[Cerpen] Dua Badut di Kotaku (Radar Mojokerto, 17 Maret 2019)



Tidak ada yang tahu darimana asal dua badut yang ada di kotaku itu. Tiba-tiba saja mereka hadir di tengah-tengah kami. Padahal kota kami tidak termasuk kota yang penuh hiruk pikuk keramaian. Tidak ramai suasana politik dari para penguasanya. Tidak ramai pertentangan antar kelompok. Tidak ramai dengan hiburan-hiburan. Kota kami kota kecil. Kota sepi dan sunyi. Kota yang nyaris selalu diam dalam keadaan apa saja. Oleh sebab itu kami akan selalu tahu setiap kali ada orang baru yang datang ke kota kami.

Bisa kalian bayangkan betapa sunyi dan sepinya kota kami, bukan?

Tetapi, tidak dengan kedua badut itu. Entah kenapa ketika badut-badut itu hadir tak satu pun dari kami yang tahu.

“Darimana sih mereka datang?”

“Nggak tahu.”

“Jangan-jangan mereka mata-mata!”

“Mata-mata matamu! Apa yang mau dimata-matai di kota kecil begini?”

“Atau mereka teroris yang menyamar?”

“Jangan ngaco deh! Belum minum kopi ya?”

Karena kedatangannya yang misterius membuat kami menaruh prasangka buruk pada kedua badut itu. Kami takut mereka membawa segenap niatan jahat pada kota kami. Kami takut mereka sengaja datang untuk mencelakai kota kecil kami. Walaupun sebetulnya pikiran-pikiran itu sedikit mustahil. Sebab apa yang mereka harapkan dari kota kecil seperti ini? Kami tak punya apapun selain kesunyian. Terkadang kami berpikir bahwa kota kami sudah terkena kutukan. Anehnya kami selalu diam saja dan seolah-olah nyaman dengan keadaan yang demikian.

Ketakutan-ketakutan mustahil kami itu, seiring berjalannya waktu, memudar. Badut-badut itu sama sekali menunjukkan sikap yang mengarah pada kecurigaan kami. Tak tercium dari mereka sebuah niatan yang busuk. Justru mereka memberikan kebahagiaan bagi kami.

Semenjak datang ke kota kami dua badut itu sering menghibur warga di sini. Mereka menampilkan atraksi-atraksi yang biasanya sering badut-badut tampilkan: melempar beberapa bola dengan bergantian, memainkan sulap, dan atraksi lain yang menarik perhatian. Kami tidak tahu sudah berapa lama tak menonton atraksi seperti itu. Anak-anak tampak sangat bahagia menyaksikannya. Jarang sekali kami melihat anak-anak di kota ini begitu tampak bahagia.

Kami merasa kota ini mulai tampak berwarna. Seperti ada air hujan berwarna-warni yang mengguyur kota ini. Semua kota pun menampakkan warna-warna keceriaan. Semua karena kedua badut misterius yang datang ke kota kami itu.

Awalnya badut itu hanya beraksi di salah satu taman kota yang tak terurus dan hanya ada beberapa yang menyaksikan mereka. Akan tetapi, karena penampilan mereka yang menarik jadi banyak penonton yang menyaksikan dari hari ke hari. Sampai akhirnya, kabar tentang keberadaan dua badut itu sampai ke telinga hampir seluruh warga. Banyak warga, demi kenyamanan, meminta dua badut itu untuk pindah melakukan atraksi di alun-alun kota. Akhirnya untuk memenuhi permintaan para penonton tercintanya mereka pindah ke alun-alun kota.

Alun-alun kota pun selalu penuh dengan orang-orang setiap kali dua badut itu tampil. Semua orang ingin menyaksikan dua badut itu melakukan atraksinya. Banyak yang datang karena penasaran dengan kabar yang beredar tentang atraksi-atraksi yang mereka lakukan. Dan, memang, setiap pekannya dua badut itu selalu menampilkan hal-hal yang baru. Bahkan kini mereka juga melakukan sulap yang sekilas tampak seperti sihir. Yang terakhir dua badut itu bisa mengubah seekor kelinci putih menjadi seekora kuda. Hal itu mereka lakukan di depan banyak orang orang. Tentu saja semua orang yang menyaksikan terperangah dengan keajaiban itu.

“Apa mereka berdua tukang sihir?”

“Wah, itu artinya berbahaya.”

“Kok bisa?”

“Tukang sihir biasanya jahat.”

“Jadi maksudmu badut-badut itu punya niat jahat datang ke sini?”

“Aku tak bilang begitu.”

“Terus?”

“Tapi bisa jadi seperti itu.”

Dua badut itu terdiri dari satu Badut Besar dan satu Badut Kecil. Kami menyebutnya demikian karena tak tahu siapa sebenarnya nama mereka. Setiap kali mereka tampil, si Badut Kecil selalu menjadi pelayan untuk si Badut Besar. Si Badut Besarlah yang sering melakukan keajaiban-keajaiban.

Keajaiban-keajaiban yang ditunjukkan dua badut itu menarik perhatian penguasa di kota kami. Sang Penguasa secara langsung meminta dua badut itu untuk tampil di hadapannya secara langsung. Akan tetapi, kedua badut itu tidak mau menerima permintaan dari Sang Penguasa.

“Kami datang untuk menghibur warga di kota ini,” kata si Badut Besar, “Bukan untuk menghibur penguasanya.”

“Kami tak mau mengingkari tujuan itu.” sahut si Badut Kecil.

Berulang kali dan berbagai cara dilakukan agar dua badut itu mau tampil di hadapan langsung Sang Penguasa. Padahal Sang Penguasa sangat penasaran dengan keajaiban yang mereka lakukan. Tetapi, dua badut itu tetap saja menolak. Sampai akhirnya, pihak penguasa mulai berang dengan sikap badut-badut itu.

“Berani betul menolak permintaanku.” Kata Sang Penguasa. “Nanti kalau aku pakai kekerasan bau tahu rasa! Lagipula cuma badut sudah berani bertingkah.”

Karena marah, Sang Penguasa melakukan pelarangan untuk tampil pada kedua badut itu. Mereka tak boleh lagi tampil di alun-alun kota. Tetapi, larangan itu tak diindahkan oleh badut itu dan juga para warga.

“Kok seenaknya main larang begitu saja?”

“Penguasa memang sukanya begitu. Tak suka. Larang!”

“Salah mereka tak menyediakan hiburan bagi kami.”

“Bisanya cuma membuat kota ini kian sepi.”

“Ayo tetap tampil, badut-badutku! Kami menunggumu.”

Para warga terlihat mendukung dua badut itu. Kami merasa seperti timbul sebuah keberanian di hati kami untuk menolak. Tak pernah sebelumnya kami merasa seperti itu. Entah sudah berapa lama kami kehilangan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Sama seperti kota ini, kami selalu saja diam.

Kami tetap datang ke alun-alun kota untuk menyaksikan penampilan badut-badut. Dan kedua badut itu pun tetap datang untuk menghibur kami. Atraksipun tetap berlangsung dan keramaian pun tak dapat dicegah. Hal itu membuat penguasa kian marah. Penguasa pun bertindak makin tegas. Alun-alun itu ditutup paksa yang membuat mereka tak bisa memasukinya.

Banyak warga yang memprotes kebijakan itu. Mereka semakin menyangkan sikap penguasa yang semena-mena.

“Pak, jangan main tutup seenaknya dong!”

“Kita butuh hiburan, Pak.”

“Apa salah badut itu?”

“Mereka telah berjasa. Mereka menghibur kami.”

“Dengar tidak, pak?”

“Bapak tuli ya?”

Protes itu juga diikuti dengan permintaan agar para badut itu kembali menghibur mereka. Para badut diminta untuk tidak memerdulikan larangan dari penguasa.

“Jangan pedulikan penguasa! Tetaplah menghibur kami.”

“Badut-badutku, kembalilah! Kembali beratraksi untuk kami.”

“Kami sayang kalian, Badut-badutku.”

Tetapi, tiba-tiba saja, badut-badut itu tak mau lagi untuk tampil. Mereka takut hal itu akan memicu kemarahan dari penguasa yang lebih besar. Mereka tahu kemarahan penguasa seringkali berakibat buruk bagi warganya.

“Sudahlah. Lebih baik kami pergi,” kata Badut Besar. “Ini demi kebaikan kita semua. Agar tidak ada pertikaian yang timbul.”

“Tapi kami masih ingin melihat atraksi kalian.”

“Benar, Dut. Kita masih membutuhkan kalian di sini. Bagaimana nasib kebahagiaan anak-anak kami? Tak mungkin penguasa bisa melakukan hal itu.”

“Kami yakin kalian bisa memberikan kebahagiaan bagi anak kalian.” Kata si Badut Kecil.

Dua badut itu pada akhirnya tetap memilih pergi dari kota itu. Tak sama dengan kedatangannya dulu, justru kepergiannya banyak menarik perhatian warga. Tepatnya, menarik simpati warga. Nyaris semua warga bersedih dengan kepergian dua badut itu. Mereka semua turut melepas kepergian badut yang naik perahu ke barat melintasi samudera. Tak ada yang tahu ke mana setelah ini badut itu akan pergi.

“Kami akan memberikan kebahagiaan di tempat lain. Ke orang-orang yang juga membutuhkan kebahagiaan, seperti kalian.”

Airmata bercucuran mengiringi kepergian dua badut yang berjasa itu. Anak-anak melambaikan tangan mereka ke arah perahu yang berlayar menjauhi pantai. Meski mereka tak menangis, tapi aku yakin hati mereka turut bersedih .

Dan aku, aku salah satu dari sekian ribu orang yang berdiri di pinggir pantai menyaksikan kepergian dua badut itu. Seperti anak-anak, aku juga turut melambaikan tanganku. Sebuah pemadangan yang sendu tersaji di depanku: perahu badut itu pergi menuju ke arah senja.

Sejak kepergian dua badut itu, tidak ada lagi hiburan di alun-alun kota, meski alun-alun itu sudah boleh dimasuki kembali. Kini kota kami kembali seperti semula: sepi dan sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba saja, sebuah kabar mengejutkan datang. Beredar kabar bahwa dua badut itu telah kembali. Betapa bahagianya kami! Kami bisa menyaksikan badut itu kembali. Rasanya seperti ingin menitikkan airmata saja. Kami pun berbondong-bondong menuju alun-alun kota. Dan, benar, dua badut itu telah muncul di tengah alun-alun kota. Banyak warga yang datang. Kami semua merindukan atraksi yang dilakukan oleh badut-badut itu.

Aksi pun dimulai. Atraksi pertama… atraksi kedua… atraksi ketiga… atraksi…. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang berbeda: atraksi mereka tidak seseru sebelumnya. Apa perjalanan dan suasana di tempat baru membuat mereka berubah?

“Tunggu! Kenapa Badut Besar itu mirip seseorang?” pikirku. “Ah, itu Sang Penguasa. Jangan-jangan Badut Kecil itu.... Benar. Itu wakilnya.”


***
[Cerpen] Dua Badut di Kotaku (Radar Mojokerto, 17 Maret 2019) [Cerpen] Dua Badut di Kotaku (Radar Mojokerto, 17 Maret 2019) Reviewed by TIDAKTAMPAN on Maret 19, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.