang sekolah. Atau, aku tak akan mendapat jatah uang jajan selama beberapa hari.
Sungguh aneh melihat sikap Ibu tersebut. Apa salahnya jika bermain di sungai? Bukankah banyak orang yang pergi ke sungai? Namun, setiap kali aku bertanya perihal alasan kenapa melarangku pergi ke sungai, Ibu tak pernah memberitahuku.
“Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ikuti saja nasihat ibu.”
Jawaban itulah yang sering kudengar setiap kali aku bertanya. Jadi, kupikir itu hanya cara Ibu agar aku tak pergi ke sungai belakang rumahku. Aku pun secara diam-diam tetap pergi ke sungai. Sebab aku sendiri senang bermain di sungai. Apalagi jika bersama dengan teman-teman sebayaku.
Tapi, setiap kali aku pergi ke sungai di belakang rumah, anehnya, Ibu selalu mengetahuinya. Entah dari mana Ibu tahu. Begitu sampai rumah, Ibu pasti langsung murka padaku.
Berapa kali sudah Ibu bilang, jangan pergi ke sungai!”
“Aku ingin bermain bersama teman-teman, bu. jawabku setiap kali Ibu marah.
Sungai itu tempat jahat. Sungai itu kotor. Semua hal-hal buruk ada di sana.”
Hal buruk dan jahat seperti apa? Ada banyak orang mandi dan mencuci di sungai belakang rumahku. Sungai itu sudah membantu pekerjaan banyak orang yang hidup di bantarannya. Sawah-sawah juga mendapat air dari sungai. Aku juga ingat kata-kata guru ngajiku kalau air sungai itu suci. Lalu kenapa Ibu mengatakan sungai itu tempat yang buruk dan jahat?
Aku semakin yakin dengan dugaanku kalau sikap Ibu tersebut hanyalah caranya agar aku tak bermain di sungai. Barangkali Ibu takut aku bisa tenggelam dan hanyut nantinya. Dan dugaan itu semakin diperkuat oleh alasan yang disampaikan Ibu pada suatu malam menjelang tidur.
Saat itu aku bertanya pada Ibu, “Bu, kenapa sebenarnya aku tak boleh mandi di sungai?”
Sembari membelai-belai lembut rambutku Ibu menjawab, “Nak, kau harus tahu kenapa sebenarnya Ibu melarangmu,” kata Ibu sambil membelai rambutku. Di sana, di sungai itu, ada ular raksasa.”
“Ular raksasa?”
“Iya. Ular itu yang menghuni sungai di belakang rumah kita. Ia bisa membawa pergi siapa saja yang melihatnya. Maka dari itu, kalau kamu mandi di sana, Ibu takut kamu melihat ular itu. Ibu tidak mau kamu pergi.”
Kemudian Ibu pun bercerita soal ular raksasa tersebut. Menurut cerita Ibu, di sungai besar di belakang rumahku sudah sejak lama dihuni oleh ular raksasa. Disebut raksasa karena ukurannya sangat besar. Kata Ibu, ukurannya berkali-kali lipat pohon kelapa yang tumbuh di kebun samping rumah. Pikiranku pun tertuju pada lingkar tanganku yang saat itu belum cukup memeluk batang pohon kelapa yang dimaksud. Karena ukurannya yang sangat besar, kata Ibu, setiap kali ular itu lewat, apabila volume air sungai sedang tinggi, maka akan membuat air sungai meluap ke rumah-rumah penduduk. Aku memang sempat mendengar kalau banjir beberapa tahun lalu, kata orang, disebabkan air sungai meluap lantaran seekor ular raksasa melintas. Tapi pada saat itu aku menganggap hal tersebut hanya cerita karangan orang-orang semata.
Ular itu memang jarang terlihat, hanya sesekali waktu saja. Kata Ibu, ular raksasa itu akan muncul di hadapan orang-orang yang ditakdirkan untuk tenggelam. Untuk mati. Setiap orang yang melihat ular itu, pasti akan dibawanya pergi selamanya dan tak akan pernah kembali.
“Lalu, siapa orang yang pernah melihat ular itu, bu? Apakah orang itu pergi selamanya?”
Tiba-tiba, belaian tangan Ibu di kepalaku terhenti.
“Iya,” jawab Ibu pelan. “Orang itu pergi selamanya.”
“Siapa?”
Sudah. Lebih baik kamu cepat tidur. Besok kamu harus pergi ke sekolah.”
Cerita Ibu itu meninggalkan rasa penasaran dan tanda tanya besar dalam pikiranku. Benarkah ada seekor ular raksasa yang mendiami sungai di belakang rumah? Tapi setiap kali aku pergi ke sungai itu tak pernah kulihat tanda-tanda kehidupan ular tersebut. Seharusnya kutemui, paling tidak, bekasnya melata atau sisa-sisa kulit ular itu. Tapi tak terdapat apapun yang menunjukkan bahwa ular raksasa itu benar-benar ada.
Kurasa benar kalau Ibu kembali mengarang cerita.
Tapi terlepas dari cerita Ibu soal ular raksasa sesungguhnya sungai di belakang rumahku adalah sungai yang begitu indah. Sungai yang membelah kotaku ini punya pemandangan yang elok. Di kanan kirinya terdapat batu-batu berukuran besar yang saling tumpang tindih dan berbaris dengan rapi. Biasanya di atas batu-batu besar itu, banyak orang-orang duduk sambil memancing ikan. Bila musim penghujan tiba, di bantarannya akan ditumbuhi rerumputan. Banyak sekali orang yang datang ke sana untuk mengambil rumput-rumput tersebut untuk pakan ternak mereka.
Aku sering menghabiskan waktuku di pinggir sungai itu. Entah hanya sekadar duduk, memancing, atau mandi. Kalau mandi, aku paling suka melompat dari atas batu-batu besar kemudian menceburkan diri ke dalam air. Saat masih duduk di bangku sekolah, setiap kali aku kena marah karena nilaiku merah, aku selalu pergi ke sungai itu. Berdiam di sini hingga petang hampir menjelang. Bila orang-orang datang ke sungai untuk membuang kotoran, mencuci dan semacamnya, aku datang untuk menjernihkan pikiran.
Salah satu tempat yang paling kusenangi adalah jembatan tempatku berdiri suatu malam. Jembatan yang tampak sepi. Jembatan yang jarang dilewati orang-orang saat malam. Mungkin karena jembatan itu tanpa lampu penerangan hingga semakin tampak menyeramkan dan mereka pun jadi ketakutan. Apalagi sering kutemui di jembatan ini para pemabuk sedang meringkuk bersama minuman terkutuk. Atau, sepasang kekasih yang tengah asyik bermesraan di atas kendaraan. Karena kesunyian itu, aku merasa tempat tersebut tepat buatku melupakan sejenak masalah yang saling bertumpang tindih di otakku. Bukankah terkadang sebuah jalan bisa kita temukan dalam kesunyian?
Terlalu asyik mengingat kenangan tentang masa kecilku hingga nyaris dua jam aku berdiri di jembatan. Jalanan makin sepi. Tanganku menggenggam pagar besi jembatan. Mataku menatap ke arah riak air yang deras mengalir. Riak-riak yang kupandangi itu sekilas menyerupai kulit ular yang sedang menggeliat-geliat.
“Ah, ular.” Aku membatin.
Pikiranku lagi-lagi terbawa pada cerita Ibu tentang ular besar yang katanya mendiami sungai. Apakah ular itu benar-benar ada? Atau itu hanya bualan Ibu dan para orangtua agar anaknya tak bermain di sungai? Tak pernah ada yang melihat ular itu dengan mata kepala sendiri, bukan? Kalaupun ada, orang itu sudah pergi selamanya, seperti kata Ibu. Mereka hanya menyampaikan cerita dari satu orang ke orang lain, tanpa tahu siapa yang pernah melihatnya. Aku sendiri sejak kecil juga tak pernah melihatnya.
Mataku kembali menatap ke arah riak air sungai. Masih terlihat sesuatu yang mirip dengan ular menggeliat, dan kini geliatnya semakin cepat. Tunggu! Kenapa geliatnya makin bertambah cepat?
Astaga! Aku terkesiap saat melihat dua titik cahaya merah muncul di dalam air. Cahaya apakah itu? Aku menoleh ke kanan kiri mengamati keadaan di sekitar, berharap ada orang yang juga melihat kejadian ini.
Tak ada siapa-siapa.
Tiba-tiba saja aku didera ketakutan. Ada apa dengan diriku?! Besi jembatan yang kupegang makin cepat mengirim gigil ke tanganku. Sementara itu kedua cahaya merah tersebut terus bergerak-gerak. Riak air makin tak keruan, menimbulkan bunyi yang amat keras. Lalu, aku dibuat terperanjat dengan kemunculan kepala seekor ular dari dalam air.
“Ular…,” batinku lagi. Ketakutan makin menghantamku. Kaki menjadi berat untuk kubawa beranjak dari tempat itu. Padahal aku ingin berlari, tapi tak bisa.
“Apakah ular ini yang diceritakan Ibuku dan orang-orang?”
Dua cahaya merah menyala dalam air tadi adalah mata ular itu. Kini keduanya menatap tepat ke arahku. Aku menatapnya balik. Entah kenapa, tiba-tiba, aku merasa seolah-olah mata itu berbisik di dekat telingaku. Ia berkata seperti hendak membawaku ke suatu tempat. Tempat yang mampu menghilangkan seluruh permasalahan yang menimpaku. Tempat di mana akan kutemui kebahagiaan, tanpa ada kesedihan.
“Ternyata Ibu benar. Ular itu memang ada.” hatiku berkata.
Aku benar-benar tak bisa lepas dari mata ular itu. Mata itu menyerupai seorang penyihir. Dengan lihai merapal mantranya kepadaku. Ia menyihirku hingga membuatku tak memiliki daya untuk menghindar dari kekuatannya.
“Lompatlah,” Mata itu seolah berkata. “Ikutlah denganku.”
Tiba-tiba, aku merasa pertahananku mulai luluh. Aku tak berdaya melawan kehendak. Keinginanku untuk pergi dari jembatan itu pun pudar. Aku kalah. Ucapan ular itu mengiang-ngiang di telinga.
Lebih baik kita turun ke sungai dan sama-sama telajang. Kita lepas segalanya yang menempel pada diri dan jiwa kita. Di sungai kita akan terbebas dari segalanya.
Tanpa banyak berpikir, aku melakukan apa yang diperintahkan ular itu. Dengan cepat aku menerjunkan diri ke dalam sungai. Seketika semuanya berubah menjadi hitam. Gelap. Kini aku harus membenarkan kata-kata Ibu. Ular raksasa itu memang ada. Ibu tak pernah berbohong padaku. Dia selalu mengatakan kejujuran pada anaknya. Mungkin cerita tentang siapa orang yang pernah melihat ular raksasa itu juga benar adanya. Dan, walau sedikit sulit untukku, mungkin aku juga harus mempercayainya bahwa orang yang melihat ular raksasa itu adalah ayahku. Ayahku yang telah pergi bersama ular itu dan meninggalkan Ibu seorang diri. Semuanya sudah terlihat gelap di sekelilingku. Kalau saja ada Ibu di sampingku, pasti dia akan melarangku, “Jangan pergi ke sungai.”
Kalau saja aku menuruti nasihat Ibu itu, mungkin aku tak akan bertemu ular raksasa yang membawaku.
Situbondo, 21 Juli 2016
***

[Cerpen] Jangan Pergi Ke Sungai (Radar Bojonegoro, 1 Juli 2018) [Cerpen] Jangan Pergi Ke Sungai (Radar Bojonegoro, 1 Juli 2018) Reviewed by TIDAKTAMPAN on Juli 03, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.