Tak ada satu pun ustaz di kampung kami yang memiliki santri
sebanyak Ustaz Abidin. Beliaulah satu-satunya ustaz yang jumlah santrinya
paling banyak. Walaupun umurnya sudah tak muda lagi, namun pamornya tak pernah kalah
sekalipun dengan ustaz-ustaz muda di kampung kami.
Santri-santri beliau datang dari berbagai penjuru kampung. Ada yang
rela berangkat dari ujung kampung hanya untuk belajar mengaji di musala tempatnya
mengajar. Padahal di kampung kami banyak musala-musala yang ustaznya juga
memberi pelajaran agama untuk anak-anak. Tetapi, tetap saja beberapa anak lebih
memilih belajar pada Ustaz Abidin.
Kami tidak pernah tahu kenapa Ustaz Abidin selalu punya banyak
santri. Hal itu sudah terjadi sejak dulu. Aku dan kedua saudaraku sama-sama
pernah belajar mengaji di Ustaz Abidin. Ibuku yang menyuruh kami untuk belajar
di sana.
“Kalau mau pintar mengaji dan ilmu agama harus belajar pada Ustaz
Abidin,” kata ibu.
Sebagian orang di kampungku percaya bahwa Ustaz Abidin memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Kemampuan Ustaz Abidin yang paling tersohor adalah
kemampuannya mengobati orang yang baru terkena bisa ular. Nyaris semua orang di
kampungku mengetahui hal itu. Jadi wajar jika ada seseorang yang terkena bisa
ular mereka segera membawanya pada Ustaz Abidin.
Pernah sekali waktu aku menonton Ustaz Abidin melakukan proses
penyembuhan seseorang yang terkena bisa ular. Pertama, Ustaz Abidin memegang
bagian yang terkena racun ular itu. Kulihat juga sesekali beliau menekannya.
Tampak dari bibir Ustaz Abidin sedang membacakan sesuatu. Pasti itu adalah
bacaan untuk mengeluarkan racunnya, pikirku. Dan benar saja racun itu keluar
dengan sendirinya lewat dua titik bekas patokan ular. Aku hanya bisa tercengang
melihat hal itu. Orang yang baru terkena racun ular pun seketika bisa berjalan
seperti biasa.
Ustaz Abidin sendiri, bagiku, adalah sosok lelaki biasa. Kalau
melihat dari penampilannya kita tak akan menyangka beliau memiliki kemampuan
seperti itu. Sehari-hari pakaiannya hanya sarung, baju koko, dan kopiah hitam.
Tak pernah beliau terlihat memakai sorban yang biasanya kerap digunakan para ustaz-ustaz
lain di kampung kami. Beliau juga sangat ramah pada semua orang dan suka
menolong siapapun di kampung kami yang butuh bantuan. Beliau akan jadi orang
pertama membantu saat ada orang di kampung kami yang sedang terkena bencana.
“Ustaz Abidin itu baik.”
“Benar. Tak pernah marah pada sekalipun kami nakal.”
“Beliau sangat penyabar.”
Ustaz Abidin juga terkenal karena begitu sabar menghadapi
santri-santrinya. Selama aku belajar mengaji padanya, memang tak pernah
sekalipun beliau terlihat marah. Padahal sudah seringkali kami, santri-santri
beliau, berbuat nakal. Bahkan kenakalan yang mungkin tak seharusnya seorang
santri lakukan. Sudah sepantasnya kami terkena marah ustaz kami itu. Tetapi, Ustaz
Abidin tak pernah sekalipun menampakkan kemarahannya. Terkadang selepas
melakukan kenakalan, kami merasa bersalah pada Ustaz Abidin. Apalagi jika
kesalahan yang kami buat sangat fatal dan membuat Ustaz Abidin malu sebagai
seorang yang terpandang.
Kami pernah terlibat bentrok dengan pemuda kampung sebelah. Saat
itu bulan puasa dan aku masih duduk di bangku SMP. Sebagaimana setiap bulan
puasa, kami melakukan patrol untuk membangunkan orang-orang sahur. Kami
akan berjalan mengelilingi kampung sembari memainkan bebunyian musik. Suatu
malam ketika kami tengah asyik patrol, tiba-tiba ada sekelompok pemuda
kampung sebelah yang juga turut patrol. Tak seperti biasanya mereka
berkeliling sampai ke sini. Ketika berpapasan, tiba-tiba adalah salah satu
pemuda di rombongan kampung sebelah itu yang nyeletuk dan memicu amarah salah
satu teman kami. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja sebuah bentrok pun
terjadi. Mereka saling adu pukul. Namun tak semua dari kami yang terlibat
bentrok. Sebagian, termasuk aku, coba melerai mereka.
Dari kejadian itu ada satu korban terparah dari pihak lawan.
Kepalanya pecah gara-gara hantaman kentong yang dilayangkan oleh salah
satu temanku. Akibatnya pihak lawan tak menerima dan memperkarakan hal itu pada
polisi. Berita itu sampai pada Ustaz Abidin dan kami melihat ada gurat kecewa
di wajahnya. Tapi, seperti yang kubilang bahwa beliau tak memarahi kami. Karena
Ustaz Abidin pulalah permasalahan itu bisa dihentikan secara damai.
“Kalau kalian patrol hanya untuk berkelahi, mending tidak
usah sama sekali. Mau ibadah kok malah bentrok?” Ustaz Abidin mengingatkan
kami. Tak ada nada kemarahan dalam ucapannya. Kami tak menjawab apapun dan
hanya diam saja.
“Apa aku mengajarkan hal itu pada kalian?”
Kami lagi-lagi tak bisa menjawab. Kami tahu bahwa ustaz kami itu
sangatlah kecewa.
Ada satu lagi kejadian yang membuat Ustaz Abidin lebih merasa
kecewa. Kami tak akan melupakannya. Sebuah kesalahan yang dilakukan oleh beberapa
orang santrinya, termasuk aku. Saat itu seorang ibu datang pada Ustaz Abidin
dengan sumpah serapah.
“Pak Ustaz, apa kau tak bisa mengajari santri-santrimu sopan
santun? Mereka sudah berani menggoda anak perawanku. Santri macam apa yang kaudidik,
Pak Ustaz?”
Seorang temanku, saat itu, mengajak untuk menggoda seorang gadis
yang terkenal paling cantik di kampung kami. Sialnya, aku termakan hasutan
temanku itu dan pada akhirnya aku terlibat pada tindakan kekurangajaran itu. Anak
gadis yang kami goda itu mengadu pada ibunya hingga akhirnya berita kejadian
sampai pada Ustaz Abidin.
Sebenarnya kami tak menggoda gadis itu dengan parah. Tak ada
perilaku kami yang samapi mempermalukan gadis itu. Tapi justru perbuatan kami
itulah yang ternyata mempermalukan ustaz kami.
“Apa kalian sudah kebelet kawin?” Tanya ustaz pada kami. Kami hanya
diam. “Kalau iya, ya mending nikah saja. Daripada ganggung gadis-gadis. Aku
siap menikahkan kalian.”
Kami tidak berani untuk menjawab. Kemudian ustaz melanjutkan,
“Bukan begitu cara memperlakukan wanita, Nak. Itu sama saja kalian tidak
menghormatinya. Kalau suka, ya pakai cara yang sopan. Aku jadi berpikir apa aku
ini gagal mendidik santri-santriku untuk berakhlak baik.”
Ada sesuatu yang menyerang hatiku saat itu begitu mendengar kalimat
terakhir Ustaz Abidin. Sejak itu ada banyak omongan tentang Ustaz Abidin di
masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa ustaz kami itu, meski santrinya
banyak, tidak benar-benar mengajari kami berakhlak layaknya seorang santri.
Kami juga tahu bahwa omongan itu lantaran cerita tidak benar yang beredar.
Mereka mengatakan bahwa kami sudah berlaku tidak senonoh pada gadis itu.
Kami tidak terima dengan hal itu. Maka kami mengadukannya pada Ustaz
Abidin. Tetapi, jawaban Ustaz Abidin tidak seperti yang kami harapkan, “Itulah
akibat dari perilaku kalian. Seorang santri punya beban di pundaknya: membawa
nama baik gurunya lewat akhlaknya.” Dan kami, lagi-lagi tak bisa menjawab
apa-apa.
Begitulah Ustaz Abidin, sekalipun kami telah membuatnya menjadi
omongan banyak orang, beliau tetap tak pernah marah. Tak pernah tampak
kemarahan dalam wajah dan cara bicaranya. Namun, seringkali kata-katanya
membuat kami terdiam dan tak mampu berkata-kata apapun.
Meskipun Ustaz Abidin menjadi perbincangan oleh orang-orang, tetap
saja masih banyak anak-anak yang mengaji di musalanya. Sekalipun yang beredar
adalah omongan jelek, seolah-olah hal itu tak mempengaruhi santri-santrinya
untuk berhenti mengaji di sana. Mereka tetap belajar seakan tidak ada masalah
apapun. Kami terkadang menjulukinya Ustaz Sejuta Santri.
Hal itu makin membuat kami tidak mengerti apa sebenarnya yang
membuat Ustaz Abidin memiliki banyak santri. Apa karena dirinya memiliki
semacam kesaktian? Atau beliau memiliki kesabaran yang nyaris seluas langit?
Yang jelas alasan itu tidak pernah kami mengerti sampai aku dewasa. Sampai aku
bekerja. Sampai aku berkeluarga. Sampai aku juga memiliki anak yang saat ini
juga belajar mengaji di musalanya, menjadi santrinya. Bahkan, sampai Ustaz
Abidin menghembuskan nafas terakhirnya hari ini.
Kini, aku dan semua santrinya yang pernah berlajar mengaji padanya,
berkumpul di musalanya. Satu per satu para santri, yang tua dan yang muda,
berdatangan. Banyak sekali teman-temanku, bahkan yang tempat tinggalnya jauh,
datang pada hari ini. Mereka semua rela datang untuk melihat Ustaz Abidin yang
terakhir kali. Kami, para santrinya, sama-sama ingin menyalatkan jenazah guru
kami itu dan mengantarnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Kami semua duduk di depan musala tempat kami mengaji dulu. Nama
itu, Musala Ustaz Abidin, masih terpasang tepat di depan musala. Melihatnya,
seluruh kenangan tentang masa-masa mengaji dulu, berkelebat di pikiranku. Ada getar
yang terasa dalam hatiku. Pelan. Namun membuat kerongkonganku tercekat.
Situbondo, 29 September 2017
[Cerpen] Ustaz Abidin dan Santri-santrinya (Kabar Madura, 11 Maret 2019)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Maret 13, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: