Saya tidak menyangka akhirnya bisa membaca buku ini setelah sekian lama berusaha untuk mendapatkanya. Beruntunglah keajaiban datang dan saya dengan mudah mendapatkan buku ini.
Buku ini dalam
bahasa Turki berjudul asli Benim Adim Kirmizi. Diterjemahkan dalam bahasa
Inggris dengan judul My Name is Red dan dalam bahasa Indonesia berjudul Namaku
Merah.
Dengan
mengambil latar masa kesultanan Ustmaniyah pada abad ke-16 di Istanbul, buku
ini bercerita tentang keinginan sultan untuk membuat satu buku yang bersifat
rahasia untuk merayakan kejayaannya. Sultan memerintahkan Enisthe Effendi,
seorang miniaturis, untuk mengerjakan buku itu dan dibantu dengan empat orang
lainnya: Elok Effendi, Zaitun, Bangau, dan Kupu-Kupu.
Permasalahan
mulai muncul ketika salah satu miniaturis, Elok Effendi, dibunuh secara
misterius. Bukan hanya Elok, tetapi setelahnya Enisthe Effendi juga ikut
dibunuh. Pembunuhan itu diduga karena adanya pertentangan yang berhubungan
dengan pengerjaan buku rahasia tersebut. Ada kelompok yang tidak setuju dengan
gaya yang digunakan ilustrator dalam pengerjaan buku itu. Kelompok tersebut
menganggap gaya itu meniru orang-orang Frank (sebutan untuk orang-orang Kafir
Eropa) dan juga menistakan agama Islam.
Diceritakan
pula, Hitam, keponakan dari Enisthe Effendi, datang untuk membantu pamannya itu
dalam pengerjaan buku. Hitam jatuh cinta pada Shekure, putri dari Enisthe
Effendi yang seorang janda beranak dua. Kisah cinta mereka turut menghiasi
jalannya cerita. Kemudian, Hitam diperintahkan oleh Sultan untuk mencari tahu
siapa pembunuh sebenarnya. Sepanjang cerita kita akan dibawa pada teka-teki
untuk mengungkap siapa yang sudah membunuh dua miniaturis itu.
Pamuk
menggunakan banyak narator dalam buku ini. Setiap bab digunakan untuk satu
narator seperti nama-nama tokohnya, bahkan untuk mayat, anjing, warna merah,
pohon, koin, sampai setan juga mendapat tempat sebagai narator.
Lewat gaya
bicara para narator, pembaca akan berusaha untuk menemukan petunjuk dan menebak
siapa pembunuh misterius itu.
Selain
menikmati alur kisah di atas, sebenarnya dalam buku ini kita dibawa menyelami
sejarah dan budaya Ottoman yang kaya. Kita juga disuguhkan sebuah konflik
antara tradisi dan modernitas; tentang benturan dua peradaban Timur dan Barat.
Sesuatu yang sebenarnya masih kita rasakan di masa-masa sekarang. Tak hanya
itu, diceritakan pula tentang detail-detail keindahan dunia seni ilustrasi
serta dongeng-dongeng klasik dari dunia Timur. Orhan Pamuk mampu meramu
semuanya dengan baik sehingga buku ini tidak hanya menjadi novel sejarah
belaka, tetapi juga tentang cinta, seni, drama, hingga politik. Novel ini
sangat layak dibaca untuk memperkaya wawasan dan membawa kita pada perenungan
tentang perbedaan.
Pada
bagian-bagian awal, barangkali pembaca akan dibuat sedikit bingung dengan
ceritanya, tetapi semakin ke belakang pembaca akan mulai paham bagaimana alur
cerita buku ini. Selain itu banyak istilah dalam dunia seni ilustrasi yang
mungkin juga akan membuat sedikit bingung. Namun, cara bercerita Pamuk membuat
pembaca tetap mampu menikmati jalannya cerita. Pamuk, dalam buku ini, lebih
banyak menggunakan narasi daripada dialog antar tokohnya.
Satu hal yang membuat saya masih bingung; kenapa buku ini diberi judul Namaku Merah padahal tidak ada tokoh yang bernama Merah dalam buku. Apakah itu diambil dari salah satu narator dalam buku? Entahlah. Yang jelas, buku ini menambah satu daftar lagi buku Orhan Pamuk yang saya sukai setelah Istanbul: Memories and The City.
![[REVIEW BUKU] Namaku Merah: Sejarah Islam, Seni, Cinta, hingga Politik](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfooDOVu_vIwNYQAcPKoFPy22Kl_yd2b_kxiROk_fkaCm8COfOL1WX-ULGdF_ii563TSwseeBafOmmSdWr8Lj7Kd0mDt9CSfRLTN33vN8VQYFJsRP1ouAg2uMHtDzY-uK5eUYbGeSwzruJYM2szAHYysYAoyjQ3CTRLoo9fQjGUxrPeE8cezdJX9WgXQ4/s72-c/WhatsApp%20Image%202024-12-27%20at%2010.41.46.jpeg)
Tidak ada komentar: