[Cerpen] Ustaz Abidin dan Santri-santrinya (Kabar Madura, 11 Maret 2019)




Tak ada satu pun ustaz di kampung kami yang memiliki santri sebanyak Ustaz Abidin. Beliaulah satu-satunya ustaz yang jumlah santrinya paling banyak. Walaupun umurnya sudah tak muda lagi, namun pamornya tak pernah kalah sekalipun dengan ustaz-ustaz muda di kampung kami.

Santri-santri beliau datang dari berbagai penjuru kampung. Ada yang rela berangkat dari ujung kampung hanya untuk belajar mengaji di musala tempatnya mengajar. Padahal di kampung kami banyak musala-musala yang ustaznya juga memberi pelajaran agama untuk anak-anak. Tetapi, tetap saja beberapa anak lebih memilih belajar pada Ustaz Abidin.

Kami tidak pernah tahu kenapa Ustaz Abidin selalu punya banyak santri. Hal itu sudah terjadi sejak dulu. Aku dan kedua saudaraku sama-sama pernah belajar mengaji di Ustaz Abidin. Ibuku yang menyuruh kami untuk belajar di sana.

“Kalau mau pintar mengaji dan ilmu agama harus belajar pada Ustaz Abidin,” kata ibu.

Sebagian orang di kampungku percaya bahwa Ustaz Abidin memiliki ilmu yang cukup tinggi. Kemampuan Ustaz Abidin yang paling tersohor adalah kemampuannya mengobati orang yang baru terkena bisa ular. Nyaris semua orang di kampungku mengetahui hal itu. Jadi wajar jika ada seseorang yang terkena bisa ular mereka segera membawanya pada Ustaz Abidin.

Pernah sekali waktu aku menonton Ustaz Abidin melakukan proses penyembuhan seseorang yang terkena bisa ular. Pertama, Ustaz Abidin memegang bagian yang terkena racun ular itu. Kulihat juga sesekali beliau menekannya. Tampak dari bibir Ustaz Abidin sedang membacakan sesuatu. Pasti itu adalah bacaan untuk mengeluarkan racunnya, pikirku. Dan benar saja racun itu keluar dengan sendirinya lewat dua titik bekas patokan ular. Aku hanya bisa tercengang melihat hal itu. Orang yang baru terkena racun ular pun seketika bisa berjalan seperti biasa.

Ustaz Abidin sendiri, bagiku, adalah sosok lelaki biasa. Kalau melihat dari penampilannya kita tak akan menyangka beliau memiliki kemampuan seperti itu. Sehari-hari pakaiannya hanya sarung, baju koko, dan kopiah hitam. Tak pernah beliau terlihat memakai sorban yang biasanya kerap digunakan para ustaz-ustaz lain di kampung kami. Beliau juga sangat ramah pada semua orang dan suka menolong siapapun di kampung kami yang butuh bantuan. Beliau akan jadi orang pertama membantu saat ada orang di kampung kami yang sedang terkena bencana.

“Ustaz Abidin itu baik.”

“Benar. Tak pernah marah pada sekalipun kami nakal.”

“Beliau sangat penyabar.”

Ustaz Abidin juga terkenal karena begitu sabar menghadapi santri-santrinya. Selama aku belajar mengaji padanya, memang tak pernah sekalipun beliau terlihat marah. Padahal sudah seringkali kami, santri-santri beliau, berbuat nakal. Bahkan kenakalan yang mungkin tak seharusnya seorang santri lakukan. Sudah sepantasnya kami terkena marah ustaz kami itu. Tetapi, Ustaz Abidin tak pernah sekalipun menampakkan kemarahannya. Terkadang selepas melakukan kenakalan, kami merasa bersalah pada Ustaz Abidin. Apalagi jika kesalahan yang kami buat sangat fatal dan membuat Ustaz Abidin malu sebagai seorang yang terpandang.

Kami pernah terlibat bentrok dengan pemuda kampung sebelah. Saat itu bulan puasa dan aku masih duduk di bangku SMP. Sebagaimana setiap bulan puasa, kami melakukan patrol untuk membangunkan orang-orang sahur. Kami akan berjalan mengelilingi kampung sembari memainkan bebunyian musik. Suatu malam ketika kami tengah asyik patrol, tiba-tiba ada sekelompok pemuda kampung sebelah yang juga turut patrol. Tak seperti biasanya mereka berkeliling sampai ke sini. Ketika berpapasan, tiba-tiba adalah salah satu pemuda di rombongan kampung sebelah itu yang nyeletuk dan memicu amarah salah satu teman kami. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja sebuah bentrok pun terjadi. Mereka saling adu pukul. Namun tak semua dari kami yang terlibat bentrok. Sebagian, termasuk aku, coba melerai mereka.

Dari kejadian itu ada satu korban terparah dari pihak lawan. Kepalanya pecah gara-gara hantaman kentong yang dilayangkan oleh salah satu temanku. Akibatnya pihak lawan tak menerima dan memperkarakan hal itu pada polisi. Berita itu sampai pada Ustaz Abidin dan kami melihat ada gurat kecewa di wajahnya. Tapi, seperti yang kubilang bahwa beliau tak memarahi kami. Karena Ustaz Abidin pulalah permasalahan itu bisa dihentikan secara damai.

“Kalau kalian patrol hanya untuk berkelahi, mending tidak usah sama sekali. Mau ibadah kok malah bentrok?” Ustaz Abidin mengingatkan kami. Tak ada nada kemarahan dalam ucapannya. Kami tak menjawab apapun dan hanya diam saja.

“Apa aku mengajarkan hal itu pada kalian?”

Kami lagi-lagi tak bisa menjawab. Kami tahu bahwa ustaz kami itu sangatlah kecewa.

Ada satu lagi kejadian yang membuat Ustaz Abidin lebih merasa kecewa. Kami tak akan melupakannya. Sebuah kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang santrinya, termasuk aku. Saat itu seorang ibu datang pada Ustaz Abidin dengan sumpah serapah.

“Pak Ustaz, apa kau tak bisa mengajari santri-santrimu sopan santun? Mereka sudah berani menggoda anak perawanku. Santri macam apa yang kaudidik, Pak Ustaz?”

Seorang temanku, saat itu, mengajak untuk menggoda seorang gadis yang terkenal paling cantik di kampung kami. Sialnya, aku termakan hasutan temanku itu dan pada akhirnya aku terlibat pada tindakan kekurangajaran itu. Anak gadis yang kami goda itu mengadu pada ibunya hingga akhirnya berita kejadian sampai pada Ustaz Abidin.

Sebenarnya kami tak menggoda gadis itu dengan parah. Tak ada perilaku kami yang samapi mempermalukan gadis itu. Tapi justru perbuatan kami itulah yang ternyata mempermalukan ustaz kami.

“Apa kalian sudah kebelet kawin?” Tanya ustaz pada kami. Kami hanya diam. “Kalau iya, ya mending nikah saja. Daripada ganggung gadis-gadis. Aku siap menikahkan kalian.”

Kami tidak berani untuk menjawab. Kemudian ustaz melanjutkan, “Bukan begitu cara memperlakukan wanita, Nak. Itu sama saja kalian tidak menghormatinya. Kalau suka, ya pakai cara yang sopan. Aku jadi berpikir apa aku ini gagal mendidik santri-santriku untuk berakhlak baik.”

Ada sesuatu yang menyerang hatiku saat itu begitu mendengar kalimat terakhir Ustaz Abidin. Sejak itu ada banyak omongan tentang Ustaz Abidin di masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa ustaz kami itu, meski santrinya banyak, tidak benar-benar mengajari kami berakhlak layaknya seorang santri. Kami juga tahu bahwa omongan itu lantaran cerita tidak benar yang beredar. Mereka mengatakan bahwa kami sudah berlaku tidak senonoh pada gadis itu.

Kami tidak terima dengan hal itu. Maka kami mengadukannya pada Ustaz Abidin. Tetapi, jawaban Ustaz Abidin tidak seperti yang kami harapkan, “Itulah akibat dari perilaku kalian. Seorang santri punya beban di pundaknya: membawa nama baik gurunya lewat akhlaknya.” Dan kami, lagi-lagi tak bisa menjawab apa-apa.

Begitulah Ustaz Abidin, sekalipun kami telah membuatnya menjadi omongan banyak orang, beliau tetap tak pernah marah. Tak pernah tampak kemarahan dalam wajah dan cara bicaranya. Namun, seringkali kata-katanya membuat kami terdiam dan tak mampu berkata-kata apapun.

Meskipun Ustaz Abidin menjadi perbincangan oleh orang-orang, tetap saja masih banyak anak-anak yang mengaji di musalanya. Sekalipun yang beredar adalah omongan jelek, seolah-olah hal itu tak mempengaruhi santri-santrinya untuk berhenti mengaji di sana. Mereka tetap belajar seakan tidak ada masalah apapun. Kami terkadang menjulukinya Ustaz Sejuta Santri.

Hal itu makin membuat kami tidak mengerti apa sebenarnya yang membuat Ustaz Abidin memiliki banyak santri. Apa karena dirinya memiliki semacam kesaktian? Atau beliau memiliki kesabaran yang nyaris seluas langit? Yang jelas alasan itu tidak pernah kami mengerti sampai aku dewasa. Sampai aku bekerja. Sampai aku berkeluarga. Sampai aku juga memiliki anak yang saat ini juga belajar mengaji di musalanya, menjadi santrinya. Bahkan, sampai Ustaz Abidin menghembuskan nafas terakhirnya hari ini.

Kini, aku dan semua santrinya yang pernah berlajar mengaji padanya, berkumpul di musalanya. Satu per satu para santri, yang tua dan yang muda, berdatangan. Banyak sekali teman-temanku, bahkan yang tempat tinggalnya jauh, datang pada hari ini. Mereka semua rela datang untuk melihat Ustaz Abidin yang terakhir kali. Kami, para santrinya, sama-sama ingin menyalatkan jenazah guru kami itu dan mengantarnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya.

Kami semua duduk di depan musala tempat kami mengaji dulu. Nama itu, Musala Ustaz Abidin, masih terpasang tepat di depan musala. Melihatnya, seluruh kenangan tentang masa-masa mengaji dulu, berkelebat di pikiranku. Ada getar yang terasa dalam hatiku. Pelan. Namun membuat kerongkonganku tercekat.

Situbondo, 29 September 2017

[Cerpen] Ustaz Abidin dan Santri-santrinya (Kabar Madura, 11 Maret 2019) [Cerpen] Ustaz Abidin dan Santri-santrinya (Kabar Madura, 11 Maret 2019) Reviewed by TIDAKTAMPAN on Maret 13, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.