Ini adalah buku keempat dari Eka Kurniawan yang saya baca setelah Cantik
Itu Luka, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan Corat-coret di Toilet.
Sama dengan yang saya sebutkan terakhir, buku ini adalah kumpulan cerpen. Di
buku ini dimuat kurang lebih 13 cerpen yang Eka tulis di tahun sekitaran 2005.
Seluruh cerpen yang ada di buku ini sudah pernah dimuat di berbagai media. Sedangkan
buku Cinta Tak Ada Mati yang saya baca ini adalah edisi kedua yang diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka Utama yang terbit pada Mei 2018. Untuk edisi awalnya
terbit sekitar tahun 2005 dan diterbitkan oleh penerbit yang sama. Saya tidak
tahu apakah cerpen-cerpen yang ada di edisi ini dengan edisi pertama sama atau ada
yang diganti.
Saya langsung dibuat suka oleh cerpen pembuka dalam buku ini yang
berjudul “Kutukan Dapur”. Cerpen itu berkisah tentang Maharani yang pergi ke
museum untuk memperoleh pengetahuan tentang bumbu masak agar bisa mengangkat
harkat dan martabatnya. Di museum itulah kemudian ia mengetahu sejarah seorang
peramu bumbu masak terbaik di masa lalu yang bernama Diah Ayu. Diah Ayu menjadi
peramu bumbu masak dan menjadikan profesinya sebagai jalan perjuangannya
melawan penjajahan. Diah Ayu dengan kepiawaiannya meracik bumbu masakan dapat
membuat sebuah masakan lezat menjadi racun mematikan tanpa meninggalkan jejak
pembunuhan. Maka dari sejarah Diah Ayulah kemudian Maharani belajar untuk
membuat bumbu masak dan akan ia gunakan sebagai senjatanya untuk melawan
suaminya yang tidak menghargainya. Dalam cerpen ini juga, Eka menghubungkan
dengan sejarah Indonesia bahwa para penjajah itu datang lantaran ketertarikan
mereka dengan rempah-rempah.
Dari segi cerita memang bagus, namun yang membuat saya suka adalah cara
bertutur atau berkisah Eka yang begitu lincah. Karena kelincahan itulah yang
membuat saya sebagai pembaca begitu menikmati cerpen tersebut. Hal itu juga
saya temui di cerita-cerita berikutnya termasuk yang cerpen yang dijadikan
judul buku ini.
Cerpen Cinta Tak Ada Mati berkisah tentang seorang lelaki bernama Mardio
yang mencintai seorang wanita bernama Melatie. Sebuah cinta yang konyol
barangkali. Bagaimana mungkin Mardio memelihara kesetiaan untuk Melatie selama
berpuluh-puluh tahun hingga waktu mulai menggerogoti tubuh dan usianya.
Malangnya, Melatie justru tidak pernah mencintai Mardio. Seolah Melatie
terlahir memang tidak ditakdirkan untuk Mardio. Melatie sendiri jelas tidak mau
kepada Mardio yang hanya seorang perobek tiket masuk bioskop. Melatie lebih
memilih menikah dengan seorang dokter yang jelas lebih mapan. Namun, Mardio,
selama bertahun-tahun terus memelihara cintanya yang konyol itu. Ia semakin termakan
oleh perasaan gilanya dengan berharap bahwa rumah tangga Melatie dan suaminya
hancur sehingga ia bisa menikahi gadis yang dicintainya itu. Meski Mardio telah
begitu setia kepada Melatie, namun tak membuat Melatie memberikan hatinya.
Justru Mardio terus menerus dibuat patah hati oleh Melatie. Sekali lagi, karena
cintanya yang gila, Mardio tidak pernah putus asa. Ia terus mencintai Melatie.
Di akhir cerita, Eka memberikan twist
ending yang membuat saya sebagai pembaca mengumpat: sialan. Sungguh sebuah ending yang tidak disangka-sangka.
Cerpen ini, meski sebuah cerpen, tapi lumayan panjang. Tapi cerita yang begitu
mengalir ditambah cara berkisah Eka yang lincah membuat panjang cerita itu tak
berasa. Pembaca sudah hanyut dalam cerita. Sehingga di akhir, tak bakal
menyadari bahwa akan terjadi seperti itu. Saya menamatkan cerpen ini tanpa
beranjak dari posisi saya membaca karena terlalu asyiknya. Di cerpen ini sangat
dominan narasi dibandingkan dengan dialog. Sangat jarang sekali ditemui dialog
dalam cerpen ini.
Saya pikir inilah cerpen favorit saya dalam buku ini. Bukan berarti
cerpen-cerpen yang lain tidak kalah bagusnya. Ada cerpen yang juga saya sukai
seperti, “Surau”, “Mata Gelap”, “Caronang”, dan “Jimat Sero”. Untuk cerpen
Caronang, itu adalah pertama kali saya membaca tulisan Eka. Saya membacanya di
kumpulan cerpen pilihan Kompas. Kalau tidak salah, saya meminjamnya dulu di
perpustakaan kampus.
Dalam beberapa cerpen, kita akan menemui cerita-cerita Eka yang berbau
hal-hal magis. Banyak mitos yang mungkin tumbuh di daerah kelahirannya yang
juga diceritakan oleh Eka dalam buku ini. Selain itu kita juga akan menemukan
beberapa cerita yang di dalamnya berbau seks. Ada beberapa cerpen yang
menampilkan adegan-adegan panas. Saya kira di beberapa karyanya Eka memang sering
menampilkan hal-hal yang demikan.
Pada akhirnya, saya suka cara bercerita Eka yang begitu lincah dan
sangat mengalir dalam buku ini. Dibandingkan dengan Corat-coret di Toilet, saya
lebih menyukai kumpulan cerpen ini. Maka dari itu, saya menyarankan kepada
kawan-kawan untuk membacanya.
Selamat membaca!
[Buku] Cinta Tak Ada Mati: Eka Yang Lincah dan Mengalir
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Januari 10, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: