Saya termasuk orang yang tidak banyak membaca buku-buku non-fiksi.
Karena ketertarikan saya pada fiksi sehingga buku yang saya baca kebanyakan
memang buku-buku fiksi. Untuk buku non-fiksi sendiri yang saya punya mungkin
dapat dihitung dengan jari. Tetapi akhir-akhir ini, saya memilih untuk membaca
juga buku-buku selain buku fiksi. Tidak lebih karena saya ingin menambah
pengetahuan saja. Pada akhirnya, dari sekian banyak buku non-fiksi saya menjatuhkan
pilihan pada buku ini. Kenapa? Karena alasan di atas tadi, buku ini juga
mendapat cukup banyak perhatian dan nilai yang membuat orang yang belum
membacanya menjadi tertarik.
Barangkali ketika membaca judul buku ini yang muncul di pikiran adalah sebuah
sikap untuk tidak peduli pada siapa atau apapun. Hal tersebut juga saya rasakan
sebelum saya membacanya. Meskipun pikiran itu juga bersamaan dengan pertanyaan,
mungkinkah kita bisa tidak peduli atau bodoh amat pada hal apapun? Namun,
setelah membacanya pikiran awal beserta pertanyaan yang muncul mengenai buku
ini terjawab.
Buku dengan judul asli “The Subtle Art of Not Giving A F*ck” ditulis
oleh Mark Manson, seorang blogger
asal Amerika yang memiliki pembaca yang sangat banyak. Buku ini termasuk dalam
buku pengembangan diri (self improvement).
Buku ini merupakan buku pertamanya dan termasuk buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail. Buku aslinya berbahasa Inggris, namun pada Februari
2018 Gramedia menerbitkannya dan sudah dialihbahasakan ke dalam Bahasa
Indonesia.
Buku ini dibuka dengan kisah Charles Bukowski, seorang pengarang yang
semasa hidupnya merupakan pecandu alkohol, senang main perempuan, pejudi
kronis, kasar, kikir, dan tukang utang. Dalam kisahnya itu Bukowski tidak
pernah sekalipun berusaha untuk mewujdukan cita-citanya untuk menjadi penulis.
Dia tetap pada kebiasaan lamanya seperti yang saya sebutkan di atas. Namun,
pada akhirnya Bukowski mencatatkan diri sebagai penulis novel dan puisi yang
sukses. Di atas batu nisannya saat ini tertulis sebuah kalimat yang seolah membantah
pernyataan bahwa Bukowski adalah seorang yang pantang menyerah demi mimpinya:
“Jangan berusaha.” Ya, Bukowski tidak pernah sekalipun berusaha untuk menjadi
penulis terkenal.
Bersikap bodoh amat menurut buku ini adalah bersikap peduli kepada
hal-hal tertentu saja. Artinya kepedulian kita ditujukan hanya kepada hal-hal
yang penting. Buku ini membantu kita untuk memilih mana yang penting dalam
kehidupan kita dan mana yang tidak. Tentu saja buku ini tidak menuntun kita
untuk bersikap masa bodoh. Sebab Mark sendiri berkata, “Tidak pernah ada yang
namanya masa bodoh. Anda pasti memedulikan sesuatu.” Sedangkan yang dimaksud
masa bodoh lebih jelasnya, “Masa bodoh atau bodoh
amat artinya memandang tanpa gentar tantangan yang paling menakutkan dan
sulit dalam kehidupan dan mau mengambil suatu tindakan.”
Lalu, jika memang yang dimaksud bersikap masa bodoh demikian, bagaimana
seni yang dimaksudkan oleh Mark? Mark sendiri membagi tiga seni yang dapat
membantu pikiran mengenai sikap masa bodoh ini:
Seni #1: Masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh, masa bodoh
berarti nyaman saat menjadi berbeda.
Seni #2: Untuk bisa mengadakan “bodo amat” pada kesulitan, pertama-tama
Anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan.
Seni #3: Entah Anda sadari atau tidak, Anda selalu memilih suatu hal
untuk diperhatikan.
Bab-bab selanjutnya dalam buku ini menjelaskan mengenai banyak hal.
Tentang kebahagiaan adalah sebuah masalah. Tentang bagaimana kita menganggap
diri kita tidak istimewa ketika sedang mengalami kesedihan atau kegagalan.
Tentang bagaimana memandang sebuah penderitaan. Menentukan nilai baik dan
buruk. Berani untuk menolak sesuatu. Bahwa kita keliru mengenai banyak hal
hingga yang terakhir mengenai kematian.
Buku ini mampu membuka pikiran saya mengenai banyak hal. Salah satunya soal
nilai dan ukuran kita akan suatu hal. Menurut Mark, ada nilai/ukuran yang sehat
dan nilai/ukuran yang buruk. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana nilai yang
sehat juga nilai yang buruk itu. Setelahnya kita akan menyadari mengenai nilai
atau ukuran yang selama ini kita pegag atau gunakan; sudah baikkah nilai-nilai
kita.
Dalam buku ini Mark juga membicarakan mengenai hubungan sebuah pasangan;
bagaimana sebuah hubungan itu dikatakan sehat atau tidak. Mark melihatnya dari
dua orang yang menjalin hubungan itu membagi tanggung jawabnya masing-masing.
Selain itu, Mark juga mengangkat kisah-kisah tokoh-tokoh terkenal dunia seperti
yang sudah saya contohkan, Charles Bukowski, Dave Mustaine, The Beatles,
Metallica, Malala Yousafzai, hingga Pablo Picasso. Selain kisah-kisah dari
mereka, ia juga membagian beberapa pengalamannya sendiri.
Bab yang paling saya suka adalah bab terakhir; ketika Mark mulai
menjelaskan mengenai kematian. Mark di bab ini membagikan pengalamannya
berhadap-hadapan dengan kematian. Kemudian dari pengalamannya itu Mark mampu
memandang kematian dan manfaatnya untuk kehidupan. Mark di bab ini seolah
memberikan makna tersendiri bagi kematian. Menurut Mark, “Tanpa kematian, semua
terasa tidak penting, semua pengalaman, semua ukuran dan nilai tiba-tiba
menjadi nol.”
Mark sendiri memberikan kisi-kisinya mengenai buku ini: “Buku ini tidak
mengajari Anda bagaimana cara mendapatkan atau mencapai sesuatu, namun lebih
pada bagaimana cara berlapang dada dan membiarkan sesuatu pergi. Buku ini akan
mengubah rasa sakit Anda menjadi sebuah peranti, trauma Anda menjadi kekuatan,
dan masalah Anda menjadi masalah yang lebih baik.”
Barangkali buku ini adalah buku non-fiksi terbaik yang saya baca di
tahun 2018. Sekaligus menjadi bacaan penutup untuk tahun ini. Saya
merekomendasikan buku ini untuk teman-teman. Akan lebih baik jika dibaca
sebelum tahun 2019 datang agar kita bisa memulai tahun 2019 dengan pikiran,
nilai, ukuran baru.
Situbondo, 25 Desember 21: 48 WIB
Dalam kamar. Dalam keadaan rindu.
[Buku] Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodoh Amat: Buku Penutup Tahun Yang Luar Biasa
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Desember 26, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: