Selama tahun 2018, saya sudah menamatkan beberapa buku. Fiksi maupun non
fiksi. Secara jumlah, lebih tepatnya, saya tidak tahu pasti sebab saya tidak
menghitungnya. Tapi, dari sekian buku tersebut, ini adalah buku terakhir yang
saya baca di tahun 2018. Tidak butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya.
Kurang lebih saya hanya butuh waktu 3 hari dan buku ini juga tidak terlalu
tebal.
Buku ini saya beli ketika sedang berlibur ke Jogja beberapa bulan lalu.
Ke Jogja, tidak mampir ke toko buku, rasanya kurang afdol. Jadilah saya mampir
ke toko buku di sana dan membawa buku ini beserta beberapa buku lainnya. Meski
saya membelinya sudah cukup lama, namun saya baru bisa membacanya beberapa hari
yang lalu.
Buku ini, secara judul, sangat menarik. Barangkali itu pula yang membuat
saya menaruh pilihan pada buku ini untuk dibawa pulang. Judul buku ini diambil
dari salah satu cerita yang ada di dalamnya. Ada sekitar 10 cerpen. Namun,
cerpen ada dua cerpen dengan judul yang sama, namun disajikan dalam versi yang
berbeda, yaitu cerpen yang dipakai sebagai judul buku ini: Dilarang Menyanyi di
Kamar Mandi.
Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi secara garis besar bercerita tentang
seorang wanita yang dilarang menyanyi di kamar mandi oleh warga di sekitar
tempat ia tinggal, lantaran suaranya merangsang laki-laki, terutama para suami,
untuk berimajinasi ‘nakal’ tentang wanita itu. Imajinasi tersebut menyebabkan
hubungan para suami dengan istri-istri mereka dingin. Hal inilah yang kemudian mendorong
ibu-ibu untuk menuntut agar wanita itu diusir dari kampung. Ibu-ibu
melaporkannya kepada Pak RT. Pak RT pun merasakannya sendiri bagaimana suara
wanita itu merangsang para lelaki untuk berimajinasi. Meski demikian, Pak RT
selaku tokoh yang berkewajiban memelihara keamanan di sana, tidak sependapat
dengan ibu-ibu. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang diusir hanya karena ia
menyanyi di kamar mandi? Kalaupun suara menimbulkan imajinasi yang membuat
hubungan suami-istri mereka terganggung, tentu saja bukan salah wanita itu.
Salah siapa punya imajinasi yang demikian? Tetapi, pada akhirnya Pak RT tidak
punya pilihan karena terus didesak oleh keinginan ibu-ibu. Mereka menghendaki
wanita itu pergi.
Setelah membacanya, saya mencoba menyimpulkan sendiri bahwa Seno ingin
menyindir tentang “penindasan” yang dilakukan oleh sesama rakyat atas nama
mayoritas. Hal itu diamini setelah saya membaca (saya membacanya setelah
menyelesaikan semua cerita) bagaimana perjalanan buku ini yang ada di bagian
awal. Saya kira tema seperti ini relevan dengan yang terjadi sekarang ini,
bagaimana sebuah kebenaran ditentuka oleh orang banyak, bagaimana suara
mayoritas itu memiliki kuasa yang besar untuk menentukan salah dan benar. Seno
mencoba melakukan kritik atas klaim benar salah oleh mayoritas. Seno mencoba
untuk mengajak kita bagaimana sebuah masyarakat bertindak semaunya sendiri,
mengatasnamakan mayoritas, dengan alasan yang tidak masuk akal. Misalnya, dalam
cerita tersebut, menyanyi di kamar mandi saja kok dilarang.
Cerita ini memiliki dua versi: pertama, adalah versi yang ditulis
kembali oleh Seno dari skenario ke dalam prosa. Di bagian sejarah buku ini
diceritakan bahwa buku ini memang pernah dijadikan film televisi. Namun, Seno
memilih menuliskannya agar karyanya tersebut bisa dibaca. Jika melihat versi
pertama dari cerita ini, memang banyak ditampilkan dialog-dialog antar tokoh.
Untuk narasinya sendiri tidak terlalu banyak. Kedua, adalah versi asli dari
tulisan ini sebelum ia ditulis menjadi skenario film televisi.
Cerita lainnya di buku ini, ada beberapa yang sudah pernah saya baca di
buku Senja dan Cinta Yang Berdarah seperti Midnight Express, Bibir yang Merah,
Basah, dan Setengah Terbuka, Bayang-bayang Elektra, Guru Sufi Lewat, Duduk di
Tepi Sungai, Duduk di Depan Jendela, dan Kriiiingngng!!! Mungkin hanya sekitar
3 cerpen saja yang baru saya baca.
Setelah membaca buku ini, saya makin mengidolakan Seno Gumira Ajidarma
untuk imajinasinya yang luar biasa. Dalam buku ini, ada cerpen terakhir yang
berjudul ‘Seorang Wanita di Sebuah Loteng’. Saya dapat menarik kesimpulan dari
cerita tersebut bahwa Seno ingin menggambarkan kehidupan sosial para kaum elite
di Jakarta; bagaimana mereka membangun rumahnya dengan pagar sangat tinggi
sehingga orang tidak bisa melihat rumah mereka dari luar. Barangkali inilah
yang membuat Seno memiliki imajinasi seperti dalam cerita tersebut. Memang,
bicara soal imajinasi, rasanya tidak perlu diragukan lagi kemampuan Seno Gumira
Ajidarma.
Tak banyak yang saya bisa katakan tentang buku ini. Ia tetap memberikan
cerita-cerita indah dengan imajinasi Seno yang luar biasa; seperti biasanya.
Saya kira sangat tidak ada salahnya kalian membacanya.
Situbondo, 31 Desember 2018
[Buku] Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi: Seperti Biasanya Imajinasi SGA
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Januari 01, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: