Tidak ada yang
tahu darimana asal dua badut yang ada di kotaku itu. Tiba-tiba saja mereka
hadir di tengah-tengah kami. Padahal kota kami tidak termasuk kota yang penuh
hiruk pikuk keramaian. Tidak ramai suasana politik dari para penguasanya. Tidak
ramai pertentangan antar kelompok. Tidak ramai dengan hiburan-hiburan. Kota
kami kota kecil. Kota sepi dan sunyi. Kota yang nyaris selalu diam dalam
keadaan apa saja. Oleh sebab itu kami akan selalu tahu setiap kali ada orang
baru yang datang ke kota kami.
Bisa kalian
bayangkan betapa sunyi dan sepinya kota kami, bukan?
Tetapi, tidak
dengan kedua badut itu. Entah kenapa ketika badut-badut itu hadir tak satu pun
dari kami yang tahu.
“Darimana sih
mereka datang?”
“Nggak tahu.”
“Jangan-jangan
mereka mata-mata!”
“Mata-mata
matamu! Apa yang mau dimata-matai di kota kecil begini?”
“Atau mereka
teroris yang menyamar?”
“Jangan ngaco
deh! Belum minum kopi ya?”
Karena
kedatangannya yang misterius membuat kami menaruh prasangka buruk pada kedua
badut itu. Kami takut mereka membawa segenap niatan jahat pada kota kami. Kami
takut mereka sengaja datang untuk mencelakai kota kecil kami. Walaupun
sebetulnya pikiran-pikiran itu sedikit mustahil. Sebab apa yang mereka harapkan
dari kota kecil seperti ini? Kami tak punya apapun selain kesunyian. Terkadang
kami berpikir bahwa kota kami sudah terkena kutukan. Anehnya kami selalu diam
saja dan seolah-olah nyaman dengan keadaan yang demikian.
Ketakutan-ketakutan
mustahil kami itu, seiring berjalannya waktu, memudar. Badut-badut itu sama
sekali menunjukkan sikap yang mengarah pada kecurigaan kami. Tak tercium dari
mereka sebuah niatan yang busuk. Justru mereka memberikan kebahagiaan bagi
kami.
Semenjak
datang ke kota kami dua badut itu sering menghibur warga di sini. Mereka
menampilkan atraksi-atraksi yang biasanya sering badut-badut tampilkan:
melempar beberapa bola dengan bergantian, memainkan sulap, dan atraksi lain
yang menarik perhatian. Kami tidak tahu sudah berapa lama tak menonton atraksi
seperti itu. Anak-anak tampak sangat bahagia menyaksikannya. Jarang sekali kami
melihat anak-anak di kota ini begitu tampak bahagia.
Kami merasa
kota ini mulai tampak berwarna. Seperti ada air hujan berwarna-warni yang
mengguyur kota ini. Semua kota pun menampakkan warna-warna keceriaan. Semua
karena kedua badut misterius yang datang ke kota kami itu.
Awalnya badut
itu hanya beraksi di salah satu taman kota yang tak terurus dan hanya ada
beberapa yang menyaksikan mereka. Akan tetapi, karena penampilan mereka yang
menarik jadi banyak penonton yang menyaksikan dari hari ke hari. Sampai akhirnya,
kabar tentang keberadaan dua badut itu sampai ke telinga hampir seluruh warga.
Banyak warga, demi kenyamanan, meminta dua badut itu untuk pindah melakukan
atraksi di alun-alun kota. Akhirnya untuk memenuhi permintaan para penonton
tercintanya mereka pindah ke alun-alun kota.
Alun-alun kota
pun selalu penuh dengan orang-orang setiap kali dua badut itu tampil. Semua
orang ingin menyaksikan dua badut itu melakukan atraksinya. Banyak yang datang
karena penasaran dengan kabar yang beredar tentang atraksi-atraksi yang mereka
lakukan. Dan, memang, setiap pekannya dua badut itu selalu menampilkan hal-hal
yang baru. Bahkan kini mereka juga melakukan sulap yang sekilas tampak seperti
sihir. Yang terakhir dua badut itu bisa mengubah seekor kelinci putih menjadi
seekora kuda. Hal itu mereka lakukan di depan banyak orang orang. Tentu saja
semua orang yang menyaksikan terperangah dengan keajaiban itu.
“Apa mereka
berdua tukang sihir?”
“Wah, itu
artinya berbahaya.”
“Kok bisa?”
“Tukang sihir
biasanya jahat.”
“Jadi maksudmu
badut-badut itu punya niat jahat datang ke sini?”
“Aku tak
bilang begitu.”
“Terus?”
“Tapi bisa
jadi seperti itu.”
Dua badut itu
terdiri dari satu Badut Besar dan satu Badut Kecil. Kami menyebutnya demikian
karena tak tahu siapa sebenarnya nama mereka. Setiap kali mereka tampil, si
Badut Kecil selalu menjadi pelayan untuk si Badut Besar. Si Badut Besarlah yang
sering melakukan keajaiban-keajaiban.
Keajaiban-keajaiban
yang ditunjukkan dua badut itu menarik perhatian penguasa di kota kami. Sang
Penguasa secara langsung meminta dua badut itu untuk tampil di hadapannya
secara langsung. Akan tetapi, kedua badut itu tidak mau menerima permintaan
dari Sang Penguasa.
“Kami datang
untuk menghibur warga di kota ini,” kata si Badut Besar, “Bukan untuk menghibur
penguasanya.”
“Kami tak mau
mengingkari tujuan itu.” sahut si Badut Kecil.
Berulang kali
dan berbagai cara dilakukan agar dua badut itu mau tampil di hadapan langsung
Sang Penguasa. Padahal Sang Penguasa sangat penasaran dengan keajaiban yang
mereka lakukan. Tetapi, dua badut itu tetap saja menolak. Sampai akhirnya,
pihak penguasa mulai berang dengan sikap badut-badut itu.
“Berani betul
menolak permintaanku.” Kata Sang Penguasa. “Nanti kalau aku pakai kekerasan bau
tahu rasa! Lagipula cuma badut sudah berani bertingkah.”
Karena marah,
Sang Penguasa melakukan pelarangan untuk tampil pada kedua badut itu. Mereka
tak boleh lagi tampil di alun-alun kota. Tetapi, larangan itu tak diindahkan
oleh badut itu dan juga para warga.
“Kok seenaknya
main larang begitu saja?”
“Penguasa memang
sukanya begitu. Tak suka. Larang!”
“Salah mereka
tak menyediakan hiburan bagi kami.”
“Bisanya cuma membuat
kota ini kian sepi.”
“Ayo tetap
tampil, badut-badutku! Kami menunggumu.”
Para warga terlihat
mendukung dua badut itu. Kami merasa seperti timbul sebuah keberanian di hati
kami untuk menolak. Tak pernah sebelumnya kami merasa seperti itu. Entah sudah
berapa lama kami kehilangan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Sama
seperti kota ini, kami selalu saja diam.
Kami tetap
datang ke alun-alun kota untuk menyaksikan penampilan badut-badut. Dan kedua
badut itu pun tetap datang untuk menghibur kami. Atraksipun tetap berlangsung
dan keramaian pun tak dapat dicegah. Hal itu membuat penguasa kian marah.
Penguasa pun bertindak makin tegas. Alun-alun itu ditutup paksa yang membuat
mereka tak bisa memasukinya.
Banyak warga yang memprotes kebijakan itu.
Mereka semakin menyangkan sikap penguasa yang semena-mena.
“Pak, jangan
main tutup seenaknya dong!”
“Kita butuh
hiburan, Pak.”
“Apa salah
badut itu?”
“Mereka telah
berjasa. Mereka menghibur kami.”
“Dengar tidak,
pak?”
“Bapak tuli
ya?”
Protes itu
juga diikuti dengan permintaan agar para badut itu kembali menghibur mereka.
Para badut diminta untuk tidak memerdulikan larangan dari penguasa.
“Jangan
pedulikan penguasa! Tetaplah menghibur kami.”
“Badut-badutku,
kembalilah! Kembali beratraksi untuk kami.”
“Kami sayang
kalian, Badut-badutku.”
Tetapi, tiba-tiba
saja, badut-badut itu tak mau lagi untuk tampil. Mereka takut hal itu akan
memicu kemarahan dari penguasa yang lebih besar. Mereka tahu kemarahan penguasa
seringkali berakibat buruk bagi warganya.
“Sudahlah.
Lebih baik kami pergi,” kata Badut Besar. “Ini demi kebaikan kita semua. Agar
tidak ada pertikaian yang timbul.”
“Tapi kami
masih ingin melihat atraksi kalian.”
“Benar, Dut.
Kita masih membutuhkan kalian di sini. Bagaimana nasib kebahagiaan anak-anak
kami? Tak mungkin penguasa bisa melakukan hal itu.”
“Kami yakin
kalian bisa memberikan kebahagiaan bagi anak kalian.” Kata si Badut Kecil.
Dua badut itu
pada akhirnya tetap memilih pergi dari kota itu. Tak sama dengan kedatangannya
dulu, justru kepergiannya banyak menarik perhatian warga. Tepatnya, menarik
simpati warga. Nyaris semua warga bersedih dengan kepergian dua badut itu.
Mereka semua turut melepas kepergian badut yang naik perahu ke barat melintasi
samudera. Tak ada yang tahu ke mana setelah ini badut itu akan pergi.
“Kami akan
memberikan kebahagiaan di tempat lain. Ke orang-orang yang juga membutuhkan
kebahagiaan, seperti kalian.”
Airmata
bercucuran mengiringi kepergian dua badut yang berjasa itu. Anak-anak
melambaikan tangan mereka ke arah perahu yang berlayar menjauhi pantai. Meski
mereka tak menangis, tapi aku yakin hati mereka turut bersedih .
Dan aku, aku
salah satu dari sekian ribu orang yang berdiri di pinggir pantai menyaksikan
kepergian dua badut itu. Seperti anak-anak, aku juga turut melambaikan
tanganku. Sebuah pemadangan yang sendu tersaji di depanku: perahu badut itu
pergi menuju ke arah senja.
Sejak
kepergian dua badut itu, tidak ada lagi hiburan di alun-alun kota, meski
alun-alun itu sudah boleh dimasuki kembali. Kini kota kami kembali seperti
semula: sepi dan sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba saja, sebuah kabar mengejutkan
datang. Beredar kabar bahwa dua badut itu telah kembali. Betapa bahagianya
kami! Kami bisa menyaksikan badut itu kembali. Rasanya seperti ingin menitikkan
airmata saja. Kami pun berbondong-bondong menuju alun-alun kota. Dan, benar,
dua badut itu telah muncul di tengah alun-alun kota. Banyak warga yang datang.
Kami semua merindukan atraksi yang dilakukan oleh badut-badut itu.
Aksi pun
dimulai. Atraksi pertama… atraksi kedua… atraksi ketiga… atraksi…. Entah kenapa
seperti ada sesuatu yang berbeda: atraksi mereka tidak seseru sebelumnya. Apa
perjalanan dan suasana di tempat baru membuat mereka berubah?
“Tunggu!
Kenapa Badut Besar itu mirip seseorang?” pikirku. “Ah, itu Sang Penguasa.
Jangan-jangan Badut Kecil itu.... Benar. Itu wakilnya.”
***
[Cerpen] Dua Badut di Kotaku (Radar Mojokerto, 17 Maret 2019)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Maret 19, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: