Sebagai seorang yang menggemari buku, saya memang baru mendengar istilah
bibliofil setelah membaca buku ini. Kata bibliofil (dalam KBBI yaitu
bibliofili) memiliki arti ‘orang yang sangat senang pada buku’. Menyadari hal
ini, rasanya saya masih sangat jauh untuk disebut sebagai pecinta buku.
Novel ini diawali dengan kisah kematian seorang dosen bernama Bluma
Lenon yang ditabrak di tikungan saat sedang membaca Poems karya Emily Dickinson. Kematian ini kemudian membawa tokoh ‘aku’,
pengganti dosen Bluma Lenon di Universitas Cambridge, melakukan perjalanan menyusuri
misteri yang ditinggalkan oleh si dosen. Misteri itu bermula ketika tokoh aku
menerima kiriman sebuah buku edisi lama La
linea de sombra yang ditujukan kepada Bluma Lenon. Tokoh aku merasa aneh
karena di bagian depan dan belakang buku itu ditemukan kotoran berkerak. Begitu
juga di pinggirannya dilapisi partikel-partikel semen. Tak ada nama amplop
dalam kiriman itu, tetapi ditemukan sebuah catatan dari Bluma dan disebutkan
nama di sana adalah Carlos Brauer, seorang bibliofili, pecinta buku.
Hal itulah yang membuat tokoh aku melakukan perjalanan untuk menemukan
siapa pengirim buku tersebut. Dari perjalanan itu dia bertemua dengan Delgado,
kawan dekat dari Carlos, si pengirim buku. Dari Delgado, tokoh aku banyak
mengetahui hal-hal tentang Carlos Brauer. Delgado sendiri juga merupakan
seorang bibliofili.
Buku ini mengajak kita untuk memasuki dunia bibliofili. Kita akan
menemukan banyak kebiasaan atau cara ‘gila’ yang dipakai oleh para bibliofil. Misalnya
saja, tokoh Delgado, di dalam rumahnya banyak tersimpan buku-buku. Seluruh
dinding-dinding di rumahnya di penuhi buku yang tingginya bisa mencapai
langit-langit rumahnya. Seluruh ruangan di rumahnya diisi oleh buku, bahkan
kamar mandi dan dapurnya.
Kebiasaan lain yang dilakukan oleh bibliofili di buku ini adalah mereka merelakan
barang berharga, mobil, untuk diberikan kepada temannya agar ruang garasinya
bisa dipakai untuk menyimpan buku lain.
Dari sekian banyaknya buku yang dimiliki, mereka punya cara sendiri
untuk menyusun buku-bukunya. Mereka menganggap bahwa buku-buku itu juga
memiliki emosi sehingga mereka tak boleh menempatkan sembarang. Mereka memperhatikan
siapa pengarang buku itu. Suatu buku tidak bisa dikumpukan dengan satu buku
apabila pengarang dari kedua buku tersebut pernah berselisih. Misalnya,
meletakkan Shakespeare berdekatan dengan Marlowe, karena keduanya pernah saling
menuding terkait dengan penjiplakan.
Brauer sendiri memiliki kebiasaan membaca buku menggunakan lilin seperti
yang dilakukan oleh penulis abad kesembilanbelas. Namun, kebiasaannya ini
akhirnya membakar hangus indeks-indeks yang ia susun untuk menandai bukunya.
Kemudian, Brauer pindah ke tempat lain. Ia memiliki tempat di pinggir
pantai. Di sana ia mulai membangun gubuk untuk tempatnya tinggal. Anehnya,
Brauer membangun tempat tinggalnya itu tidak dengan batu bata melainkan
menggantinya dengan buku-buku yang ia bawa. Ya, dia menjadikan buku-bukunya itu
sebagai dinding-dinging di gubuknya. Ia menyuruh seorang kuli untuk melakukan
pekerjaan tersebut.
Pada akhirnya, si tokoh aku tahu dari manakah kotoran kerak dan lapisan partikel
semen dalam buku yang dikirimkan ke Bluma itu berasal.
Membaca buku ini dan mengetahui kebiasaan para bibliofili tersebut, saya
dibuat tercengang. Sebegitu gilakah hal yang dilakukan oleh bibliofili itu? Saya
sendiri bertanya mungkinkah hal itu dilakukan oleh seorang pecinta buku? Barangkali
kegilaan itu tidak sepenuhnya bisa kita terima.
Tetapi, inilah buku yang mesti dibaca oleh para pecinta buku. Saya menjadi
sadar bahwa ternyata saya belum ada apa-apanya. Terkadang saya hanya membeli buku
saja namun membacanya sangat jarang. Setidaknya buku ini bisa mengajarkan pada
saya bagaimana untuk menghormati sebuah benda bernama buku.
***
[Buku] Rumah Kertas: Kisah Tentang Bibliofili
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
Mei 13, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: