Satu-satunya yang
membedakan Ustaz Abidin dan ustaz-ustaz lainnya di desa saya ialah kegemarannya
mengetes suara corong masjid: sudah terdengar enak di telinga atau tidak. Biasanya Ustaz
Abidin melakukannya pada waktu menjelang
salat Jumat. Sekitar pukul sembilan pagi pasti akan terdengar suara Ustaz
Abidin lewat corong masjid, “Tes… tes… satu… dua… tiga… halooo…” Atau saat
hendak diadakan acara di masjid seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan
pengajian-pengajian.
Saya tidak tahu
sebenarnya mengapa guru ngaji saya itu punya kegemaran yang demikian. Melihat ustaz-ustaz
yang ada di desa saya tidak satu pun yang punya kegemaran sama dengan beliau.
Jadi wajar bila yang sering terdengar berbunyi adalah corong masjid dekat rumah
saya. Bukan corong-corong masjid lainnya. Bahkan, menurut saya, corong itu juga
adalah yang paling nyaring.
Dengan suara yang
begitu keras, sudah
barang tentu ada yang tak suka dengan kegemaran Ustaz Abidin itu
lantaran mengganggu. Saya sering tak
sengaja mendengar omongan orang-orang yang menganggap bahwa kegemaran Ustaz
Abidin itu hanya bikin ramai saja. Apalagi jika Ustaz Abidin mengetesnya pada siang
hari. Orang-orang ada yang berkomentar, “Duh, ganggu orang tidur siang saja.”
Atau jika di malam hari, orang-orang yang rumahnya berdekatan dengan masjid,
pasti sebal sebab suara corong masjid akan mengalahkan suara dari televisi yang
tengah menayangkan acara sinetron. "Kok dicoba-coba terus sih? Corong sudah enak mau diganti-ganti.” Komentar orang-orang yang
geram pada kelakuan Ustaz Abidin. Tetapi, meski mereka tak suka, setahuku tak
pernah ada yang sampai melontarkan kata tak sopan untuk Ustaz Abidin. Barangkali
mereka paham bahwa Ustaz Abidin adalah tokoh yang dihormati oleh warga.
Namun, tak semua
orang membenci kegemaran ustaz yang sudah menduda selama dua belas tahun itu.
Ada juga orang yang santai-santai saja dan tak mau menganggap itu hal yang
mengganggu. Bahkan mereka menanggapinya sambil bercanda. Misalnya, jika mereka
melihat Ustaz Abidin pukul sembilan pada hari Jumat menuju masjid, mereka pun
akan menebak “Pasti sebentar lagi ada suara ‘cek…cek…satu.. dua… tiga… suara
dicoba… halo…’” sembari tertawa bersama. Tapi saya tahu candaan itu tidak untuk
menghina Ustaz Abidin.
Masjid dekat rumah
saya sendiri itu punya jamaah yang banyak. Menurut saya yang terbanyak di antara
masjid-masjid lain di daerah saya. Ada beberapa jamaah yang punya rumah diujung
desa tetapi lebih memilih datang ke masjid dekat rumah saya itu, alih-alih ke
masjid yang lebih dekat dengan kediamannya. Bila salat Jumat tiba, jamaah
muslimin selalu membludak bahkan terkadang masjid tak cukup menampungnya. Saya
juga tidak tahu kenapa alasan mereka lebih memilih ke masjid ini. Apakah karena
masjid ini besar dan luas? Tentu saja tidak. Masih ada masjid di desa sebelah yang
lebih luas dan besar dari masjid ini. Apakah karena desain masjid ini lebih
indah? Ah, tidak juga. Entahlah apa alasan sebenarnya. Saya sendiri juga senang
salat di masjid ini.
Hal yang sama pun
terjadi bila sebuah acara keagamaan digelar di masjid itu. Tidak
tanggung-tangung, hampir seluruh warga desa datang ke sana. Apalagi jika
penceramah yang diundang merupakan kiai kondang. Tak sedikit warga yang datang
dari desa yang cukup jauh juga turut bergabung. Ustaz Abidin sendiri selalu
tampak bahagia bila banyak warga yang datang. Wajah beliau selalu
berbinar-binar memandangi ratusan warga yang memenuhi masjid dan halamannya.
Perihal alasan
kegemaran Ustaz Abidin yang menurut saya ganjil itu, sebenarnya pernah suatu
kali saya bertanya pada beliau. Mulanya saya takut untuk menanyakan, tetapi
lantaran penasaran, saya pun memberanikan diri mengajukan pertanyaan pada Ustaz
Abidin.
“Ustaz, mohon ijin,
saya ingin bertanya sesuatu.” Kata saya dengan suara sedikit gemetar.
“Tanya apa?” jawab Ustaz
Abidin sambil menyulut sebatang rokok.
“Maaf, Ustaz, kalau
saya kurang sopan. Eh, saya ingin bertanya soal…. Eh…”
“Ngomong saja. Tak
usah takut. Aku tak akan marah.” Kata Ustaz Abidin melihat saya ragu untuk
bertanya.
“Kenapa Ustaz gemar
mengetes suara corong masjid?”
Begitu pertanyaan itu
terlontar, dada saya terasa plong. Rasa sesak yang semula meraja mendadak sirna.
Namun, malah berganti dengan satu ketakutan dalam hati kalau-kalau Ustaz Abidin
tersinggung dengan pertanyaan itu lantas memarahi saya. Tetapi yang terjadi justru
diluar dugaan saya. Ustaz Abidin malah tertawa mendengar pertanyaan saya.
“Kamu ini. Aku pikir
mau tanya soal agama. Atau ayat-ayat di Al-Quran. Atau Hadist juga. Eh,
ternyata malah bertanya soal itu.” Kata Ustaz Abidin sambil terus tertawa. Aku
menjadi rikuh.
Ustaz Abidin
menghisap rokoknya kemudian menghembuskan asapnya dan betebaran di udara.
“Sebelum menjawabnya,
aku ingin bertanya padamu terlebih dahulu,” kata Ustaz Abidin. “Kenapa kau
menanyakan hal ini?”
“Maaf kalau saya
lancang, Ustaz. Saya sekedar ingin tahu saja.”
“Tidak, tidak. Pasti
ada sesuatu yang mendorongmu untuk menanyakan hal ini padaku, bukan? Katakana
saja. Aku tidak akan marah.”
“Sungguh, Ustaz. Saya
cuma sekadar ingin tahu.”
“Apa karena kau
menganggap kegemaranku itu sesuatu yang ganjil?”
Deg! Tiba-tiba hati
saya seperti tertohok. Bagaimana Ustaz Abidin tahu penilaian saya atas
kegemarannya?
“Atau,” lanjut Ustaz
Abidin, “lantaran kau sering mendengar omongan orang yang tak suka dengan
kegemaranku?”
Jangan-jangan Ustaz
Abidin benar-benar bisa membaca pikiran saya. Saya tidak menyahut sama sekali.
Rasanya bibir saya terasa beku dan kelu. Tak ada satu kata pun yang mampu
keluar dari mulut saya.
“Tapi, apapun
alasanmu aku akan tetap menjawabnya. Jawabanku: sebab aku suka melakukannya.
Itu saja.”
Tak ada jawaban pasti
mengenai alasan dibalik Ustaz Abidin sering mengetes suara corong masjid. Hal
itu masih menjadi misteri yang tak pernah terbongkar. Orang-orang yang
penasaran hanya bisa meraba-raba dugaan. Bahkan sampai Ustaz Abidin pergi
selama-lamanya. Rasa penasaran saya tak pernah terobati.
Sejak Ustaz Abidin
meninggal tidak ada lagi yang melakukan kegemaran itu. Tidak ada yang mau menggantikan
Ustaz Abidin untuk melakukannya sekalipun mereka para remaja masjid. Barangkali
mereka dulunya adalah bagian dari mereka yang tak senang dengan kegemaran Ustaz
Abidin itu.
Karena tak ada yang
mau menggantikan, suara corong masjid di dekat rumahku perlahan memburuk.
Suaranya tidak kembali menggema ke penjuru desa. Ketika saya berkunjung ke rumah
teman di ujung desa, tidak saya dengar adzan yang berkumandang dari masjid
dekat rumah. Padahal sebelumnya suara corong masjidnya sampai ke seluruh
penjuru desa.
Pernah ada satu
lelaki tua yang tiba-tiba berinisiatif mengganti Ustaz Abidin soal mengecek
suara corong masjid. Tapi, entah kenapa, lelaki tua itu mengundurkan diri.
Katanya untuk menekuni kegemaran itu harus memiliki konsistensi yang tinggi.
Dan, lelaki tua itu tak bisa melakukannya. Ia susah untuk konsisten.
Semenjak wafatnya Ustaz
Abidin jamaah masjid menjadi susut. Sedikit demi sedikit orang-orang tidak lagi
pergi ke masjid. Jumlah saf saat salat Jumat semakin berkurang. Apalagi pada
saat salah Subuh kadang tersisa hanya satu saf saja. Saat acara-acara keagamaan
pun tak banyak yang datang meskipun penceramahnya adalah kiai kondang.
Saya sendiri,
semenjak tak ada Ustaz Abidin, juga jarang pergi ke masjid. Kalau biasanya
setiap salat Maghrib, Isya’, dan Subuh di masjid saban hari, kini sudah tidak
lagi. Sekarang saya lebih memilih salat sendiri saja di rumah. Saya juga tidak
tahu kenapa. Saya hanya merasa semangat untuk menunaikan salat berjamaah dalam
diri saya memudar. Kini saya lebih sering berpikir “Tidak berdosa kan meskipun
salat di rumah?”
Kian hari kian
berkurang saja jamaah di masjid. Bahkan masjid mulai mengurangi
acara-acara yang dulu diselenggarakan. Misalnya seperti Isra’ Mi’raj. Kini
masjid tidak lagi memperingati peristiwa perjalanan Nabi untuk menerima
perintah salat dari Allah S.W.T itu. Warga juga seakan tak keberatan dengan
keputusan yang demikian. Termasuk diri saya sendiri.
Tetapi, suatu Jumat
siang, hal aneh terjadi pada diri saya. Saat itu saya sedang duduk di teras
depan rumah. Saya melihat ke arah jalanan. Memandangi lalu lalang kendaraan. Di
tengah keasyikan itu, saya tiba-tiba melihat sosok Ustaz Abidin melintas dengan
berjalan kaki. Ustaz Abidin memakai sarung berwarna putih, baju kokoh dan peci
dengan warna yang serupa.
“Ustaz Abidin?” Saya
menggumam. Saya mengedip-kedipkan mata beberapa kali untuk memastikan bahwa apa
yang saya lihat bukan karena kesalahan pandangan saya. Ternyata kesalahan bukan
pada mata saya. Saya melakukannya sekali lagi. Tetapi, sosok Ustaz Abidin itu
melintas di jalan. Saya yakin itu…
Ah, itu pasti
halusinasi saya saja. Ustaz Abidin sudah meninggal, pikir saya.
Pikiran saya mendadak
teringat pada kegemaran Ustaz Abidin saban hari Jumat. Ya, biasanya beliau akan
pergi ke masjid untuk mengetes suara corongnya. Tetapi itu cuma bayangan saya
semata. Ustaz Abidin sudah tidak ada dan tidak mungkin melakukan kegemarannya
itu.
Namun, seketika satu pemikiran
melintas di benak saya. Saya bangun dari duduk saya dan segera melangkah
meninggalkan rumah menuju masjid. Sebelumnya saya meminta kunci pada marbot.
Setelah itu saya lansung mengetes suara corong masjid.
“Cek… cek… satu… dua…
tiga… dicoba… haloooo…”
Kini saya tahu alasan
Ustaz Abidin memiliki kegemaran seperti itu.
***
[Cerpen] Ustaz Abidin dan Corong Masjid (Rakyat Sultra, 26 Agustus 2019)
Reviewed by TIDAKTAMPAN
on
September 09, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: